Setidaknya hal itulah yang dirasakan Indonesia, bekas wilayah jajahan Belanda dan panggung serangkaian kekerasan politik kolonialismenya di masa silam. Mulai dari ketika pedagang-pedagang Belanda dengan semena-mena mengobrak-abrik sistem perniagaan lokal di Nusantara abad ke-17 sampai sekitar 1940-an ketika pewaris politik mereka, Hindia Belanda, dipecundangi Jepang dan dalam keputusasaan mencoba-coba untuk berkuasa kembali.
Sejarah bersama yang buruk tersebut terlanjur menyakitkan sehingga baik pihak yang seharusnya mengucapkan dan menerima maaf kesulitan untuk berbaikan. Namun, setelah berdekade-dekade menunggu, setidaknya kini pihak monarki Belanda mengungkapkan permintaan maafnya dengan lugas (walau tidak tegas). Pada 10 Maret lalu, seraya dengan kunjungan empat harinya di Indonesia, Raja Belanda Willem-Alexander memberikan pidato permintaan maaf atas hilangnya banyak nyawa yang dilakukan orang-orang Belanda selama 1945-1949. Kata-kata itu dilontarkan menyusul pengembalian sekitar 1.500 artefak Indonesia beberapa bulan sebelumnya.
Pernyataan Willem-Alexander cukup menyegarkan bagi publik Indonesia, namun terlalu banyak permainan kata di dalamnya. Misalnya, ia hanya meminta maaf untuk sepenggal sejarah kelam kolonialisme Belanda di Indonesia saja, bukan keseluruhan. Pemilihan rentang waktu itupun, yakni 1945-1949, juga bermasalah karena Belanda belum mengakui 1945 sebagai tahun kemerdekaan Indonesia dan menganggap masa-masa kekerasan 1945-1949 tersebut sekadar huru-hara antara pemerintah kolonial dengan rakyatnya yang mengamuk daripada bentrokan dua negara berdaulat.
Willem-Alexander, yang sempat melaksanakan studi sejarah di Leiden tersebut, pun sejatinya tidak memiliki daya tawar cukup besarsebagai representasi politik Belanda mengingat kekuasaan terbesar ada di tangan perdana menteri dan parlemennya. Pernyataan Willem-Alexander hanyalah ekspresi politik normatif dan tidak memiliki konsekuensi hukum yang memenangkan pihak yang merugi, yakni Indonesia, walau hal tersebut merupakan langkah maju dari serangkaian episode-episode kegagapan Belanda di masa lalu dalam mengakui jejak-jejak kelamnya selama berkuasa di Indonesia.
Rekonsiliasi Kepalang Tanggung
Empat tahun perebutan kekuasaan antara Indonesia dan Belanda ditandai dengan serangkaian kekerasan berdarah sporadis dari kedua pihak. Setidaknya puluhan ribu, bahkan mungkin nyaris menyentuh angka ratusan ribu, kombatan Indonesia dan Belanda, ditambah pihak-pihak sipil, tewas akibat pertempuran dan sebab-sebab lainnya. Komitmen untuk menyudahi konflik tercapai pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Alih-alih melegakan, komitmen tersebut justru meninggalkan serangkaian hal menggantung bagi kedua pihak yang berseteru.
Pihak Indonesia menganggap hasil KMB adalah momen menyerahnya Belanda dan kemenangan Indonesia dalam mempertahankan semangat proklamasi 1945 dari invasi bangsa asing, sedangkan Belanda justru melihat KMB sebagai titik temu persetujuan untuk melepaskan wilayah Indonesia dari visi kolonialnya. Belanda seakan ingin menjadikan KMB sebagai “exit strategy” yang cantik untuk menutupi fakta bahwa kedaulatan Indonesia tidaklah tercapai baik-baik dan orang-orangnya sangat tidak bersimpati terhadap penjajahan mereka selama berabad-abad.
Terlebih, dua agresi militer Belanda dalam rentang 1945-1949 mencoreng hukum internasional yang berlaku saat itu, dan merupakan langkah munafik mengingat beberapa tahun sebelumnya Belanda berjuang melawan pendudukan Nazi Jerman. Ngototnya Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia ketika orang-orang yang dijajahnya menolak habis-habisan pastilah terlihat menjijikkan dan hal itu membuat kekerasan dari kedua belah pihak semakin parah. Belanda lalai melihat Masa Bersiap (1945-1946) yang berdarah-darah tersebut sebagai tanda bahwa struktur kolonialisme mereka sudah runtuh.
