Tak Khawatir Lagi, Banyak Negara Longgarkan Aturan COVID-19
3 Februari 2022Langkah awal untuk melonggarkan pembatasan COVID-19 berdasarkan jumlah kasus yang menurun atau mendatar dalam beberapa hari terakhir, menjadi titik balik pandemi virus corona yang sudah berlangsung dua tahun.
Varian Omicron telah memicu lebih banyak kasus di seluruh dunia selama 10 minggu terakhir, dibanding kasus infeksi selama tahun 2020. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada pekan ini mengatakan bahwa beberapa negara saat ini dapat mempertimbangkan dengan hati-hati untuk melonggarkan aturan pembatasan jika mereka memiliki tingkat kekebalan yang tinggi, sistem perawatan kesehatan yang kuat, dan tren epidemiologi yang menuju ke arah yang benar.
Kasus COVID-19 baru di seluruh dunia periode 24-30 Januari 2022 serupa dengan jumlah di minggu sebelumnya, meskipun kasus kematian baru meningkat 9 persen menjadi lebih dari 59.000 jiwa.
Keinginan untuk melonggarkan seputar pembatasan virus corona diutarakan di negara-negara di Eropa, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Di Inggris dan AS, seperti di Afrika Selatan sebelumnya, kasus COVID-19 pada awalnya meroket, tetapi sekarang turun dengan cepat.
Pekan depan, Gubernur New York berencana untuk meninjau apakah akan mempertahankan mandat penggunaan masker pada saat kasus dan rawat inap menurun. Secara keseluruhan, AS berada pada jalur yang sama, dengan infeksi turun dari rata-rata lebih dari 800.000 per hari 2,5 minggu yang lalu menjadi 430.000 minggu ini.
Sejumlah negara Eropa sudah akhiri pembatasan COVID-19
Inggris, Prancis, Irlandia, Belanda, dan beberapa negara Nordik telah mengambil langkah untuk mengakhiri atau melonggarkan pembatasan mereka. Di beberapa tempat, seperti Norwegia dan Denmark, pelonggaran terjadi meskipun jumlah kasus masih mendekati level tertingginya. Beberapa pemerintah pada dasarnya bertaruh bahwa pandemi sedang surut.
"Yakinlah bahwa hari-hari terburuk ada di belakang kita,” kata Menteri Kesehatan Turki Fahrettin Koca, di mana jumlah infeksi harian negara ini mencapai 100.000 pada Selasa (01/02), rekor tertinggi di negara berpenduduk lebih dari 80 juta itu.
Pekan lalu, Inggris juga telah mengakhiri hampir semua pembatasan. Penggunaan masker tidak lagi diwajibkan di tempat umum, bukti vaksin tidak lagi diperlukan untuk masuk ke tempat-tempat umum, dan perintah kerja dari rumah telah dicabut. Satu kondisi yang tersisa, yaitu mereka yang dites positif masih harus menjalani isolasi mandiri.
Pada Selasa (01/02), Norwegia mencabut larangan menyajikan alkohol setelah pukul 11 malam dan batas pertemuan pribadi tidak lebih dari 10 orang. Orang-orang dapat duduk bersama lagi dan acara olahraga dapat berlangsung seperti sebelum pandemi.
"Sekarang saatnya bagi kita untuk mengambil kembali kehidupan sehari-hari kita,” kata Menteri Kesehatan Norwegia Ingvild Kjerkol, Selasa (01/02). "Malam ini, kami membatalkan sebagian besar tindakan pembatasan, sehingga kami bisa lebih dekat untuk menjalani kehidupan normal.”
Namun, di ibu kota Denmark, masih ada beberapa yang mengenakan masker di ruang publik.
"Saya masih memakai masker karena saya ingin melindungi diri sendiri dan orang lain yang kesehatannya tidak begitu baik, atau yang memiliki masalah kesehatan,” kata Kjeld Rasmussen, warga Kopenhagen berusia 86 tahun. "Saya memiliki beberapa hal (kondisi kesehatan). Dan bagi saya, ini juga merupakan cara yang baik untuk mengatakan kepada orang lain, 'Jaga jarak.'"
Swiss pada hari Rabu (02/02), membatalkan persyaratan kerja di rumah dan karantina, serta mengumumkan rencana untuk pelonggaran pembatasan lain dalam beberapa minggu mendatang, dengan mengatakan: "Meskipun angka infeksi tinggi, rumah sakit belum terbebani dan hunian unit perawatan intensif telah turun drastis."
Ahli ingatkan orang-orang tidak remehkan Omicron
"Kami prihatin narasi di beberapa negara bahwa karena vaksin – dan karena transmisibilitas Omicron yang tinggi, serta tingkat keparahan yang lebih rendah – mencegah penularan tidak lagi mungkin terjadi,” kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Kepala Program Darurat Kesehatan WHO Dr. Michael Ryan memperingatkan bahwa tekanan politik dapat menyebabkan beberapa negara membuka kembali pembatasan terlalu cepat - dan "itu akan mengakibatkan penularan yang tidak perlu, penyakit parah yang tidak perlu, dan kematian yang tidak perlu."
Tak semua negara maju longgarkan pembatasan COVID-19
Di Jerman, di mana infeksi masih mencatat rekor harian, pembatasan pertemuan pribadi, dan persyaratan bagi orang untuk menunjukkan bukti vaksinasi atau pemulihan untuk memasuki toko yang bukan penyedia barang kebutuhan sehari-hari, tetap berlaku.
"Saya pikir saat kita merasa bahwa kita dapat melonggarkan secara bertanggung jawab, pemerintah federal dan negara bagian akan mengambil langkah itu,” kata juru bicara pemerintah Jerman Steffen Hebestreit, Senin (31/01). "Tapi saat ini, (melonggarkan pembatasan) itu masih agak prematur."
Benua lain bahkan lebih berhati-hati. Negara kepulauan Pasifik, Tonga, dikunci pada hari Rabu (02/02) setelah menemukan kasus virus corona pada dua pekerja pelabuhan yang membantu mendistribusikan bantuan setelah letusan gunung berapi dan tsunami.
Hanya beberapa hari menjelang Olimpiade, Cina berpegang teguh pada kebijakan nol COVID-nya, dengan memberlakukan penguncian dan karantina yang ketat ketika ada kasus yang terdeteksi, mewajibkan penggunaan masker pada transportasi umum, dan mengharuskan orang untuk menunjukkan status "hijau" pada aplikasi kesehatan untuk memasuki sebagian besar restoran dan toko.
Dr. Atiya Mosam dari Asosiasi Kesehatan Masyarakat Afrika Selatan mengatakan langkah-langkah seperti itu adalah "langkah praktis untuk mengakui bahwa COVID-19 akan tetap ada, meskipun kita mungkin memiliki gejala yang lebih ringan.”
"Kami mengakui bagaimana penularan terjadi, sementara pada dasarnya menyeimbangkan kebutuhan masyarakat untuk menjalani hidup mereka,” kata Mosam. ha/yf (AP)