Vonis Rizieq Shihab Kontradiktif dengan Program Asimilasi?
24 Juni 2021Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) karena bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi Bogor hingga mengakibatkan keonaran.
Dalam video yang diunggah YouTube RS Ummi, Rizieq terbukti menyiarkan berita bohong dengan mengatakan dirinya sehat. Padahal saat itu Rizieq berstatus reaktif COVID-19 berdasarkan hasil tes swab antigen.
Rizieq bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Vonis yang dijatuhkan hari ini (24/06) lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni enam tahun penjara.
Tiga kasus menjerat Rizieq Shihab
Selain kasus tes swab RS Ummi, PN Jakarta Timur pada Kamis (25/06) memvonis HRS delapan bulan penjara karena terbukti melanggar aturan pandemi COVID-19 terkait acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta.
Rizieq dkk dinyatakan bersalah melanggar Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut merupakan dakwaan alternatif ketiga.
Sementara dalam kasus kerumunan di Megamendung, Rizieq divonis denda Rp 20 juta subsider lima bulan kurungan. Dia dinyatakan terbukti tidak patuh protokol kesehatan dan menghalang-halangi petugas COVID-19 saat mendatangi pondok pesantren miliknya di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor. Rizieq dinyatakan melanggar Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Vonis Rizieq Shihab kontradiktif?
Lantas, apakah vonis empat tahun Rizieq Shihab sepadan dengan pelanggaran yang dilakukannya? DW secara eksklusif mewawancarai Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr. Mahesa Pranadipa terkait hal ini.
DW: Apakah hukuman penjara sudah cukup ideal untuk kasus pelanggaran Rizieq Shihab?
Mahesa Pranadipa: Saya dari awal tidak begitu setuju dengan pidana penjara untuk yang sifatnya pelanggaran, bukan kejahatan. Kalau dari perspektif hukum restoratif, vonis tersebut menjadi kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang membebaskan narapidana yang sudah melewati setengah masa tahanan dan saat ini justru memasukkan orang-orang ke penjara.
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah perspektif keadilan di mata publik. Kalau misalnya pelanggaran Habib Rizieq mendapat vonis penjara, maka ada beberapa kasus lainnya bisa masuk kategori yang sama.
Contohnya, kasus Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI) yang tidak memberikan informasi bahwa dia positif COVID-19, tetapi ada beberapa agenda beliau hadir di Istana Negara.
Apakah juga akan dikenakan pasal yang sama dengan kasus Habib Rizieq? Itu juga mengundang polemik.
Bagaimana penerapan sanksi denda bisa memberikan efek jera yang lebih dibanding penjara?
Saya mendorong sekali penerapan sanksi denda, sesuai undang-undang wabah atau undang-undang karantina kesehatan. Saya menganjurkan penggunaan sanksi denda Rp100 juta seperti yang tercantum dalam undang-undang karantina. Denda inilah yang harus diterapkan karena menimbulkan efek jera.
Beberapa negara juga menerapkan sanksi yang sama dengan denda yang cukup tinggi dan itu terbukti efektif. Namun, yang menjadi catatan jika diterapkan di Indonesia adalah dituntut konsekuen dalam menegakkan undang-undang tersebut.
Kekhawatiran seperti apa yang muncul ketika seseorang yang melakukan pelanggaran dikenai vonis penjara?
Ketika sanksinya hukuman penjara, apakah bisa dipastikan tidak ada penularan klaster penjara? Apakah akan dilakukan pemeriksaan PCR secara rutin?
Ada permasalahan baru kalau memasukkan orang yang terbukti melakukan pelanggaran, tetapi dikenai hukuman penjara. Kalau semua yurisprudensi dipakai untuk pelanggaran, berapa banyak orang harus masuk penjara? Apakah daya tampung lapas kita siap menerima mereka?
Pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus Rizieq Shihab?
Semua orang harus benar-benar serius memandang pandemi COVID-19. Tidak boleh ada unsur main-main, tidak boleh ada unsur politik, dan lain-lain. Kita harus serius. Kami menyoroti tokoh publik yang berpotensi berinteraksi dengan banyak orang, dia harus bisa menjadi contoh yang baik. Jadi kalau dari awal kita mengatakan bahwa rahasia kedokteran itu tidak berlaku pada situasi pandemi, bahkan untuk tokoh publik, dia harus secara pribadi menyampaikan kepada publik bahwa dia positif COVID-19. atas dasar moral, dia bertanggung jawab melindungi orang lain.
Kalau dia melakukan perbuatan berbohong dan tidak memberitahukan kepada orang lain, padahal dirinya positif COVID-19, dia tahu itu berpotensi menularkan orang lain, ya itu bisa merugikan orang lain. Makanya unsur pidana bisa masuknya di situ tuh, karena orang lain yang tertular bisa sakit dan bisa juga meninggal. (ha/as)
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Hani Anggraini dan telah diedit sesuai konteks.