Memaknai Konsep Halal dan Haram dalam Islam (Bagian 2)
27 April 2022Dalam bagian kedua wawancara khusus ini, cedekiawan muslim K.H. Muhammad Arifin dari Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an yang didirikan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, antara lain menyinggung tentang penggunaan uang atau harta yang diperoleh secara haram untuk tujuan kebaikan.
DW Indonesia: Apakah Islam dan Al-Qur'an memberi kebebasan manusia untuk mengambil keputusan sendiri? Mengapa?
K.H. Muhammad Arifin: Ada diberi kebebasan. Semua manusia diberi kebebasan bahkan ditantang manusia untuk terus berpikir. Ditantang. Umpamanya, kenapa kalian tidak merenungkan ayat-ayat kami, ayat-ayat Allah yang ada di langit dan bumi. Itu 'kan tantangan.
Jadi punya kebebasan, hanya saja karena manusia tidak semuanya terpelajar dan kadar kemampuan berpikir manusia juga beda-beda, sehingga kebebasan untuk menentukan halal/haram sendiri itu menjadi terbatas.
Kami menamakannya ada masyarakat awam, ada masyarakat khusus yang relatif terpelajar. Terpelajar tentunya yang membidangi bidangnya. Doktor di bidang psikologi umpamanya, karena tidak membidangi Islam, tidak membidangi tafsir, itu masih termasuk awam dalam hal hukum Islam. Jadi dia tidak bisa menentukan halal/haram karena kepakarannya di psikologi. Tetap harus merujuk kepada ahli di bidang agama.
Kalau soal kebebasanya, ya memang dibebaskan, ditantang, tapi itu berlaku bagi orang-orang yang punya keahlian. Orang yang berilmu, yang mendalami ilmu agama.
Kalau orang awam tidak diberikan kebebasan seperti itu bahkan dianjurkan untuk ikut kepada ulama-ulama yang menurutnya tepat. Jadi katakanlah saya ini tidak tahu apa-apa tapi saya tahu ada guru saya, Pak Quraish umpamanya mengatakan berdasarkan penelitian beliau itu halal, ya sudah saya ikut Pak Quraish saja. Itu boleh buat orang awam.
Contoh, tersangka melakukan korupsi yang hasilnya akan disedekahkan ke masjid, apakah ini halal atau haram mengingat uang korupsi dipakai untuk tujuan baik? Apa konsekuensi bagi penerima uang dari cara yang tidak baik?
Ada dua pandangan begini, pertama bahwa ada hadis nabi yang mengatakan bahwa Allah itu bersifat mahabaik. Mahabaik itu artinya bersih, suci sehingga tidak menerima perbuatan manusia yang tidak baik. Dalam hal ini berarti perbuatan baik membangun atau menyumbang harta kepada masjid, kepada kaum miskin yang dilakukan oleh koruptor itu baik. Menyumbang itu baik. Sedekahnya sendiri itu baik. Tapi karena dia bersedekah dengan cara melakukan korupsi untuk mendapatkan uang yang disedekahkan, cara itu tidak baik sehingga Allah tidak menerima. Tidak menerima karena Allah menerima yang baik-baik saja.
Artinya, perbuatan itu membuat dia merasa menjadi pahlawan, membantu orang miskin. Dalam pandangan Allah kamu bukan siapa-siapa karena cara kamu kotor. Cara kamu kotor tidak sesuai dengan cara yang Aku tentukan. Ibaratnya begitu dalam bahasa agamanya. Itu satu sisi.
Tapi sisi lain, harta atau uang dalam pandangan Islam itu sifatnya netral. Yang halal atau haram adalah cara memperolehnya. Katakan begini, ada orang mencuri dia dapat uang. Ternyata hasil dia mencuri kemudian dia bagi-bagi ke saya dengan alasan saya ini orang yang pernah membantu dia. Lalu dia berterima kasih ke saya, lalu dikasihlah saya uang itu. Sayanya tidak berdosa apa-apa, karena saya menerima uang itu dengan cara yang baik-baik, 'toh saya menerima bukan saya mencuri. Bukan apa-apa ya, saya hanya diberi. Sayanya tidak berdosa apa-apa, tetapi dianya berdosa karena mencuri.
Jadi ada dua pandangan memang. Di dalam pandangan Allah, perbuatan orang yang memberi bantuan kepada saya itu sangat besar kemungkinannya tidak diterima oleh Allah karena caranya yang jelek. Tapi dari sisi saya sebagai orang yang diberi, saya tidak berdosa apa-apa walaupun uang itu yang diperoleh yang bersangkutan dari hasil yang tidak baik.
Banyak kejadian yang bersalah si pelaku utama tadi itu yang korupsi. Tapi sekolah atau pengurus masjid yang menerima bantuan itu mereka tidak ikut bersalah/berdosa dalam pandangan Islam. Yang nerima tidak salah karena proses nerimanya sendiri benar.
Alkohol dan babi keduanya dianggap haram bagi umat Islam. Tapi mengapa ada yang pilih-pilih untuk mengonsumsi dua hal itu?
Pertama gini kalau saya melihat begini, di agama apa pun, manusia tidak bisa menjadi ukuran umat-umat agama tertentu. Tidak bisa menjadi ukuran hukum agama yang bersangkutan. Karena bisa saja dia tahu khamr atau minuman beralkohol itu sebenarnya haram tapi karena dia terdorong oleh nafsu atau ingin dikatakan gaul lalu dia dikonsumsi padahal dia tahu.
