Pembunuhan Kereta Bawah Tanah Seoul Picu Tuntutan Revisi UU
7 Oktober 2022Kemarahan publik memanas setelah polisi di Seoul menahan Jeon Joo-hwan yang dituduh menguntit seorang perempuan, dan menikam perempuan tersebut sampai mati di toilet umum stasiun kereta bawah tanah.
Kasus tersebut memicu kritik bahwa polisi dan pengadilan telah gagal melindungi korban, mengingat Jeon kerap melanjutkan kampanye pelecehan, meskipun perempuan itu telah melaporkannya dua kali dalam enam bulan terakhir.
Seminggu setelah perempuan berusia 28 tahun itu terbunuh, ceritanya sebagian besar telah menghilang dari berita utama dan warga melihatnya hanya sebagai kasus tragedi percintaan, penolakan yang berujung pembunuhan terhadap seorang perempuan muda.
Tapi, untuk kebanyakan perempuan Korea Selatan (Korsel), itu bukanlah hal yang baik.
Asal usul kasus ini berawal dari tiga tahun lalu, ketika Jeon bergabung dengan Seoul Metro, perusahaan yang mengoperasikan sistem kereta bawah tanah di ibu kota. Di sanalah dia pertama kali bertemu dengan perempuan itu, yang tidak disebutkan namanya untuk melindungi privasi keluarganya.
Ketertarikan Jeon pada perempuan ini sayangnya tidak terbalaskan. Namun, pada saat itu dia mulai mengganggunya dengan ratusan panggilan telepon dan pesan teks masuk, serta merekam perempuan ini secara ilegal.
Pengaduan ke Polisi
Perempuan itu kemudian melaporkan Jeon atas tuduhan penguntitan, baik ke karyawan perusahaan maupun polisi. Jeon akhirnya dipecat dari pekerjaannya dan dijadwalkan menghadiri pengadilan pada 15 September. Dia menghadapi tuntutan hukuman penjara selama sembilan tahun.
Meskipun ada permintaan dari korban, polisi menolak untuk menahan Jeon sebelum sidang putusan berlangsung, dengan alasan bahwa Jeon tidak begitu mengancam keselamatan korban.
Sehari sebelum Jeon dijatuhi hukuman, laki-laki yang berusia 31 tahun itu diduga pergi ke Stasiun Sindang di pusat kota Seoul, tempat di mana korban bekerja. Dia diduga mengancam menggunakan pisau dan memaksa korban masuk ke toilet stasiun, di mana pihak berwenang mengatakan Jeon akhirnya menikam korban hingga tewas.
Menanggapi pertanyaan dari wartawan saat dia dibawa ke pengadilan keesokan harinya, Jeon hanya bisa mengatakan bahwa dia telah melakukan "hal yang benar-benar gila" dan dia berkata: "aku minta maaf”.
'Diskriminasi terbalik'
Jackie Kim-Wachutka, seorang profesor ahli gender dan identitas di Tokyo dan Kyoto, mengatakan kepada tim DW bahwa ada gejala awal "perasaan terkejut" di kalangan perempuan dan warga Korea Selatan pada umumnya, "tetapi, tentu saja, perasaan terkejut itu akan hilang dalam beberapa hari dan sentimennya berubah menjadi: 'Oh, ada satu lagi.'”
"Saya lebih merasa khawatir daripada marah," kata Kim-Wachutka.
"Saya pikir masyarakat Korea sedang mengalami keretakan gender yang serius," katanya. "Perpecahan ini berasal dari kebencian yang telah lama membara dari perempuan yang secara tradisional ditindas tetapi selama bertahun-tahun telah memperoleh beberapa hak yang diperjuangkan dengan keras, dan secara bersamaan pihak laki-laki justru merasakan ketidakadilan dan 'diskriminasi terbalik'."
"Saat ini, politik gender Korea Selatan, di mana misogini 'dibenarkan' oleh pejabat publik tertinggi, merupakan sumber makanan bagi konflik," tambah Kim-Wachutka.
