Vivere Pericoloso
28 Agustus 2012Ini bukan berita dari Timur Tengah atau Pakistan. Ini kejadian di Sampang, sebuah tempat di bagian timur pulau Jawa, Indonesia, sebuah negara yang selama ini dianggap sebagai model negeri Islam moderat yang demokratis.
Persekusi atas Ahmadiyah dan menyusul kemudian Syiah adalah sebuah peringatan bahaya. Sebuah tanda bahwa ada sebuah masalah besar yang mengintip Indonesia.
Kampanye Kebencian
“Daerah kita Insya Allah adalah daerah yang bebas dari aliran sesat. Kalau ada masuk bawa ajaran semacam itu ke sini (Sampang-red) cepat pegang. Setelah itu masukkan ke karung, buang ke kali” itulah salah satu ceramah ulama Jawa Timur Thohir Al-Kaf, di depan ratusan jamaah termasuk anak-anak dan remaja.
Kampanye kebencian atas kelompok Syiah muncul sejak beberapa tahun terakhir. Akhir Desember 2011, massa anti Syiah membakar rumah milik Tajul Muluk, saat pemimpin Syiah Sampang itu sedang menjalani vonis penjara dua tahun, karena dituduh menghina Islam.
Tragedi hari Minggu (26/08) itu adalah kelanjutan atas apa yang ditanam sejak lama yakni kebencian. Ratusan orang mengejar, menganiaya dan membunuh dua pengikut Syiah Sampang. Dua korban tewas dengan tubuh penuh luka bacok senjata tajam.
Profesor Azyumardi Azra adalah ahli tentang Islam dan Timur Tengah di Indonesia. Kepada DW, ia mengatakan “Syiah sudah ada sejak berabad-abad di Indonesia dan selama ini tidak ada masalah.”
Kepada DW, Azyumardi mengatakan kebencian atas kelompok Syiah ini dibawa oleh orang Indonesia lulusan sekolah agama di Arab Saudi serta kelompok Salafi. “Mereka inilah yang suka membesar-besarkan perbedaan Sunni-Syiah” kata Azyumardi.
Kontestasi Sunni-Syiah
Azyumardi mengatakan pada tahun ‘80an para alumni Arab Saudi mengadakan konferensi besar di Jakarta. “Mereka meminta agar Presiden Soeharto ketika itu, melarang ajaran Syiah. Tapi Soeharto saat itu mengambil tindakan yang benar dengan tidak mengikuti permintaan tersebut“ kata Azyumardi.
Ekspor gagasan Wahabbisme ke Indonesia, kata Azyumardi terjadi secara besar-besaran setelah kemenangan Revolusi Iran tahun '79. Kelompok Wahabbi di Arab Saudi yang cemas dengan perkembangan politik Iran mengekspor gagasan itu sebagai tandingan atas sikap politik Teheran yang juga memperluas pengaruh politik di negara-negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia.
Kaum Wahabbi mengirimkan bantuan kepada mesjid-mesjid di Indonesia, berupa uang, dan buku. Mereka juga membentuk yayasan sosial dan mesjid.
“Syiah sudah berabad-abad ada di Indonesia dan selama ini tidak ada masalah” kata Azyumardi sambil menambahkan bahwa adalah sesuatu yang ganjil jika belakangan Syiah dianggap sebagai sebuah masalah besar.
Kontestasi politik internasional itulah yang kini coba ditularkan kepada Indonesia lewat aktor-aktor lokal.
Minoritas dalam Bahaya
Presiden Soekarno tahun 1964 pernah memakai istilah dari Italia: vivere pericoloso atau hidup dalam marabahaya, untuk menggambarkan situasi pada masa itu.
Istilah yang sama mungkin bisa menggambarkan kehidupan kelompok minoritas di Indonesia. Pasca reformasi, persekusi atas minoritas justru bertambah kuat, baik lewat intimidasi dan tekanan massa maupun lewat jalur hukum.
Kelompok radikal memanfaatkan pasal penodaan agama atau Blasphemy untuk menekan kelompok yang mereka anggap mempunyai pandangan keagamaan yang berbeda.
Demokratisasi Blasphemy
Di Sumatera Barat, seorang pegawai negeri bernama Alexander An yang mengelola grup Facebook “Ateis Minang“ divonis dua setengah tahun penjara dan denda Rp 100 juta, karena dianggap menghina Islam.
Andreas Guntur, tokoh gerakan spiritual Amanat Keagungan Ilahi, divonis empat tahun penjara pada Maret 2012 atas dengan tuduhan penodaan agama. Pasal yang sama juga membuat kelompok Lia Eden masuk penjara dengan tuduhan yang sama.
Setara Institute mencatat, pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 4 Undang-Undang tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, belakangan makin sering dipakai menekan kelompok minoritas.
Pasal penodaan agama atau Blasphemy di Indonesia justru tumbuh subur di era demokrasi.
Andy Budiman
Editor: Hendra Pasuhuk