Indonesia Dihadapkan Pada Sejarah Kelam Pembantaian 1965
29 September 2015Sejarah hitam 50 tahun lalu, seputar pergantian kekuasaan dan pembasmian PKI, kelihatannya akan mengikuti Indonesia saat tampil di Frankfurter Buchmesse tahun ini. Beberapa buku yang ditampilkan memang menceritakan peristiwa pembantaian itu, terutama dari sudut pandang keluarga korban. Antara lain dua buku akan terbit dalam bahasa Jerman, Amba (Laksmi Pamuntjak) dan Pulang (Leila S. Chudori).
Dalam permainan Wayang, yang sempat disaksikan oleh delegasi wartawan Jerman yang berkunjung ke Jakarta awal Juni lalu, pihak yang baik selalu menang atas yang jahat. Kisahnya berasal dari epos India kuno. Selama berabad-abad kisah-kisah ini menjadi tontonan penduduk negara multibangsa ini, yang baru dideklarasikan tahun 1945.
Juga dalam realita politik, pertanyaan mengenai baik dan jahat akan muncul tahun 2015 ini. 50 tahun setelah perebutan kekuasaan yang dipimpin Jendral Suharto, yang menurut perkiraan menelan korban jiwa sampai satu juta orang, beberapa penulis mengangkat kisah yang masih menjadi tabu ini.
Dari 13-18 Oktober Indonesia akan tampil di Frankfurt sebagai Tamu Kehormatan. Yang cukup mengejutkan, kebanyakan yang memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan.
Salah satu genosida terbesar abad 20
"Pembantaian tahun 1965 adalah salah satu genosida terbesar di abad ke-20", kata Laksmi Pamuntjak di Jakarta kepada kantor berita Jerman, dpa. Selain tokoh dan simpatisan komunis serta kaum intelektual, aksi pembantaian juga ditujukan secara terarah kepada etnis Tionghoa. "Kebanyakan orang tidak tau itu, juga mereka di luar negeri".
Indonesia, menurut jumlah penduduknya negara keempat terbesar dunia, tahun 1998 mengakhiri masa diktatur dan kembali ke demokrasi. Namun hingga kini, buku-buku pelajaran sekolah hanya menceritakan kisah berdarah bahwa militer berhasil menggagalkan aksi Kudeta yang sedianya akan dilancarkan PKI, partai politik yang ketika itu punya jutaan anggota.
Dalam bukunya yang akan segera terbit, "Alle Farben Rot", Laksmi Pamuntjak bercerita tentang dampak peristiwa 1965 dalam sebuah saga. Seorang perempuan setelah puluhan tahun datang mencari kekasihnya, yang dibuang ke Pulau Buru.
Di Indonesia, roman aslinya yang terbit tiga tahun lalu laku keras. Minat pembaca, sedikitnya di kalangan menengah atas dan intelektual cukup besar. Tapi pemerintah Indonesia belum sejauh itu. Terutama karena di aparat birokrasi, kalangan ekonomi maupun media masih banyak orang bercokol, yang ikut dalam aksi-aksi pembantaian itu. Di banyak desa, keluarga korban tinggal berdekatan dengan keluarga pelaku.
Tabu yang mulai pecah
Pembuat film dokumenter asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, mengangkat tema itu dalam "Act of Killing" (2012) yang berhasil menyabet sejumlah penghargaan internasional. Di Indonesia, ratusan ribu orang sudah melihat film itu dalam berbagai acara khusus.
Tapi film itu tidak masuk ke bioskop komersial. "Indonesia ingin melupakan tema itu, bukan menyelesaikannya", kata Alex Sihar, Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jakarta. "Saya iri pada Jerman", tambahnya mengacu pada penanganan kejahatan rejim NAZI di Jerman oleh generasi pasca perang.
Goenawan Mohamad, Koordinator Komite Nasional untuk Frankfurt Book Fair 2015 menjelaskan, "Tabu itu sekarang tidak sekuat dulu lagi". Yang penting, para penulis jangan membiarkan interpretasi peristiwa itu hanya digarap oleh pemerintah.
Presiden baru Indonesia Joko Widodo, yang memenangkan pemilu tahun lalu, pernah mengumumkan akan mengangkat lagi tema itu. Tapi kalangan aktivis dan intelektual mulai frustasi, karena sampai sekarang tidak ada langkah yang jelas.
Mengakhiri impunitas militer
"Tidak ada pihak yang berkepentingan mengecam dirinya sendiri", kata jurnalis dan penulis Jerman Christina Schott, yang sejak beberapa tahun ini tinggal di Indonesia.
"Presiden (Jokowi) harus memenuhi janji", kata Joshua Oppenheimer. Dua filmnya "Act of Killing" dan "Look in Silence" bulan ini diputar di Frankfurt. Rekonsiliasi harus juga berarti, selain permohonan maaf, berakhirnya impunitas bagi kejahatan militer, tukas Joshua.
Memperingati 50 tahun pembantaian 1965, kelompok International Peoples Tribunal (IPT1965, 1965tribunal.org) bermaksud menggelar sebuah "Tribunal Rakyat" di Den Haag November mendatang.
Sebelumnya, kelompok yang dimotori para aktivis, ilmuwan dan ahli hukum itu bermaksud menjadikan tahun 2015 dan ajang Frankfurt Book Fair di Jerman untuk menarik perhatian publik pada kasus ini. Tampaknya, Pameran Buku Frankfurt akan menjadi batu ujian bagi budaya kritik di Indonesia.
hp/vlz (dpa)