"Kasus-kasus seperti ini memicu emosi, baik di kalangan perempuan yang merasa terus-menerus menjadi korban oleh masyarakat patriarki yang menindas dan bersembunyi di balik topeng hak-hak perempuan," katanya, seraya menambahkan "laki-laki yang menuntut agar 'penindasan' terhadap mereka diakui, di mana mereka merasa ditinggalkan."
Kasus pembunuhan terus meningkat
Hyobin Lee, seorang profesor politik Korea di Universitas Nasional Chungnam, mengatakan bahwa, terlepas dari beberapa kasus penguntitan yang akhirnya mengarah pada pembunuhan, "tidak ada yang berubah secara signifikan, dan kejahatan ini diperkirakan akan terus meningkat."
Menurut Lee, sebagian masalahnya dikarenakan hukuman bagi penguntit atau pelaku pelecehan seksual begitu lemah. Pelanggaran penguntitan untuk pertama kali hanya mendapatkan hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda paling banyak 30 juta won Korsel (setara Rp324 juta).
"Bahkan kata 'menguntit' relatif baru bagi kebanyakan warga Korea," tambahnya. "Menguntit hanya diakui sebagai kejahatan untuk waktu yang singkat. Undang-undang tentang penguntitan diusulkan pada tahun 1999, namun butuh 22 tahun hingga dapat diberlakukan."
"Memang dulu ada kasus penguntitan, tapi itu tidak dianggap sebagai kejahatan dan belum ada cara untuk melaporkannya," jelas Lee.
Namun hal itu mulai berubah, di mana ada kurang lebih 363 kasus penguntitan yang dilaporkan pada tahun 2015 silam, yang kemudian naik menjadi 583 laporan pada tahun 2019.
Terlepas dari kekhawatiran bahwa kasus pembunuhan kereta bawah tanah di Seoul ini dapat dengan cepat dilupakan, ada indikasi bahwa kasus ini akan tetap memiliki dampak awal terhadap hukum yang berlaku.
Penambahan hukuman penjara
Jeon diberi hukuman maksimal sembilan tahun oleh pengadilan putusan atas tuduhan menguntit. Dia akan diadili di kemudian hari atas kasus pembunuhan mantan rekannya tersebut.
Demikian pula, seorang pria yang pada akhir September lalu mengajukan banding atas hukuman penjara 35 tahunnya karena menguntit dan membunuh mantan pacarnya pada tahun 2020 silam. Hukumannya justru meningkat menjadi 40 tahun penjara. Pengadilan banding mengatakan hukuman penjaranya meningkat karena Kim Byung-chan tidak cukup menyesali tindakannya.
Banyak perempuan juga mengambil langkah-langkah tambahan untuk melindungi diri mereka sendiri, di mana media lokal melaporkan bahwa penjualan alarm pribadi dan semprotan merica melonjak dalam beberapa pekan terakhir.
Hukum penguntitan baru
Perdana Menteri Han Duck-soo telah mengumumkan bahwa pemerintah bermaksud untuk bekerja dengan rekan-rekan dari seluruh spektrum politik, untuk merancang undang-undang baru agar dapat menghentikan penguntit.
Kim-Wachutka mengatakan bahwa masyarakat Korea perlu menemukan cara untuk mengatasi akar penyebab masalah tersebut.
"Kesenjangan harus diperbaiki melalui sebuah proses 'kebenaran dan rekonsiliasi' antara perempuan muda dan laki-laki muda, dengan bantuan komunitas, sekolah, masyarakat sipil serta dunia politik, untuk mediasi dialog yang jujur," katanya.
"Hanya dengan begitu baru bisa ada penyembuhan," tambahnya, "di mana itu sangat dibutuhkan masyarakat Korea Selatan saat ini."
Namun Lee kurang optimis, dan kesimpulannya terdengar tegas sekaligus mengkhawatirkan.
"Pembunuh dalam kasus ini bekerja untuk sebuah perusahaan publik, dan penyerangan itu terjadi di tempat umum yang ramai di tengah hari. Saya merasa tidak ada lagi tempat yang aman di Korea untuk perempuan," tegasnya.
(kp/pkp)