Tentang Malala: Nobel dan Harapan Perubahan
7 Oktober 2013Malala, yang selamat dari penembakan oleh Taliban pada 9 Oktober tahun lalu, telah menjadi duta besar global bagi pendidikan, dirayakan oleh para orang terkenal dan politisi di Barat.
Tapi di Lembah Swat, kota barat laut Pakistan, wilayah yang sangat konservatif yang takut pengaruh asing melanggar tradisi masyarakat, banyak yang memandang sosok Malala dengan pandangan curiga dan bahkan menghina.
Sahabat lamanya Safia, tidak punya keraguan seperti itu. Ia bicara dengan percaya diri mengenai temannya dan hak-hak perempuan, dalam bahasa Inggris yang sangat baik.
Kandidat favorit
Malala termasuk diantara favorit calon pemenang Nobel Perdamaian tahun ini, yang akan diumumkan pada Jumat mendatang, dan bagi Safia kawannya itu pantas menerimanya.
Malala melalui sebuah wawancara mengatakan bahwa penghargaan itu adalah sebuah “kesempatan terbesar”, tapi ia menekankan bahwa pendidikan bagi semua anak – laki-laki dan perempuan – adalah tujuan sebenarnya. Safia berdiri di belakangnya.
“Sebuah sepeda tidak bisa berjalan hanya dengan satu roda: masyarakat itu seperti sepeda, dengan pendidikan laki-laki sebagai roda depan dan pendidikan perempuan sebagai roda kedua,“ kata dia.
Swat yang indah dan hijau pernah menjadi tujuan utama turis, tapi wilayah itu tercemplung ke dalam perang tahun 2007 ketika kelompok Taliban Pakistan mengambil kontrol atas wilayah dan memberlakukan hukum Islam dengan cara keras, sampai kemudian mereka terusir oleh tentara dua tahun kemudian.
Tapi kantung-kantung militansi masih tersisa dan setahun yang lalu, pasukan penyergap Taliban mencegat bis sekolah dan menembak Malala di bagian kepala dalam jarak dekat.
Hebatnya, ia selamat dan menghabiskan tahun terakhir ini di Inggris – pertama untuk perawatan dan kemudian untuk melanjutkan pendidikannya.
Sentimen Safia juga dirasakan banyak gadis sekolah di Mingora, yang ingin agar negara dan daerah mereka dikenal untuk sesuatu selain Taliban dan bom.
“Malala adalah sebuah model, bukan hanya bagi kami tapi bagi seluruh Pakistan,“ kata gadis pelajar berusia 14 tahun bernama Rehana Noor Bacha.
Pendidikan telah membaik di Swat sejak terusirnya Taliban. Mulai 2011 proporsi anak perempuan yang pergi ke sekolah telah naik hampir 50 persen, dari sebelumnya 34 persen. Sementara anak laki-laki yang bersekolah angkanya mendekati 90 persen.
Tapi pemerintah mengatakan mereka kini kekurangan setidaknya seribu guru perempuan dan 200 ruang kelas untuk perempuan.
Malala telah menjadi remaja paling terkenal di dunia, menarik dukungan dari orang-orang beken seperti Madonna, Angelina Jolie, Hillary Clinton, Bono dan Gordon Brown.
Tapi kebangkitannya sebagai bintang di Barat, dan seringnya kemunculan dia di media, telah memunculkan kecurigaan di dalam masyarakat yang masih menuntut perempuan untuk tidak banyak muncul di depan publik dan dan cepat menyalahkan Barat atas berbagai masalah yang menimpa diri mereka.
‘Amerika ciptakan Malala'
Kepala pendidikan para gadis remaja di Swat, Dilshad Begum, menjelaskan bahwa di dalam masyarakat Pashtun “orang-orang tidak suka melihat perempuan di depan kamera”.
Maulana Gul Naseeb, seorang tokoh terkenal di partai politik Islam terkemuka JUI-F, lebih blak-blakan.
“Amerika menciptakan Malala untuk mempromosikan budaya mereka yang suka ketelanjangan dan untuk mencela nama baik Pakistan di seluruh dunia,” kata dia.
Teori aneh seperti itu mendapatkan tempat berkembang biak di situs jejaring sosial, dengan para penggunanya yang menyatakan diri terkejut melihat Barat “hanya” menaikkan seorang gadis yang terluka sambil melupakan rakyat Afghanistan dan anak-anak Pakistan yang terbunuh oleh bom Amerika.
Skeptisisme dan harapan
Seorang sopir bernama Ali Rehman, 33, termasuk diantara yang skeptis.
”Orang-orang lokal tidak pernah menganggap dia (Malala) dengan serius. Ia menjadi terkenal hanya karena media internasional,“ kata dia sambil menambahkan bahwa tidak ada yang berubah kini, kecuali bagi Malala dan keluarganya yang sekarang hidup dengan mudah di Inggris.
Malala mulai menjadi terkenal selama kekuasaan Taliban di Swat saat ia menulis di blog BBC berbahasa Urdu. Ia mencatat kerasnya kehidupan sehari-hari di bawah kekuasaan para Islamis.
Safia mangatakan bahkan orang-orang dari desa Malala yang menentang anak perempuan itu sebenarnya “munafik dan cemburu“.
Ancaman Taliban kini masih mengintip. Setelah serangan atas Malala, para pelajar di sekolah Mingora keberatan saat pemerintah mencoba menjadikan nama gadis itu sebagai nama sekolah. Para pelajar itu beralasan mereka takut diserang.
Bahkan kini, Dilshad Begum masih enggan bicara soal Malala di depan umum.
"Saya merasa takut dan saya tidak bicara tentang dirinya. Orang-orang membisu tentang Malala meski mereka menyukainya. Ketakutan, bagaimanapun masih ada, meski ada optimisme,” kata dia.
Jumat pekan ini seiring pengumuman pemenang Nobel perdamaian yang semakin mendekat, Safia akan berdoa bagi kemenangan temannya, meski mengingatkan bahwa hanya akan ada sedikit perbedaan jika Malala menang.
”Perlu waktu paling tidak tiga generasi untuk membuat itu berubah di sini,” keluh Safia.
ab/hp (afp,ap,rtr)