Uni Eropa Ingin Seragamkan UU Imigrasi
18 Juni 2008Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang akan memimpin Uni Eropa mulai Juli hingga enam bulan ke depan, mulai menunjukkan giginya. Sarkozy ingin menyelesaikan rancangan pakta imigrasi di tingkat Eropa, yang sudah disusun oleh negara-negara anggota Uni Eropa dalam pertemuan puncak di Tampere, Finlandia. Sebelumnya, negara-negara Uni Eropa ingin menentukan kuota imigrasi, prosedur suaka politik, birokrasi deportasi di lingkup Uni Eropa, dan gabungan kepolisian perbatasan. Hingga kini sikap keberatan dari masing-masing negara menghalangi terwujudnya kebijakan imigrasi bersama Eropa. Tidak ada negara yang ingin mengatur jumlah imigran dari negara mana yang akan diterimanya.
Beban yang disebabkan oleh imigrasi dinilai berbeda oleh tiap-tiap negara Eropa. Negara Eropa selatan lebih menerima imigran ketimbang Eropa utara. Kriteria penerimaan suaka politik juga berbeda di masing-masing negara. Spanyol, yang paling banyak menerima gelombang pendatang, memiliki undang-undang imigrasi yang sangat liberal. Italia sebenarnya relatif liberal, namun saat ini Italia tengah mengetatkan undang-undang imigrasinya. Tapi kini, untuk ke sekian kalinya Komisi Eropa kembali mengusulkan masalah tersebut.
Di Strassburg, Komisaris Uni Eropa urusan Hukum, Kebebasan dan Keamanan, Jacques Barrot, mengusulkan rancangan baru kebijakan imigrasi. Jacques Barrot tidak ingin menghalangi para pendatang dan tidak ingin membangun benteng, namun, “Eropa yang terbuka! Tapi juga Eropa yang tidak membiarkan ranah ini tidak diatur. Supaya tidak dimanfaatkan oleh kelompok penyelundup manusia yang menyebabkan orang lain sengsara.”
Rencana Komisi Eropa, yang harus dapat diwujudkan hingga tahun 2012, menawarkan para pendatang integrasi yang lebih baik, memberikan bantuan lebih banyak kepada negara para pendatang dan deportasi yang konsekuen bagi pendatang ilegal.
Saat ini Parlemen Eropa tengah memperdebatkan bagaimana deportasi akan diatur dalam pakta imigrasi yang terinspirasi rancangan Prancis. Pedoman baru akan mengatur keseluruhan deportasi bagi pemohon suaka yang ditolak dan pendatang ilegal tanpa dokumen. Awalnya, pedoman itu mengatur standar minimum prosedur deportasi. Masa tahanan sebelum deportasi akan dibatasi mulai enam bulan hingga 18 bulan. Ketentuan itu lebih longgar ketimbang yang telah diterapkan di negara-negara Uni Eropa.
Selanjutnya, orang yang berada di tahanan sebelum dideportasi juga mendapatkan jaminan kesehatan. Negara transit dan tujuan deportasi juga akan diatur. Tidak ada negara yang memiliki standar yang lebih tinggi yang akan diminta menurunkan standarnya. Anggota parlemen Italia dari sayap kiri Giusto Catania menuding Uni Eropa membangun mentalitas “benteng”.
“Pedoman ini merupakan aib, penghinaan terhadap sistem hukum di Eropa. Pedoman itu menyingkirkan keterbukaan dan secara mendasar telah melanggar budaya ramah di Eropa,“ tukasnya.
Organisasi pembela hak azasi manusia seperti Amnesty International mengkritik bahwa pedoman itu akan mencap para pengungsi dan pemohon suaka sebagai penjahat. Hari Rabu ini (18/06), Parlemen Eropa akan memberikan suaranya bagi kebijakan imigrasi baru tersebut. Jika terdapat perubahan dalam pedoman tersebut, seluruh menteri dalam negeri Uni Eropa harus mengadakan pertemuan.
Setiap tahunnya, 1,5 juta hingga 2 juta orang masuk ke Uni Eropa secara sah. Jacques Barrot menyatakan, pedoman itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aksi Eropa untuk membentengi diri, namun untuk mengatur secara manusiawi, ratusan ribu orang yang tinggal di wilayah Uni Eropa secara tidak sah. Setiap tahunnya, terdapat 200 ribu pemohon suaka dari Irak, Rusia, Serbia, Turki dan Afghanistan. Negara Uni Eropa yang memiliki pendatang tertinggi adalah Luxemburg, Spanyol, Irlandia, dan Austria.(ls)