Kesiapsiagaan Pemda Rawan Bencana Sangat Diperlukan
11 Oktober 2018Pemerintah pusat maupun daerah menjadi pihak yang paling ditunggu tanggung jawabnya ketika satu daerah tertimpa bencana. Namun, sangat mungkin terjadi pemerintahan lumpuh dan sulit bergerak. Apalagi, bila infrastruktur vital seperti listrik, jaringan telefon, jalan raya, rusak parah. Gempa bumi yang diikuti tsunami dan likuifaksi yang memporak-porandakan Donggala, Palu dan Sigi, di Sulawesi Tengah salah satu contohnya.
Bagaimana proses evakuasi dan pertolongan kepada korban dapat dilakukan? Kami berbincang dengan salah satu anggota Tim Nurani Astra, Mochamad Husni, yang terjun langsung ke wilayah bencana dan menceritakan bagaimana proses penyaluran bantuan dilakukan di kawasan ini.
DW: Apa saja bentuk bantuan yang disalurkan tim Anda ke wilayah bencana di Palu, Donggala dan Sigi?
Mochamad Husni: Perhatian utama kami adalah bagaimana para korban bisa mendapatkan pertolongan dan bantuan secepat mungkin. Konsentrasi kami bagi menjadi tiga tahap. Pertama, evakuasi korban baik yang selamat maupun yang meninggal dunia. Pada tahap ini kami kirimkan bantuan berupa makanan, minuman dan obat-obatan untuk para pengungsi. Untuk menolong mereka yang tertimbun bangunan, kami kirimkan eskavator beserta operatornya. Alat berat ini sangat berguna untuk mengangkat puing-puing dari reruntuhan bangunan, dan tanah yang menimbun korban.
Bagaimana koordinasi dengan tim dari pemerintah?
Mereka bergerak juga di lapangan. Kami sebisa mungkin berkoordinasi dengan mereka, seperti dengan Tim Basarnas, aparat militer, dan lainnya. Sebagai contoh, saat kami mengerahkan alat berat, koordinasi dan kerja sama itu sangat diperlukan. Dengan bantuan warga dan saksi mata, mereka membantu menunjukkan lokasi yang mungkin ada korban tertimbun, baik karena dampak gempa maupun hempasan tsunami yang merobohkan bangunan. Kami lapor, ‘Pak, kami punya alat, operator kami siapkan, termasuk bahan bakar’. Pasokan bahan bakar kan sempat terputus di Palu karena SPBU banyak yang terhempas tsunami, jalan raya untuk transportasi dan distribusi bahan juga tersendat. Kami tanyakan, ‘Bagaimana pengarahannya dari Basarnas?’ Lalu mereka tunjukkan beberapa titik, termasuk di Hotel Roa-roa yang runtuh. Kami temukan beberapa jenazah dan membantu menyelamatkan barang-barang yang bisa diidentifikasi pemiliknya. Bersamaan dengan bantuan berupa alat berat itu, konsentrasi bantuan dalam bentuk suplai pasokan sembako atau bahan makanan seperti mie instans, beras, makanan yang mudah dan cepat disajikan juga terus kami berikan.
Bagaimana koordinasinya untuk penyaluran makanan?
Sama juga. Kami selalu melapor. Kami bilang bahwa kami punya pasokan makanan. Supaya bantuan tepat sasaran, kami awali dengan survei dan melihat langsung ke lapangan. Selain kami, bantuan juga banyak mengalir dari lembaga-lembaga lain. Kami berupaya menghindari jangan sampai ada pengungsi yang sama sekali tidak mendapat bantuan. Situasi itu sangat mungkin terjadi mengingat sebaran daerah terdampak memang luas. Bantuan makanan ini menjadi makin penting karena setelah bencana sempat terjadi penjarahan sehingga toko-toko yang tidak terlalu terkena dampak tidak berani buka. Jadi kami datangkan pasokan makanan dari kota-kota di sekitar Palu yang bisa ditempuh lewat jalur darat, lalu kita bawa ke titik bencana. Kami juga suplai dokter yang mendatangi titik-titik pengungsian. Tahap berikutnya nanti adalah tahap pemulihan. Kami siapkan trauma healing, dan hal-hal penting yang perlu dilakukan agar tempat pengungsian tetap layak huni.
