Kelompok fans sepak bola di seluruh Jerman selama putaran liga utama Jerman Bundesliga minggu lalu memrotes Piala Dunia di Qatar.
"15.000 korban tewas utuk 5.760 menit sepak bola," demikian tulisan sebuah spanduk besar di stadion sepak bola di München, saat FC Bayern bertanding melawan Hertha Berlin.
Di Dortmund, para fans membawa spanduk besar bertuliskan "Boikot Qatar 2022", juga di beberapa stadion lain. Walaupun isi spanduknya berbeda-beda, intinya sama: mempertanyakan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Motivasi Qatar untuk menjadi tuan rumah turnamen ini memang bukan finansial, karena Piala Dunia akan membuat mereka mengeluarkan dana besar. Namun, penyelenggaraan turnamen olahraga akbar ini adalah salah satu cara untuk membersihkan dan meningkatkan reputasi mereka di panggung dunia.
Sorotan tajam ke tuan rumah
Apakah sistem kerja kafala (atau perbudakan, tergantung pada perspektif Anda) akan begitu dikenal luas jika Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Manuel Neuer, dan Neymar tidak terbang ke Timur Tengah? Apakah sikap penolakan terhadap komunitas LGBTQ yang diangkat berbagai media baru-baru ini mendapat sorotan besar tanpa Piala Dunia? Tampaknya tidak.
Namun, kritik-kritik terhadap rezim represif yang menjadi tuan rumah acara olahraga besar ini kelihatannya tidak akan banyak mengubah situasi. Sebagaimana kritik terhadap Cina saat Olimpiade Musim Dingin 2022 atau kritik terhadap Rusia pada penyelenggaraan Piala Dunia 2018.
Memang ada suara-suara kritis yang datang dari para bintang sepak bola. Setidaknya muncul makin banyak keraguan tentang pesta besar ini, di tengah jumlah nyawa yang hilang selama persiapannya.
Para fans sepakbola jadi jualan bisnis?
Ketika pertandingan dimulai, mau tidak mau sorotan akan terpusat pada penampilan berbagai tim di lapangan hijau. Para pengunjung yang datang ke Doha juga akan menikmati suasana nyaman dan aman, sekalipun mereka tidak akan bebas melontarkan kritik seperti yang dilakukan di München atau Dortmund.
Bahkan ada laporan media yang menyebutkan bahwa dalam beberapa hari terakhir Qatar telah membayar kelompok fans yang akan datang ke turnamen untuk memberikan narasi positif, menyanyikan lagu-lagu tertentu, dan bahkan menanggapi posting yang kritis di media sosial. Pergi untuk mendukung kesebelasan Anda sambil menutup mulut adalah satu hal, tapi dibayar untuk menyebarkan kebohongan adalah hal lain.
Tim sepak bola yang mengenakan gelang pelangi dan tanda solidaritas lainnya bermaksud baik. Namun, ada permohonan FIFA baru-baru ini kepada 32 tim yang bertarung agar menghindari sepak bola "diseret ke dalam setiap pertempuran ideologis atau politik yang ada."
Mengangkat suara kritis itu sulit dan tidak bisa dituntut dari para atlet, tetapi kita harus berharap bahwa mereka yang memiliki platform, termasuk federasi nasional, dapat menemukan keberanian untuk melakukannya.
(hp/ha)