Hasilnya adalah sebuah pendirian politik Belanda yang melihat bahwa pemerintah Republik sekadar sebagai kelompok ‘teroris dan ekstrimis’ yang mengganggu keamanan walau berhasil merebut tahta mereka atas orang-orang Indonesia. Agaknya hal tersebut juga yang membuat Belanda sampai kini enggan meminta maaf secara tegas, terlepas dari serangkaian konsekuensi politik dan hukum yang bakal menyertainya. Harga diri mereka sebegitu terlukanya meskipun saat ini hubungan politik kontemporer Indonesia-Belanda sudah cukup normal.
Mirip dengan 2020, pada 1995 Belanda juga berada dalam kegamangan untuk merespon isu permintaan maaf ini ketika Ratu Beatrix melaksanakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Topik ini menjadi hangat dibicarakan dan memecah opini publik Belanda. Mereka yang ingin ratu mengeluarkan permintaan maaf beralasan bahwa memang sudah waktunya Belanda untuk jujur dan berdamai dengan masa lalunya sendiri.
Sedangkan yang menolak mempertanyakan jenis permintaan maaf apa yang perlu disampaikan, semisal untuk episode-episode kolonialisme tertentu sajakah atau keseluruhan? Dan apabila permintaan maaf itu dilontarkan, apakah pemerintah Indonesia juga bersedia untuk balik meminta maaf atas kekerasan orang-orang Indonesia terhadap orang-orang Eropa selama Masa Bersiap? Juga, kepada siapakah permintaan maaf itu harus disampaikan? Kepada Presiden Suharto, yang memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi kemanusiaan yang buruk terhadap rakyatnya sendiri dalam merespon Peristiwa 1965?
Keengganan itu terlihat jelas ketika Beatrix yang harusnya tiba di Indonesia 17 Agustus 1995 malah menunda kedatangannya selama beberapa hari. Pengamat melihatnya sebagai gestur bahwa Belanda tidak ingin menunjukkan gelagat setuju terhadap tanggal tersebut sebagai hari penting bagi Indonesia. Pada akhinya delegasi Belanda disambut walau kata maaf tidak tersampaikan, meskipun sang ratu sempat mengungkapkan sentimen yang bernada penyesalan terhadap sejarah buruk bersama Indonesia-Belanda di masa silam.
Niatan serupa sempat dilontarkan tahun 2000 saat Perdana Menteri Wim Kok mengumumkan bahwa ia berkeinginan untuk meminta maaf secara publik melalui Presiden Gus Dur. Hal ini dilakukan mengingat ia baru saja menerima permintaan maaf pemerintah Jepang atas kekerasan tentaranya terhadap orang-orang Belanda selama pendudukan di Hindia Belanda. Wim tidak ingin menerapkan standar ganda, namun aspirasinya ini lekas dikecam banyak pihak di Belanda, khususnya kelompok veteran perang, sebagai aspirasi yang tidak pada tempatnya. Kata maaf itu pun akhirnya tak pernah tersampaikan.
Apakah Indonesia Pantas Menerima Maaf?
Satu hal yang jelas dari topik ini adalah bahwa publik Belanda lebih sensitif membicarakan permintaan maaf terhadap sejarah kolonialismenya dibandingkan Indonesia itu sendiri. Publik Belanda sudah cukup memahami bahwa Belanda pernah meninggalkan jejak kekerasan di Indonesia walau enggan mengakuinya sebagai sebuah tindakan yang salah.
Berbeda dengan di Indonesia yang agaknya masih sulit menerima bahwa pihak Indonesia juga acapkali bertindak tidak semestinya. Kemerdekaan kita tidak dicapai dan dipertahankan dengan cara-cara elegan saja, ada pula episode-episode tertentu saat kebuasan dan kekejaman menjadi motor semangat para pejuang revolusi. Hal sensitif namun perlu dibahas inilah yang belum banyak menjadi wacana publik di Indonesia. Jangan hanya karena Belanda meminta maaf dan mengembalikan artefak-artefak yang dulu diboyongnya selama masa penjajahan, itu membuat kita jumawa dan merasa menang.
Lantas, apakah Indonesia pantas menerima maaf? Terlebih dengan catatan kelam kejahatan hak asasi manusia selama negara ini tumbuh dan bagaimana pemerintah masih amat terbata-bata mengakuinya. Publik juga rasanya melihat isu permintaan maaf Belanda sekadar peristiwa seremonial semata mengingat mayoritas penduduk Indonesia cenderung berpikir sederhana dalam memandang masa lalu; sejarah Belanda-Indonesia tidak selalu hitam putih, dan sebaiknya itu perlu dipahami lebih jauh sebagai bentuk introspeksi diri sebelum mendesak pihak lain meminta maaf, agar Indonesia sendiri tidak jatuh ke dalam lubang kemunafikan.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.