Apa Anda mengalami kesulitan dalam penyaluran bantuan?
Penyaluran bantuan tidak ada halangan. Memang sempat beredar info soal penghadangan dari masyarakat, tapi di lapangan aparat keamanan siap sedia. Kehadiran mereka mencegah tindakan-tindakan kriminal yang mungkin dilakukan warga yang panik. Sewaktu kami berkoordinasi ke kantor pemerintah kota, mereka malah menyampaikan terima kasih. “Bagus ini Astra, langsung mengirimkan ke lapangan. Karena kami juga menangani korban dan wilayah yang luas,” begitu kata mereka. Kami tetap koordinasi dan melapor supaya tak salah langkah dan setidaknya bisa meringankan beban pemerintah daerah setempat. Apalagi, kami duga banyak juga pegawai mereka yang menjadi korban. Karena pada saat kejadian mereka tengah menyelenggarakan sebuah acara di Pantai Talise, pantai ini paling parah tersapu tsunami.
Apa benar pemerintah daerah tidak siap?
Ketika konferensi pers berlangsung kemarin (10/10), memang banyak media yang menanyakan persoalan di lapangan yang seakan dipicu oleh ketidaksiapan pihak pemerintah. Misalnya, soal pengungsi yang belum mendapat bantuan. Dari jawaban mereka, itu terjadi karena jumlah warga mereka sangat banyak, mencapai 400 ribu jiwa. Menurut mereka langkah-langkah pertolongan sudah mereka lakukan. Mereka juga bekerja keras, mulai dari mengevakuasi, mengurus pengungsi, menyuplai pasokan untuk kebutuhan pengungsi dan lain-lain. Mungkin karena luas dan korban yang terkena dampak sangat besar, sehingga kekurangan-kekurangan di lapangan itu tidak bisa mereka hindari. Mereka terbuka terhadap masukan dan berterima kasih atas bantuan bermacam pihak yang sudah diberikan untuk warganya. Dan mereka mengakui juga bahwa banyak SDM mereka yang menjadi korban sehingga operasional kantor belum bisa maksimal. Saya kira ini wajar, harus dimaklumi, dan di situlah perlunya peran-peran swasta maupun lembaga-lembaga masyarakat. Penanganan perlu dilakukan dengan terus menjalin kerja sama dan koordinasi yang intens.
Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap kritikan tersebut?
Seperti saya bilang tadi, dari konferensi pers itu mereka mengaku terbuka dan siap menerima masukan. Kami yang datang berkoordinasi dengan mereka juga mereka terima. Di lapangan juga kami lihat mereka sibuk menerima bantuan-bantuan yang mengalir, maupun lembaga-lembaga yang ingin berkoordinasi. Cuma, memang data-data yang kami perlukan tentang titik-titik pengungsi, daerah yang sudah atau belum mendapat bantuan tidak mudah kami dapat. Data itu sangat penting supaya semua korbanmendapat perhatian dan kebutuhannya dapat terpenuhi dengan baik.
Akhirnya apa yang tim Anda lakukan?
Koordinasi dengan pemerintah kota tetap kami lakukan. Kami ke kantor walikota untuk menginformasikan langkah-langkah kami. Pokoknya, warga harus mendapat bantuan semaksimal mungkin dan secepat mungkin, pemerintah juga dapat terbantu. Untuk menjamin akurasi lapangan, kami juga menugaskan tim untuk melakukan survei langsung ke lapangan. Kami cek apa yang menjadi kebutuhan mereka. Tim kami bahkan mengajak pegawai pemerintah yang ditunjuk untuk mengantar kami ke daerah-daerah yang perlu mendapat bantuan. Saya bisa bayangkan situasi di kalangan pemerintah itu, mengingat banyak infrastruktur yang rusak. Mereka juga mengingatkan kami karena lokasi pengungsi itu sampai ke bukit-bukit dan daerah yang sulit dijangkau.
