1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan Hukum

Terdakwa Penembakan Masjid Selandia Baru Jalani Sidang Vonis

24 Agustus 2020

Brenton Tarrant, pelaku penembakan terhadap warga muslim di sejumlah masjid di Selandia Baru terdiam ketika mendengarkan kesaksian para korban yang selamat dari serangannya.

https://p.dw.com/p/3hO92
Brenton Tarrant, pelaku pembunuhan terhadap warga muslim di Christchurch, Selandia Baru
Brenton TarrantFoto: picture-alliance/AP Photo/J. Kirk-Anderson

Warga Australia, Brenton Tarrant pelaku pembunuhan terhadap 51 warga Muslim dalam penembakan di sejumlah masjid di Selandia Baru pada tahun lalu tidak menunjukkan emosi saat mendengarkan kesaksian para korban ketika penyerangan terjadi.

Sidang vonis hukuman yang dibuka hari ini (24/08) mendengarkan rincian kesaksian para korban atas kekejaman yang dilakukan Tarrant.

“Brenton Tarrant ingin menembak lebih banyak orang daripada yang telah dia lakukan", kata jaksa penuntut Selandia Baru. Sidang vonis digelar di tengah keamanan yang ketat dan di depan keluarga para korban.

Pengadilan mendengar bagaimana Tarrant yang bersenjata berat menembaki pria, wanita, dan anak-anak saat ia menyiarkan langsung serangannya melalui media sosial. Pelaku mengabaikan permohonan bantuan dan melindas seorang korban saat ia pindah dari satu masjid ke masjid berikutnya. 

“Ketika ia melihat seorang anak berusia tiga tahun menempel di kaki ayahnya, Tarrant menembaknya dengan dua tembakan tepat sasaran", kata jaksa Barnaby Hawes di pengadilan.

Tarrant mengaku bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu tuduhan terorisme atas serangan di dua masjid di Christchurch pada Maret tahun lalu. Jaksa berharap pria berusia 29 tahun itu menjadi orang pertama yang dipenjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat di Selandia Baru.

Tarrant ditangkap saat ia berkendara untuk menyerang masjid ketiga di Ashburton, sekitar satu jam di selatan Christchurch.

Mengenakan pakaian penjara abu-abu dan dikelilingi tiga petugas polisi di dermaga, pria Australia itu tetap diam ketika Hawes menyampaikan ringkasan fakta yang mengerikan, dan anggota komunitas Muslim menceritakan dampaknya pada kehidupan mereka.

"Ia mengaku (kepada polisi) pergi ke kedua masjid dengan maksud untuk membunuh sebanyak mungkin orang," kata Hawes.

Dalam wawancaranya, terdakwa menyebut serangannya sebagai 'serangan teror'.

"Ia lebih lanjut menyatakan serangan itu dimotivasi oleh keyakinan ideologisnya dan bermaksud untuk menanamkan ketakutan pada mereka yang ia gambarkan sebagai 'penjajah' termasuk populasi Muslim atau lebih umumnya imigran non-Eropa," jelas Jaksa Hawes.

Teroris yang dicuci otak

Abdiaziz Ali Jama, seorang pengungsi Somalia berusia 44 tahun, melihat saudara iparnya Muse Awale ditembak mati, dan mengatakan ia terus menderita trauma mental setelah kejadian itu.

"Saya melihat dan mendengar suara tembakan senjata - di kepala saya," kata Jama, menggemakan kata-kata dari beberapa pembicara.

"Saya mengalami kilas balik, melihat mayat di sekitar saya. Darah di mana-mana," tambah putra Ashraf Ali ini.

Gamal Fouda, Imam Masjid Al Noor, mengatakan dia berdiri di mimbar "dan melihat kebencian di mata seorang teroris yang dicuci otaknya" sebelum mengatakan kepada Tarrant: "Kebencianmu tidak perlu."

Pengadilan diberitahu bahwa Tarrant tiba di Selandia Baru pada 2017 dan tinggal di Dunedin, 360 km selatan Christchurch. Di tempat tinggalnya, Tarrant mengkoleksi senjata api dan membeli lebih dari 7.000 butir amunisi. Ia juga membeli baju besi balistik gaya militer dan rompi taktis.

Dua bulan sebelum serangan itu, Tarrant pergi ke Christchurch dan menerbangkan drone di atas masjid al Noor, merekam halaman dan bangunan, termasuk pintu masuk dan keluar serta membuat catatan rinci tentang perjalanan antar masjid.

Pada hari Jumat, 15 Maret 2019, Tarrant pergi ke Christchurch dengan membawa senjata berkekuatan tinggi yang ia tulis referensi tentang pertempuran bersejarah, tokoh-tokoh Perang Salib, dan serangan teror serta simbol yang lebih baru.

“Ia memiliki amunisi yang dimuat sebelumnya ke dalam magazin, serta wadah bensin yang dimodifikasi untuk membakar masjid dan mengatakan ia berharap melakukannya", kata Hawes.

Beberapa menit menjelang penyerbuan ke Masjid al Noor, Tarrant mengirim manifesto setebal 74 halaman radikal ke situs web ekstremis, memberi tahu keluarganya tentang apa yang akan ia lakukan dan mengirim email yang berisi ancaman untuk menyerang masjid ke berbagai agen media.

Tarrant mewakili dirinya sendiri di persidangan. Hakim Cameron Mander telah memberlakukan pembatasan pelaporan untuk mencegah ia menggunakan pengadilan sebagai platform untuk pandangan ekstremis.

Mander diperkirakan akan menjatuhkan hukuman pada hari Kamis, 27 Agustus 2020.

ha/vlz /AFP)