Pelajaran apa yang bisa dipetik bagi bangsa Indonesia dari figur pemimpin Gereja Katolik Roma dan Negara-Kota Vatikan ini?
Dalam sebuah webinar yang diorganisir oleh Bapak Michael Trias Kuncahyono (Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan) dan Romo Markus Solo Kewuta SVD (yang saya sebut sebagai "Romo Vatikan”), saya mengatakan ada beberapa hal penting dan fundamental yang patut digarisbawahi dan diteladani dari Paus, baik bagi bangsa Indonesia maupun bangsa manapun di jagat raya ini.
Saya melihat Paus Fransiskus adalah tokoh internasional yang fenomenal, yang patut dicontoh bagi siapa saja yang memiliki akal sehat dan hati nurani. Ia sosok yang sederhana dan gigih membela orang miskin dan rakyat kecil serta hak-hak kaum perempuan dan "kaum marjinal” (termasuk transgender). Ia juga tokoh yang getol melanjutkan visi Konsili Vatikan Kedua yang sangat transforming dan revolusioner itu.
Pula, ia figur pemimpin agama yang giat dalam membangun Gereja Katolik di atas basis ekumenisme, pluralisme, pasifisme, dan humanisme. Empat hal ini sangat relevan dengan konteks Indonesia (dan dunia) saat ini, yang dalam banyak hal belum ekumenis, pluralis, pasifis, dan humanis.
Ekumenisme
Saya memaknai ekumenisme bukan hanya dalam konteks gereja atau dunia Kristen tetapi secara umum. Ekumenisme mengacu pada visi, gerakan, teologi, praktik, atau prinsip yang merepresentasikan universalitas Kristen. Konsep ini juga menggarisbawahi pentingnya kesatuan dan kerjasama antardenominasi gereja-gereja Kristen yang jumlahnya sangat banyak.
Meskipun secara teori dan konsep sangat bagus, tetapi praktiknya gagasan ekumenisme tidak mudah untuk diterapkan, karena masing-masing gereja dan kelompok Kristen memiliki kepentingan, struktur organisasi, jalur kepemimpinan, komitmen, komunitas pendukung, atau bahkan visi-misi, tujuan serta doktrin dan ajaran yang berlainan. Konflik antardenomenasi gereja dan kelompok Kristen bukan hal baru dalam sejarah kekristenan Indonesia (dan belahan dunia manapun).
Bukan hanya dalam konteks Kristen, dunia non-Kristen (Islam, Hindu, Budha dan seterusnya) pun sama. Masing-masing kelompok agama larut dalam konflik, ketegangan, dan perpecahan bahkan untuk urusan yang sangat sepele atau remeh-temeh. Misalnya, energi masyarakat muslim Indonesia nyaris habis untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting sama sekali (antara lain soal nasab, busana yang dianggap Islami, poligami, surga-neraka, sunah rasul, dlsb). Masing-masing ormas keislaman larut dalam memperjuangkan ego masing-masing serta tenggelam dalam perdebatan konyol dan bahkan perundungan (bullying) yang memuakkan. Alih-alih menjalankan spirit ekumenisme, yang terjadi justru praktik overdosis sektarianisme.
Pluralisme
Spirit pluralisme, khususnya pluralisme agama, juga belum terlaksana dengan baik di Indonesia. Moto atau semboyan bangsa ini memang Bhinneka Tunggal Ika, tetapi implementasinya masih "jauh panggang dari api.” Jelasnya, pluralisme, sebuah pandangan dan praktik yang menghargai pluralitas diiringi sikap pergumulan mendalam (deep engagement) dengan umat lain, masih menjadi barang mahal dan langka di negeri ini.
Banyak individu dan kelompok agama yang tidak respek dengan keragaman simbol, tradisi, teks, wacana, ritual, dan ajaran keagamaan umat lain. Banyak dari mereka yang maunya dihargai oleh umat lain, tetapi mereka sendiri tidak mau menghargai umat lain.
Mereka suka mengkritik agama dan keyakinan umat lain, tetapi tidak terima dan marah jika agama mereka dikritik. Mereka menuduh kritikan orang lain sebagai "penistaan agama”, tetapi mengklaim kritik mereka terhadap umat lain sebagai bagian dari penyiaran agama atau penyuaraan kebenaran agama.
Pula, mereka cenderung hiperbolis dengan agama dan keyakinan mereka sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan menafikan agama dan keyakinan umat lain.
Pasifisme
Pasifisme juga masih menjadi "pekerjaan rumah” bagi bangsa Indonesia. Pasifisme, istilah yang diciptakan oleh penulis dan aktivis Prancis Emile Arnaud (1864-1921), adalah kepercayaan atau prinsip antikekerasan (kekerasan verbal maupun fisik)–dengan demikian properdamaian–dalam menyelesaikan masalah. Konsep ini seperti ahimsa dalam tradisi agama-agama India (Hindu, Budha, dan Jain).
