1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMesir

UE dan PBB Didesak Bantu Pembebasan Alaa Abdel-Fattah

28 Maret 2023

Nasib tahanan politik tersohor di Mesir itu tidak membaik usai memicu prahara diplomasi lewat aksi mogok makan selama KTT Iklim, tahun lalu. Kini, anggota keluarga meminta bantuan Uni Eropa dan PBB.

https://p.dw.com/p/4PK4A
Demonstrasi untuk Alaa Abdel-Fattah
Demonstrasi menuntut pembebasan Alaa Abdel-Fattah di London, InggrisFoto: Vuk Valcic/ZUMA Wire/IMAGO

Alla Abdel-Fattah mengakhiri aksi mogok makannya di penjara ketika kesehatannya memburuk. Nasibnya sempat mengundang kritik internasional terhadap Mesir sebagai tuan rumah KTT Iklim. Tapi upaya diplomasi tidak banyak mengubah nasib Pegiat HAM Inggris berdarah Mesir itu. Hingga kini, dia masih mendekam di dalam selnya.

"Keluarga kami disarankan diam dan membiarkan tekanan politik membesar menyusul kritik internasional selama KTT Iklim PBB di Sham el Sheikh," akhir tahun lalu, kata saudara perempuannya, Sanaa Seif, kepada DW.

"Sudah empat bulan Alla berada di penjara."

Sanaa ingin menghidupkan kembali kampanye pembebasan Alla. Dia menyambangi kantor pusat Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, untuk mendesak investigasi independen terhadap nasib tahanan politik di Mesir. Sanaa terutama berharap besar pada KTT Iklim lalu, di mana dia bertemu banyak politisi asing "yang berjanji akan membantu."

Krisis ekonomi dorong perubahan?

Mesir resminya tidak punya tahanan politik. Biasanya, musuh politik rejim di Kairo didakwa dengan delik "terorisme" atau "memprovokasi kerusuhan sosial." Sejumlah organisasi HAM internasional meyakini, Mesir memenjarakan antara 65.000 hingga 70.000 tahanan politik.

"Penjara di Mesir penuh dengan tahahan politik," kata Timothy Kaldas, Wakil Direktur Tahrir Institute for Middle East Policy, sebuah lembaga wadah pemikir di AS. "Tekanan internasional berperan penting mendorong pembebasan sejumlah tahanan politik tahun lalu. Tapi kami melihat saat ini ada lebih banyak yang ditangkap ketimbantg dibebaskan," imbuhnya kepada DW.

Menurutnya, pembebasan tapol oleh pemerintah Mesir "bukan mencerminkan perubahan struktural, tetapi upaya pemerintah mengalihkan perhatian dari kampanye terselubung untuk membungkam kritik dengan memenjarakan tokoh oposisi, pegiat, bahkan sejumlah pengacara, termasuk bekas kuasa hukum Alaa Abdel-Fattah."

Strategi tersebut bernilai riskan, karena "Mesir harus memperbaiki citranya untuk bisa mendapat bantuan kredit demi menanggulangi krisis ekonomi," lanjut Timothy Kaldas.

Krisis ekonomi di Mesir menggejala lewat pertumbuhan yang melambat selama beberapa tahun terakhir. Puncaknya adalah ketika terjadi invasi Rusia di Ukraina. Akibatnya, Presiden Abdel Fattah al-Sisi, terpaksa memangkas anggaran publik, serta menjual perusahaan atau bank milik negara. Pada Februari lalu, angka inflasi di Mesir melonjak ke level 31,9 persen.

Pemangkasan anggaran oleh Kairo merupakan bagian dari syarat pinjaman Dana Moneter Internasional senilai USD 3 mililar untuk Mesir.

Negeri Tapol

Sejak 2019, pemerintah juga mewajibkan semua lembaga swadaya masyarakat untuk mendaftarkan diri selambatnya hingga 11 April mendatang. Menurut Human Rights Watch, hingga Oktober lalu sebanyak 32.000 dari 52.500 LSM yang sudah melengkapi pendaftaran.

Jika tidak mendaftar, pemerintah akan mencabut izin dan membekukan aset milik organisasi yang bersangkutan,.

"Otoritas Mesir memaksa LSM-LSM ini memilih antara ditutup atau beroperasi di dalam kondisi yang tidak memungkinkan pekerjaan independen," tutur Adam Coogle, Wakil Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di Human Rights Watch. "Membatasi LSM independen melenyapkan ruang bagi perdebatan kritis dan mempersulit upaya pengawasan terhadap pemerintah."

Pandangan serupa diunkapkan Eberhard Kienle, Guru Besar Timur Tengah di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis. "Satu-satunya cara menanggulangi krisis HAM dan ekonomi di Mesir untuk jangka panjang adalah melalui pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan."

rzn/hp