UU Rantai Suplai Berpotensi Jadi Ujian bagi Relasi UE-ASEAN
2 Juni 2023Pekan ini, Parlemen Eropa akan memutuskan UU Rantai Suplai yang memantau rekam jejak lingkungan dan hak asasi manusia bagi perusahaan Uni Eropa (UE) di luar negeri. Legislasi bernama Direksi Uji Tuntas Keberlanjutan Korporasi (CSDD) itu akan berlaku bagi semua perusahaan UE dan non-UE yang beroperasi di salah satu negara anggota.
Rencananya, pengawasan dan pemeriksaan pertama kali dikenakan terhadap perusahaan besar berkapasitas lebih dari 500 pegawai dengan pemasukan sekitar 150 juta euro per tahun. Pelaku usaha diwajibkan memeriksa dan mengidentifikasi dampak negatif dari aktivitasnya di sepanjang rantai suplai, termasuk di antaranya pelanggaran hak buruh atau perusakan lingkungan oleh perusahaan mitra.
"Ada banyak pelanggaran hak buruh yang terjadi di dalam Uni Eropa atau sejumlah negara di Asia, Amerika Latin atau di benua lain oleh perusahaan yang bermarkas di UE. Jadi sangat penting untuk mencanangkan legislasi ini," kata Lara Wolters, anggota Parlemen Eropa asal Belanda.
Dia mengisahkan, gagasan regulasi rantai suplai dicetuskan setelah tragedi robohnya pabrik tekstil Rana Plaza di Bangladesh satu dekade lalu. "Regulasi ini mendorong perusahaan untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan melakukan pemeriksaan terhadap dampak lingkungan dan HAM dari aktivitasnya di kawasan tersebut," timpal Rachel Cox, juru kampanye senior di Global Witness.
Menurutnya, UU rantai suplai bisa membantu penegakkan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah rentan.
Tanggung jawab korporasi
Di Filipina, di mana investasi dan ekspansi industri acap dibarengi penggusuran dan penghilangan sumber mata pencaharian alami bagi penduduk lokal, UU Rantai Suplai Uni Eropa mencetuskan harapan bagi pegiat HAM.
"Penting untuk melihat bagaimana Uni Eropa akan menegosiasikan dan, mudah-mudahan, mengimplementasikan pemeriksaan dan uji tuntas bagi perusahaan. Menurut saya legislasi ini bernilai penting di Filipina," kata Jon Bonifacio, seorang pegiat lingkungan lokal.
Dia mencontohkan proyek reklamasi lahan untuk dijadikan bandar udara di Teluk Manila yang melibatkan dua perusahaan asal Belanda. "Mereka sangat terlibat dalam penggusuran para nelayan di Teluk Manila tanpa uang kompensasi," kata dia, meski menambahkan bahwa kedua perusahaan membantah tuduhan tersebut.
Uni Eropa merupakan investor terbesar kedua di Asia Tenggara dan tercatat sebagai mitra dagang terbesar ketiga dengan volume sebesar 215 miliar Euro pada tahun 2021, atau sekitar 10,2 persen dari total nilai perdagangan negara-negara ASEAN.
Saat ini pun, Uni Eropa sudah bersitegang dengan Indonesia dan Malaysia soal deforestasi demi ekspansi kebun sawit. Anggota parlemen Eropa, Wolters, menilai regulasi yang baru mencegah perusahaan melempar tanggung jawab atas kerusakan lingkungan atau pelanggaran HAM oleh rekan bisnisnya.
"Itulah yang terjadi dengan Rana Plaza. Semua perusahaan mengatakan mereka tidak tahu apa pun. Padahal, jika mereka punya prosedur untuk investigasi, mereka akan menemukan masalahnya jauh sebelum tragedi terjadi," imbuhnya. "Kami ingin menerapkan standar bagi perusahaan untuk selalu memantau apa yang dilakukan semua mitra di sepanjang rantai suplai."
Perusahaan UE lantas dijauhi?
Kekhawatiran bahwa UU Rantai Suplai akan mendorong mitra usaha di Asia untuk menjauhi investor Eropa juga diutarakan di parlemen. "Kita harus menyiapkan diri untuk menghadapi dampaknya dan saling berbagi tanggung jawab. Jika saya seorang radikal, saya akan katakan bahwa regulasi ini mengakhiri perdagangan bebas," kata anggota parlemen asal Ceko, Martina Dlabajova, kepada media UE, Euractiv.
Dalam sebuah pernyataan bersama, 35 asosiasi industri Eropa menyatakan khawatir terhadap dampak UU Rantai Suplai terhadap usaha kecil dan perekonomian Eropa di masa depan. Namun begitu, mereka tetap mendukung sasaran legislasi untuk mencegah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.
"Kuncinya adalah memastikan bahwa regulasi ini melindungi pegiat HAM agar pengawasannya tetap kuat dan tidak cuma menjadi permainan mengisi formulir," kata Rachel Cox, pegiat lingkungan di Global Witness.
Bagi Bonifacio, jika Parlemen Eropa gagal meloloskan RUU tersebut, maka dunia korporasi akan semakin giat mengabaikan kerusakan lingkungan atau pelanggaran HAM. "Saya kira hal itu adalah sesuatu yang patut dicermati, dan apa yang ingin kita capai adalah memastikan bahwa alam dan manusia ikut terlindungi."
(rzn/gtp)