'The Act Of Killing' Bertarung di Oscar
16 Januari 2014
DW: Apa ide di balik film Anda?
Joshua Oppenheimer: Dalam kasus ini, para pelaku genosida menang dan bahkan membangun rezim teror di atas mayat yang menggunung, rezim yang merayakan apa yang mereka perbuat, di satu sisi untuk meyakinan diri mereka sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, agar para pelaku dapat hidup tenang dan di sisi lain agar masyarakat takut, karena memang sangat mengerikan jika pembunuhan massal dirayakan secara terbuka dan ini adalah ancaman yang tetap mengancam di depan mata.
Saya pertama kali mendengar ini dari komunitas orang-orang yang selamat dari genosida, mereka takut mengisahkan pengalaman ini - tiap kali saya mencoba merekamnya kami selalu diganggu polisi atau militer, ada yang ditahan, tapi kami tetap sepakat bahwa sangat penting untuk tidak lagi bungkam. Mereka mengatakan "Josh, ini terlalu penting, ayo tanyakan langsung hal ini kepada para pembunuh, mereka akan mau buka suara - mereka siap menceritakan ini kepada semua orang." Dan ternyata ini memang benar, para pembunuh tidak memberikan kesaksian untuk mengingat apa yang terjadi tapi mereka sangat ingin memamerkan perbuatan mereka. Saya bertanya, ini apa sebenarnya? Mereka pikir, saya siapa? Apakah mereka tidak peduli, apa pendapat saya tentang mereka? Apa kesan yang ingin mereka munculkan? Apa persepsi masyarakat atau dunia internasional tentang mereka? Dan bagaimana sebenarnya mereka melihat diri mereka sendiri?
Proses menghidupkan kembali peristiwa tersebut tidak muncul begitu saja. Anwar (Congo-red) adalah orang ke-41 yang saya rekam dan semuanya membangga-banggakan perbuatan mereka - saya bisa saja merangkai semua rekaman tersebut, merekonstruksi apa yang terjadi melalui cerita mereka.
Tapi Anwar menarik perhatian saya, karena entah mengapa ada kejujuran, seperti ada yang mengganjal, ia merasa bersalah, mungkin tidak merasa bersalah tapi trauma, ia seperti dihantui peristiwa itu dan perasaan itu sangat terlihat, ia seperti bermain sandiwara. Ditambah dengan sikap pamernya, saya merasa ia berusaha untuk mengkompensasikan sesuatu - ia tidak hanya mengagungkan dirinya, ia berusaha menyembuhkan traumanya.
Saya sadar bahwa jika saya membiarkan mereka bercerita, tidak mengarahkan mereka, saya akan mendapat jawaban atas semua pertanyaan di atas. Jadi ini adalah film yang menampilkan tukang jagal yang tampaknya tak merasa menyesal, yang mendramatisir kenangan mereka tentang genosida.
Mengapa Anda secara aktif fokus pada para pelaku jagal?
Saya punya cukup bahan tentang para korban, itu akan digunakan untuk sebuah film lain. Tapi ada keputusan yang sangat jelas bahwa jika kami menampilkan para korban sebagai protagonis, para penonton akan berpihak pada mereka, dan melihat para pembunuh sebagai monster; tapi apa yang ingin ditampilkan film ini - yaitu bentuk dari kejahatan dan bagaimana manusia bisa begitu tega melakukan semua ini - semua itu akan ambruk karena penonton tidak akan melihat para pelaku sebagai manusia. Tapi saya yakin, para korban menghantui setiap adegan film ini.
Apa yang ingin Anda capai dengan membuat film mewakili mereka yang selamat?
Komisi HAM Indonesia meluncurkan laporan setebal 850 halaman Agustus lalu mengenai apa yang terjadi, Komisi HAM juga menyampaikan rekomendasi yang saya dukung sepenuhnya. Laporan tersebut ditolak jaksa penuntut umum.
Beberapa tuntutan mereka sangat sederhana - misalnya, desakan untuk membentuk komisi kebenaran karena tanpa kebenaran tidak mungkin ada rekonsiliasi, selain itu, presiden perlu meminta maaf atas nama negara. SBY memang tidak terlibat pembunuhan massal tersebut, tapi ia adalah jenderal angkatan bersenjata yang meraih posisinya melalui institusi yang korup, penuh kekerasan, melecehkan hak asasi manusia dan adalah pelaku utama dalam genosida ini. Angkatan bersenjata mendalangi regu penembak dan di beberapa kawasan, militerlah yang langsung membunuh. Tentu saja, harus ada proses persidangan untuk menghukum dalang genosida ini, meski itu dilakukan in absentia (upaya mengadili seseorang tanpa dihadiri terdakwa-red) karena banyak di antara mereka sudah meninggal. Saya ingin menambahkan tiga hal lainnya:
Pertama, harus ada upaya terpadu untuk memberantas korupsi di Indonesia. Kedua, premanisme dalam politik perlu diatasi. Dalam suatu demokrasi tidak ada ruang bagi impunitas. Politisi banyak memperkerjakan preman, begitu juga perusahaan-perusahaan besar. Dan yang terakhir, diperlukan pemerataan kesejahteraan.
Para pelaku memperkaya diri sementara rakyat biasa yang dituduh punya hubungan atau bahkan hanya sekedar kenal dengan kelompok komunis atau kaum kiri, mereka tidak mendapat akses pada pendidikan lanjutan, harus melakukan kerja paksa bagi militer, dipaksa membayar denda pada politisi lokal dan dipersulit saat mencari kerja. Akibatnya, begitu banyak orang terpuruk dalam kemiskinan. Belum lagi dampak sosial dalam keluarga karena si ayah diculik dan dibunuh, atau sang ibu dibunuh atau diperkosa - ada kemiskinan dan kesengsaraan. Harus ada upaya untuk merehabilitasi mereka dan mengangkat mereka dari kemiskinan. Ini yang saya inginkan.
Lalu apa harapan Anda sekarang?
Saya berharap warga Indonesia menunjukkan film ini untuk mengisahkan cerita mereka, mendobrak kebisuan dan tidak lagi bersembunyi, agar mereka berani untuk bangkit dan menuntut pertanggungjawaban dari para politisi.
Film ini menyebabkan perubahan dalam cara Indonesia memandang dirinya dan juga diskusi di Indonesia sendiri. Film ini ditayangkan 270 kali di 91 kota sejak bulan Desember 2012 lalu, dan ada 500 laporan yang membahasnya. Dari artikel itu hanya lima yang negatif. Werner Herzog mengatakan kepada saya, "Seni tidak menyebabkan perubahan, sampai perubahan itu terjadi." Saya sangat bangga karena saya menjadi bagian dari masa, di mana seni mendorong perubahan.
Sayangnya, saya tidak bisa kembali ke Indonesia untuk syuting film lainnya di sana. Orang Indonesia begitu terbuka dan ramah - saya sangat mencintai Indonesia dan karena itu film saya adalah suatu ungkapan rasa cinta bagi negeri itu.
Reporter DW Anne Thomas berbincang dengan Joshua Oppenheimer di Berlin.