Alih-alih menyelesaikan persoalan, perselisihan, dan perbedaan dengan jalan perdamaian dan nirkekerasan, banyak individu dan kelompok–termasuk umat agama–yang gemar memilih jalan kekerasan, baik kekerasan fisik (persekusi, pengeroyokan, pengusiran, penggerudugan, pengrusakan, pembakaran properti, dan bahkan pembunuhan) maupun kekerasan verbal (penghinaan, pengutukan, pelecehan, bullying, umpatan, dlsb) baik di dunia nyata maupun maya.
Mari kita lihat sejumlah data kekerasan yang dirilis oleh lembaga-lembaga kompeten. Tercatat sejak rezim Suharto tumbang tahun 1998 hingga 2020, ada sekitar 2,398 kasus kekerasan fisik dan aksi intoleran di Indonesia, dan 65 persen di antaranya berdimensi agama (memiliki motif dan latar belakang agama). Bahkan Human Rights Watch dan International Crisis Group memperkirakan sekitar 90,000 orang tewas dalam berbagai kekerasan komunal pasca lengsernya Suharto.
Setara Institute juga mencatat tahun 2020 saja terdapat 422 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (aksi-aksi diskriminasi dan intoleransi) di 29 provinsi. Dari jumlah ini, 238 kasus dilakukan oleh aktor-aktor negara (pemerintah daerah, Satpol PP, aparat keamanan, dlsb) dan 184 kasus dilakukan oleh aktor-aktor non-negara seperti ormas keagamaan.
Meskipun kondisi Indonesia tidak separah dan sekrisis Palestina, Irak, Yaman, Sudan, Suriah, Afganistan dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya yang rawan perang dan kekeraan, negeri ini bukan berarti dalam keadaan damai, aman sentosa, dan baik-baik saja.
Humanisme
Setali tiga uang, humanisme–sebuah prinsip dan watak kemanusiaan universal melampaui batas-batas atau sekat-sekat primordial agama, etnis, suku, daerah, atau ideologi–juga masih menjadi barang langka di Indonesia.
Humanisme yang berkembang di Indonesia bukanlah "humanisme universal” melainkan semacam "humanisme primordial” atau "humanisme partikular”. Misalnya, masyarakat tergerak menolong atau membela orang atau masyarakat lain karena ada ikatan-ikatan primordial tertentu (misalnya karena seagama, seiman, seetnis, seormas, separtai, dan seterusnya).
Mari kita lihat dan tes simpel saja. Dalam kasus konflik Israel-Palestina, publik Indonesia bisa dikatakan terbelah menjadi dua kubu ekstrem: "kubu Israel” dan "kubu Palestina.” "Kubu Israel” biasanya terdiri atas umat kristiani (tentu saja tidak semuanya), Yahudi (meski populasinya sedikit), atau kelompok anti-Islam, sedangkan "kubu Palestina” sudah pasti didominasi oleh umat Islam dari berbagai macam kelompok dan ormas keislaman.
Dalam amatan saya, kedua kubu ini sama-sama "defisit humanisme” karena hanya membela kelompok (pelaku maupun korban) yang diimajinasikan sekubu dengan mereka saja dan pada saat yang sama mengabaikan kelompok yang mereka imajinasikan tidak sekubu. Misalnya, "kubu Israel” cenderung mengabaikan praktik kekerasan terhadap rakyat Palestina yang dilakukan oleh rezim ultranasionalis Israel, sementara "kubu Palestina” juga acuh dengan tragedi yang menimpa warga Israel akibat serangan kelompok militan Hamas (atau belakangan Houti).
Dalam konteks ini sikap Paus Fransiskus sangat patut dihargai karena konsistensinya dalam membela hak-hak rakyat Palestina dan pengutukan tindakan kekerasan baik yang dilakukan oleh rezim militan Israel maupun Hamas dan lainnya tanpa memandang latar belakang agama para pelaku dan korban kekerasan.
Refleksi Bersama
Itulah empat hal yang penting untuk dijadikan bahan refleksi bersama saat kunjungan Paus Fransiskus nanti. Dalam hal ini, bukan Paus yang mesti belajar dari Indonesia tetapi masyarakat Indonesialah yang harus mempelajari dan meneladani watak, prinsip, sikap, dan praktik Paus yang ekumenis, pluralis, pasifis, dan humanis.
Saya berharap (meskipun saya sadar bahwa harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang sering kali getir dan menyakitkan) kunjungan Paus nanti bisa menginspirasi publik Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat umum, untuk membangun bangsa dan negara tercinta ini di atas fondasi ekumenisme, pluralisme, pasifisme, dan humanisme sejati.
Sumanto Al Qurtuby
Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.