Kami dari Astra Group memiliki program Nurani Astra, yang dikelola perusahaan dengan menggerakkan anak-anak perusahaan di seluruh nusantara memang biasa untuk melakukan kegiatan-kegiatan kemanusian. Ketika kami lihat ada bencana di Sulawesi Tengah ini, kami bergerak. Kebetulan di Sulawesi Tengah, tiga jam dari titik bencana, ada perkebunan kelapa sawit Grup Astra, kami yang ditugaskan bergerak secepat mungkin bersama anak-anak perusahaan lainnya. Kami berusaha berkoordinasi dengan pemerintah kota. Kami melihat mereka pun banyak yang menjadi korban, infrastrukturnya juga banyak yang rusak, jadi kami jalan langsung ke lapangan sambil kami paralel melaporkannya pada pemerintah kota. Jadi yang kami lihat masih belum tertangani oleh pemerintah kota, kami datangi. Kami berikan sembako, bahan makanan pokok, air bersih, pengobatan, semua itu kami lakukan dengan melihat kondisi di lapangan secara langsung.
Sebenarnya apa kendala teknisnya dan bagaimana tim Anda menyiasatinya?
Relatif tidak ada kendala. Soal data lapangan kami antisipasi dan tugaskan tim survei sendiri. Kami juga menemui beberapa kawan dan relawan di sini. Kami bertanya pada mereka, di mana titik yang belum tersentuh, lalu kami ke sana. Misalnya, kemarin kami ke daerah pantai barat, yang sangat dekat dengan titik gempa. Jalannya memang sulit karena di tepi pantai dan dekat bukit yang longsor. Jalannya sempit dan harus pelan-pelan karena masih longsor. Dipandu aktivis ke sana, kami bertemu penduduk Desa Sirenja, mereka bilang belum pernah sebelumnya mendapat bantuan. Mereka tak terkena tsunami, namun mendengar rumor bahwa tsunami akan datang mereka lari ke bukit-bukit. Kami menyusul ke sana. Mereka butuh alat penerangan, kami bawa genset dan terpal juga selain makanan dan air. Jadi kendala teknis dan tebaran korban yang luas juga meyenyulitkan pihak yang ingin menyalurkan bantuan. Mengharukan, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada kami.
Belajar dari pengalaman bencana di Sulawesi Tengah, sebagai salah satu penyalur bantuan, apa saran Anda bagi pemerintah ke depan?
Pertama, hasil pemetaan negara kita kan sudah jelas di mana titik rawan bencana. Sehingga seharusnya secara berkala dilakukan edukasi soal bencana. Ini perlu supaya warga tahu apa potensi bencana, tanda-tanda bencana maupun langkah yang harus dilakukan ketika bencana itu datang. Kedua, manajeman dan organisasi tanggap darurat tiap wilayah harus dibentuk. Saya rasa, yang sangat penting adalah keberadaan Person in Charge, penanggung jawabnya di tiap wilayah, yang menangani bagian-bagian krusial. Termasuk perlu ditentukan juga siapa alternatif pengganti jika yang bersangkutan berhalangan. Itu sangat penting sehingga tidak terjadi kebingungan ketika kondisi darurat terjadi. Setidaknya, seperti sudah banyak diterapkan di perusahaan-perusahaan. Ada tim yang otomatis bertugas ketika kondisi darurat terjadi, entah itu gempa, gunung meletus, kebakaran, dan sebagainya. Dalam tim itu ada yang mengurus data, penyelamatan dokumen, penyelamatan jiwa, penyiapan alat, infrastruktur. Pokoknya semua hal yang diperlukan mulai dari bencana itu datang hingga langkah-langkah pemulihan paska bencana. Menurut saya, antisipasi dan kesiapsiagaan pemerintah daerah rawan bencana sangat diperlukan.