Ustaz Gay Mencari Rumah Tuhan
12 Mei 2020Sekerumunan laki-laki dari berbagai usia berdesakan di pintu masjid dan buru-buru mencari tempat di atas karpet berwarna meriah di atas lantai. Ketika masjid mulai penuh, Imam Amir Aziz memulai salat. Di sana hanya ada seorang perempuan di barisan belakang, Sosoknya menghilang di sebuah pojok masjid, di balik pintu kayu.
“Kami tidak melakukannya di masjid kami,” kata Christian Awhan Hermann ihwal pemisahan gender di dalam rumah ibadah. Pria berusia 49 tahun itu menerima Islam dua tahun silam, dan menyebut dirinya sebagai imam pertama yang membuka diri sebagai seorang gay.
Christian mendirikan yayasan bernama Kalima untuk membantu kaum LGBTQ muslim menghadapi diskriminasi. Perempuan juga ikut dibantu. Menurutnya semua hamba Allah memiliki hak yang setara dalam agama, mulai dari memimpin salat berjamaah atau menjadi seorang ustaz.
Mendamaikan Keyakinan dan Seksualitas
Buat mayoritas yang dibesarkan dengan nilai tradisional, muslim dan gay adalah sebuah kontradiksi. Seumur hidupnya mereka diajarkan bahwa homoseksualitas adalah haram. Hal ini diakui seorang mahasiswa Bangladesh di Berlin kepada Hermann di media sosial.
Perbincangan dengan sang ustaz membantunya mendamaikan Aqidah dan orientasi seksualnya sendiri, kata sang pemuda kepada Hermann.
Namun buat kebanyakan muslim gay, perkara spiritualitas atau seksualitas ibarat buah simalakama. Beberapa merasa dikucilkan dan balik memunggungi agama, yang lain memilih menjalani ajaran agama dengan lebih taat karena merasa berdosa. Hermann menyebutnya pencucian otak.
“Mereka sudah menghayati gagasan bahwa orientasi seksual mereka tidak dibenarkan agama.” Namun Hermann meyakini Al-Quran tidak secara gamblang melarang homoseksualitas.
Sebagian besar muslim akan membantah pandangan sang ustaz. Kisah kaum Nabi Luth dan kehancuran kota Sodom dan Gomora diyakini berkaitan erat dengan perilaku seksual sesama jenis yang dipraktikkan oleh penduduk.
Dewan Sentral kaum Muslim di Jerman memilih sikap serupa: Homoseksualitas “tidak diizinkan” di dalam Islam.
Sikap Ambigu Terhadap Seksualitas
Kebanyakan ulama tafsir tidak mengkategorikan orientasi seksual sebagai dosa, melainkan tindakan mempraktikkan homoseksualitas secara “aktif dan terbuka,” menurut Dewan Sentral Muslim. Meski tidak memiliki konsekuensi dunia, seksualitas adalah perkara antara “hamba dan Tuhannya.”
“Naskah-naskah teologi tidak mengatakan apapun secara gamblang,” soal homoseksualitas kata Hermann.
Dia mempelajari Islam dari Ludovic-Mohamed Zahed, ustaz asal Perancis yang juga seorang gay. Tanpa Ludovic, Hermann mustahil bisa mendapatkan pengajaran sebagai bagian dari komunitas LGBTQ.
Bisa diduga dia mendapat banyak sikap permusuhan dari komunitas muslim, terutama di media sosial. “Kemarin gay, hari ini kok jadi imam,” tulis seorang pengguna misalnya. Namun serangan terbesar justru berasal dari kaum ekstrim kanan, ujarnya.
Menurutnya sangat mungkin menjalin diskusi dengan kaum konservatif, di mana dia bisa mengajukan butir argumen sendiri. Tapi bisa jadi dia kurang terkenal buat bisa memicu polemik luas di kalangan umat muslim, akunya sendiri. Saat ini akun Facebook Hermann baru diikuti oleh 720 pengguna dan mendulang 650 "likes".
Hermann adalah seorang imam tanpa masjid. Jemaahnya tersebar di seluruh Jerman. Setiap pekan dia menunaikan ibadah salat Jumat sebagai makmum.
Secara sadar dia menyebut diri sebagai “imam gay” untuk membuka dialog dengan komunitas muslim. Dia merasa mewakili kaum LGBTQ muslim dan banyak berkecimpung membangun jejaring di kalangan minoritas seksual di Berlin.
Kiprahnya menarik perhatian intelektual muslim lain, Andreas Ismail Mohr. Sosok yang juga sering menulis tentang isu homoseksualitas dan Islam itu meyakini Hermann memiliki “niat baik” dan banyak membantu kaum marjinal.
"Masjid portabel" demi syiar Islam
Meski demikian Mohr menilai Hermann tidak bisa digolongkan sebagai seorang Imam. “Imam adalah seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam dan secara berkala memimpin salat berjamaah di dalam masjid.”
Ia menyarankan agar Hermann menanggalkan gelar tersebut lantaran bisa dijadikan bahan serangan oleh kaum konservatif.
Padahal sang imam gemar tampil mencolok dengan janggut panjang dan busana tradisional Pakistan, jubah berwarna putih kecoklatan yang dipadu dengan celana dan sepasang sepatu olahraga warna biru dengan tali oranye.
Celana jeans dan baju kaus yang biasa ia kenakan sudah menghilang dari lemari pakaian. Dia berdalih baju tradisional masyarakat muslim membuatnya “merasa lebih terhubung dengan budaya ketimuran.”
Terkadang dia membawa “masjid portabel” ke mana-mana, yakni sebuah koper berwarna biru berisikan laptop, sajadah dan buku-buku agama.
Menurutnya, seorang imam yang baik tidak hanya memimpin salat atau mempelajari kitab kuno, melainkan juga terbuka dalam memberikan layanan tak berjarak kepada khalayak ramai.
Kritiknya tidak diarahkan kepada agama, melainkan sikap keras sebagian muslim yang “fanatik terhadap tafsir harfiah Al-Quran.”
Namun pandangannya itu sulit menggema tanpa masjid yang mau menampungnya. Tanpa rumah ibadah, Hermann kini memberikan pengajian agama di dapur milik seorang teman.
Sore itu pengajiannya didatangi oleh dua pria yang mengambil tempat di meja makan. Sementara dua orang lain menyimak pengajian secara online. Sebuah poster anti diskriminasi terpajang di pintu dapur. Di ujung lain ruangan, sebuah gambar Maria berlatar malaikat digantung di salah satu tembok.
Hermann berceramah tentang “empat pilar” di dalam Islam dan membahas isu seputar kriteria halal bahan pangan. Dia suka berbicara tentang Al-Quran dan sejarah hidup Nabi Muhammad.
Meski demikian dia mensyukuri tidak dilahirkan sebagai seorang muslim, lantaran akan kesulitan berkonfrontasi dengan orientasi seksual sendiri. Ketika ditanya apa hal terbesar yang dia inginkan, Hermann menjawab, “sepuluh juta Euro buat membangun masjid saya dan seorang pria untuk menghabiskan hidup bersama.” (rzn/vlz)
© Qantara/Frankfurter Allgemeine Zeitung 2019