Toleransi dan Undang-Undang Baru
4 Januari 2018Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah disahkan menjadi undang-undang. Banyak kalangan menyambut peraturan itu sebagai bentuk perlindungan negara terhadap toleransi di antara warga. Tetapi banyak pula yang khawatir undang-undang baru itu malah dijadikan alat untuk membungkam aspirasi warga.
Saya termasuk di kelompok yang kedua itu. Saya khawatir undang-undang baru itu digunakan pemerintah untuk menindak organisasi-organisasi yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, dan sebaliknya malah dijadikan alat oleh kelompok-kelompok intoleran untuk semakin menyerang kelompok-kelompok yang berbeda dengannya atas nama negara.
Alasan utama dari munculnya undang-undang itu, saya pikir, adalah maraknya aktivitas-aktivitas yang menyerang kerukunan hidup warga, terutama yang berkaitan dengan perbedaan dalam beragama. Bukan saja aksi menyerang agama yang berbeda, tapi juga aksi menyerang terhadap pemahaman yang berbeda di dalam agama yang sama.
Indonesia sudah sangat akrab, misalnya, dengan tuntutan atau bahkan persekusi terhadap aliran-aliran yang berbeda di dalam Islam, seperti Ahamdiyah dan Syiah. Indonesia juga akrab dengan aksi yang menyerang agama yang berbeda, misalnya penutupan gereja dan pemboikotan aktivitas keagamaan orang-orang yang berbeda agama, misalnya pelarangan kebaktian, atau bahkan pelarangan peringatan hari suci agama.
Baca:
Kaum Islamis Datang, Budaya Toleransi Hilang
Menyontek Toleransi Sunni Syiah di Berlin
Nilai kemerdekaan dan kemanusiaan
Yang dibutuhkan Indonesia untuk mengatasi hal tersebut sebenarnya adalah mengajarkan toleransi dan kemanusiaan melakui aktivitas pendidikan, apakah itu di rumah, di sekolah, atau di dalam aktivitas kemasyarakatan. Indonesia harus diingatkan kembali, bahwa berdirinya negara ini ditopang oleh perbedaan dan keragaman, bukan oleh satu ras atau agama tertentu saja. Semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika, atau berbeda tetapi satu jua, adalah nilai dasar yang harus diterima semua warganya. Bahwa kita boleh berbeda demi satu tujuan yaitu terjaminnya nilai-nilai kemerdekaan dan kemanusiaan.
Saya beberapa kali diminta untuk mengajari para korban aksi intoleransi untuk menuliskan aspirasi mereka dan memahami perbedaan sebagai suatu yang pasti, tetapi perbedaan itu harus kita terima. Maksud dari kelas penulisan itu, agar peserta berani menuliskan aspirasi mereka, sekaligus juga menyebarkan ide tentang pentingnya menghargai perbedaan.
Memang awalnya peserta memiliki semangat untuk menampilkan keyakinan mereka sendiri, agar terbaca dan keyakinannya diterima oleh orang lain. Namun, keinginan untuk diterima itu seringkali diikuti dengan sikap ingin membalas dendam. Hal paling konkret adalah pendapat mereka tentang undang-undang baru tersebut.
Banyak di antara peserta kelas penulisan itu yang mendukung peraturan tersebut, karena menganggap negara kali ini berpihak pada minoritas. Tentu saja hal itu salah. Saya dan kawan-kawan saya selalu menegaskan, cita-cita kita untuk diterima sebagai minoritas, jangan sampai membuat kita menjadi kelompok intoleran baru. Menyetujui undang-undang baru itu adalah sikap intoleransi juga, karena menyetujui keinginan pemerintah untuk membubarkan organisasi atau kelompok yang berbeda dengan cita-cita pemerintah. Dan kenyataannya, besok atau lusa kita sendiri yang akan diliibas pemerintah, ketika kita dianggap tidak sesuai dengan pemikiran pemerintah.
Tidak bisa lewat ancaman
Sikap toleransi tidak bisa dibangun dengan ancaman pembubaran atau pemenjaraan. Sikap toleransi harus dibangun dengan pengertian dan pemahaman. Daripada membuat undang-undang baru, pemerintah seharusnya mau bersusah-payah mengenalkan kepada warganya tentang keyakinan-keyakinan atau ideologi-ideologi yang berbeda. Misalnya seperti yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat, yang membuat semacam study tour ke rumah-rumah ibadah yang berbeda-beda, agar peserta study tour itu bisa memahami agama dan keyakinan orang lain. Begitu pula orang-orang yang dikunjungi, dapat menyadari bahwa masih banyak orang yang tak mengenal agama dan keyakinan mereka. Dengan demikian, diharapkan ada pertemuan dan perbincangan tentang perbedaan yang mengarah pada sikap saling memahami.
Pemerintah juga harus siap utuk memeriksa diri mereka sendiri, terutama menelisik pada praktik pendidikan di sekolah-sekolah. Bukan sekali-dua kali terjadi perundungan (bully) di antara anak-anak terhadap kawan-kawannya karena berbeda agama. Kejadian itu hanya bisa dikompori oleh dua hal: pendidikan di sekolah atau pendidikan di rumah. Jika dibiarkan, sikap itu akan semakin berkembang dan semakin merusak, terutama ketika anak-anak itu sudah dewasa.
Sudahkah pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya konkret untuk menghapus sikap intoleran yang bersumber dari pendidikan di sekolah dan di rumah? Saya yakin belum.
Penulis:
Zaky Yamani
Jurnalis dan novelis.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.