Uni Eropa Peringatkan Cina Atas UU Keamanan Hong Kong
23 Juni 2020Uni Eropa memperingatkan Cina akan menghadapi "konsekuensi yang sangat negatif" jika terus mendesak maju dengan Undang-undang Keamanan Nasional baru untuk Hong Kong. Uni Eropa meningkatkan tekanan pada Cina atas undang-undang kontroversial itu.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa-Cina (KTT UE-Cina), pada Senin (23/06), Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan ketua Dewan Eropa Charles Michel mengungkapkan keprihatinan tinggi mereka atas UU Keamanan baru tersebut kepada para pemimpin utama Cina. UU ini menurut para kritikus akan mengekang otonomi dan kebebasan Hong Kong.
Dalam konferensi video bersama dengan Presiden Cina Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang, Uni Eropa menyampaikan pesan tegas tentang keprihatinan internasional atas Hong Kong. Meskipun nampaknya Cina tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mencabut UU tersebut. Cina menyebut UU tersebut diperlukan dalam pemerintahan.
"Kami menyatakan keprihatinan yang besar tentang usulan Undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong," kata Michel kepada wartawan setelah pertemuan tersebut.
"Kami meminta Cina untuk mengikuti janji-janji yang dibuat kepada warga Hong Kong dan komunitas internasional mengenai otonomi tingkat tinggi Hong Kong dan menjamin kebebasan."
Cina tentang campur tangan pihak asing
Menanggapi komentar Uni Eropa tersebut, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina mengatakan pada Selasa (23/06) bahwa masalah yang berkaitan dengan Hong Kong adalah "urusan dalam negeri".
"Kami menentang campur tangan pihak asing dalam masalah ini," kata juru bicara Kemenlu Cina, Wang Lutong, kepada wartawan dalam sebuah konferensi singkat.
Lutong menambahkan bahwa dalam konferensi video, para pemimpin Cina telah "menyatakan posisi Cina" atas masalah ini.
Sebuah laporan mengenai KTT UE-Cina oleh kantor berita pemerintah Cina, Xinhua, tidak menyebutkan tentang Hong Kong, tetapi mengatakan bahwa Xi Jinping menekankan negaranya menginginkan "perdamaian tanpa hegemoni".
Para menteri luar negeri dari kelompok negara-negara industri G7, pada pekan lalu, telah mendesak Cina untuk mempertimbangkan kembali UU Keamanan baru yang mereka usulkan. UU tersebut telah memunculkan kekhawatiran terhadap kebebasan warga Hong Kong dan membuka “pintu” bagi tindakan penindasan seperti yang terlihat di daratan Cina.
‘Konsekuensi sangat negatif bagi Cina’
Menyambut pernyataan negara-negara G7, von der Leyen mengatakan mereka telah menjelaskan kepada Cina bahwa Uni Eropa meyakini UU Keamanan baru itu melanggar komitmen internasional Cina.
"Undang-undang keamanan nasional berisiko secara serius merusak prinsip 'satu negara, dua sistem' dan otonomi tingkat tinggi Hong Kong, yang kami harap akan tetap ada,'' ujarnya.
Von der Leyen mengatakan dia telah memperingatkan para pemimpin Cina bahwa Hong Kong mendulang keberhasilan ekonomi atas otonomi relatif dari Cina.
"Jadi kami juga menyampaikan bahwa Cina berisiko mendapat konsekuensi yang sangat negatif jika tetap maju memberlakukan Undang-undang ini," katanya.
Di bawah perjanjian "Satu Negara, Dua Sistem" yang dibuat sebelum Inggris menyerahkan Hong Kong kembali ke Cina pada tahun 1997, Cina setuju untuk membiarkan Hong Kong mempertahankan kebebasan tertentu sampai tahun 2047 - termasuk kemerdekaan legislatif dan yudisial, serta kebebasan berbicara.
Tetapi setelah satu tahun demonstrasi besar-besaran di Hong Kong untuk demokrasi dan akuntabilitas polisi, yang diiringi dengan sejumlah insiden kekerasan, Cina mengatakan UU Keamanan baru diperlukan untuk mengakhiri kerusuhan dan memulihkan stabilitas nasional.
Cina dan Uni Eropa sama-sama mengaku ingin memperkuat hubungan, tetapi hubungan itu “terjerat” dalam ketidaksepakatan tentang berbagai topik, mulai dari aturan perdagangan dan investasi hingga masalah hak asasi manusia dan keamanan nasional.
Pembicaraan KTT UE-Cina pada Senin (22/06), dilakukan dengan latar belakang meningkatnya ketegangan dan meningkatnya ketidakpercayaan antara Uni Eropa dan Cina.
Keluhan dunia maya
Uni Eropa geram dengan kampanye disinformasi Cina yang signifikan seputar pandemi virus corona. Uni Eropa menuding Cina telah menyampaikan informasi yang keliru terkait pandemi sehingga berisiko mengorbankan banyak jiwa.
"Kami telah melihat serangan dunia maya di rumah sakit dan pusat komputasi khusus. Kami juga telah melihat peningkatan informasi online, dan kami menunjukkan dengan jelas bahwa ini tidak dapat ditoleransi," kata von der Leyen.
Uni Eropa dalam beberapa bulan terakhir berupaya untuk tetap melangkah meski menapaki “jalur yang rapuh” dengan Cina. Uni Eropa mencirikan Cina sebagai "saingan sistemik" dan kompetitor, tetapi juga sebagai mitra dalam menangani beberapa masalah.
Tetapi pernyataan Uni Eropa pada pertemuan Senin (22/06) itu disebut lebih tajam dan lebih kritis.
Hingga kini upaya Uni Eropa untuk melawan sikap Xi Jinping yang semakin tegas di Cina terhambat oleh kurangnya “persatuan” di antara 27 negara anggota Uni Eropa. Banyak dari negara anggota yang telah “didekati” dengan intens oleh negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Saat menuju pertemuan puncak tersebut, para pejabat Cina menggerutu tentang usulan UU Uni Eropa baru. UU tersebut bertujuan untuk memastikan perusahaan asing yang didukung oleh subsidi negara besar tidak merusak kompetisi di Eropa.
Muncul kekhawatiran khusus tentang adanya perusahaan-perusahaan Cina untuk membeli perusahaan-perusahaan Eropa yang dilemahkan oleh resesi yang dipicu oleh pandemi COVID-19.
Menurut media pemerintah Cina Xinhua, Xi Jinping mengatakan ekonomi Cina dan Eropa harus menjadi "mesin ganda ekonomi dunia" untuk mendorong pemulihan setelah pandemi.
Setelah KTT UE-Cina, von der Leyen mengatakan perlu ada lebih banyak upaya dari pihak Cina untuk mendorong perjanjian investasi yang macet. (pkp/gtp) (Reuters, AFP)