Alkohol 'kan termasuk yang memabukkan. Dalam hadis disebutkan semua barang atau makanan minuman yang memabukkan itu haram. Bunyinya kurang lebih begitu. Hanya saja ulama-ulama menyimpulkan lagi, kalau sampai tidak memabukkan bagaimana. Kalau sampai tidak memabukkan, nah berpikirlah ulama-ulama itu untuk memastikan seberapa sih yang bisa memabukkan dan yang tidak memabukkan.
Cari-cari, pada masa dulu pun ada jenis makanan tertentu yang mengandung sejenis alkohol. Katakanlah zaman sekarang ada tape atau peyeum. Peyeum itu juga mengandung alkohol hasil fermentasi. Tapi karena kadarnya yang sangat sedikit tidak mengubah… tidak menyebabkan mabuk, itu menjadi tetap halal, tidak haram. Tetapi ketika ditambah kadar alkoholnya sehingga membuat orang ada rasa pusing, itu hukumnya bisa berubah menjadi haram.
Apa konsekuensi bagi umat Islam yang mengonsumsi atau melakukan hal yang diharamkan? Konsekuensi di dunia maupun di akhirat.
Secara hukum agamanya, ini masih di dunia, kalau minuman keras atau khamr kemudian berjudi itu disebutkan dalam hadis salatnya selama 40 hari tidak diterima. Katakan mungkin dia orang baik-baik, dia salat di masjid, bertetangga juga bagus, tapi dia tidak bisa menjaga nafsu untuk mengonsumsi khamr itu, pada saat yang sama dia konsumsi bahkan tidak mabuk, masih fine-fine saja. Nah dalam keadaan seperti itu salatnya 40 hari sejak dia minum khmar itu tidak diterima.
Artinya kalau umpamanya hari ini dia minum lalu dua minggu kemudian dia minum lagi, itu berlaku lagi 40 hari ke depan tidak diterima salatnya. Itu konsekuensi di dunia. Jadi 'kan percuma, kita sia-sia ke masjid, kita salat tidak ada pahalanya, tidak dicatat oleh Allah.
Nah di akhirat, selama orang yang bersangkutan belum bertobat, tidak memohon ampun kepada Tuhan ya tentu akan mendapatkan siksa. Kecuali kalau dia sadar dan meninggalkan perbuatan itu menyatakan diri "Ya Allah aku tergoda oleh nafsuku sendiri dan sekarang aku sadar bahwa perbuatan itu salah, ampuni aku ya Allah" saat itu Allah sudah mengampuni dan berlaku lagi dia sebagai muslim yang baik lagi.
Bagaimana menjadi umat Islam yang peka mempertimbangkan hal-hal halal dan haram? Apa saja yang harus dilakukan?
Pertama memang harus sering bertanya kepada yang memang ahli tapi kalau yang dasar-dasar seperti khamr itu sebetulnya dalam bahasa Al-Qur'an atau bahasa Islam sesuatu yang sudah sangat lumrah. Artinya hampir bisa dipastikan tidak ada seorang muslim yang tidak tahu bahwa khamr itu haram.
Karena saking seringnya dibahas, mulai katakanlah dalam pelajaran agama Islam di SD itu sudah dipelajari. SMP, SMA masa iya ada seorang muslim yang tidak tahu kalau khamr itu haram. Itu hampir mustahil. Ketika hal-hal itu yang hampir mustahil terjadi kok masih ada orang yang nekat itu jelas orangnya yang bersangkutan yang salah. Bukan masyarakat atau ulama, karena ulama sudah menjelaskan.
Tapi untuk hal-hal yang baru, yang memang tidak baku, atau tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an atau hadis, nah itu kita harus sering-sering merujuk kepada pendapat ulama. Hal yang baru ini seperti tadi yang saya contohkan - bunga bank, rokok.
Rokok saja di Indonesia ada dua pendapat. Muhammadiyah itu setahu saya mengharamkan, tapi NU menghalalkan karena memang beda sudut pandang. Yang NU antara lain berpendapat kalau itu dikatakan membahayakan, nyatanya banyak orang yang sampai umur 80 tahun masih sehat walafiat, merokok tiap hari. Ya karena memang belum sampai pada tingkat keyakinan bahwa itu benar-benar membahayakan sehingga ulama NU mengatakan ini tidak haram. Beda pandangan itu biasa, tidak masalah dalam Islam, apalagi soal rokoknya sendiri hal baru, tidak pernah ada terjadi dalam zaman rasul.
Beda halnya ketika pada zaman nabi, Al-Qur'an mengatakan babi itu haram, lalu ada ulama yang mengatakan babi halal itu jelas tidak dibenarkan. Karena keharaman babi tidak bisa untuk diijtihadkan atau dikontekstualkan di zaman kita sekarang. Sudah dari sononya dulu babi ya haram, mau sampai kapan pun tetap haram.
Bahkan begini, dulu 'kan alasan pengharaman babi itu pernah dibahas oleh pakar-pakar ke-Islaman dan pakar kesehatan. Alasannya karena babi mengandung cacing pita. Katanya begitu.
Tapi kemudian di Eropa pernah berkembang peternakan babi diatur sedemikian rupa, bersih, dikontrol, sehingga babi-babi yang diternak di situ sudah tidak mengandung cacing seperti itu. Dalam keadaan seperti itu, tetap haram. Jadi keharaman babi itu bukan karena mengandung cacing pitanya tetapi karena memang Allah sudah mengharamkan.
Walaupun nanti kemajuan teknologi berhasil membuat ternak babi yang bersih, tidak mengandung penyakit apa pun, dia tetap haram karena Al-Qur'an sudah mengatakan haram. Soal yang sudah disebut-sebut di dalam Al-Qur'an itu tidak bisa diganggu-gugat selamanya. (ae)
Wawancara untuk DW Indonesia oleh Leo Galuh dan telah diedit sesuai konteks.
Kembali ke bagian 1