Sampar Terlupakan tapi Belum Musnah
9 Juli 2020Cina melaporkan satu kasus penyakit sampar pada seorang pemburu di kawasan Mongolia Dalam di provinsi utara Cina pada awal Juli lalu. Tiga kasus penyakit yang sama dilaporkan juga muncul di provinsi Khovd di Mongolia. Penyebabnya serupa: mereka terinfeksi pes setelah memakan daging marmut liar hasil perburuan.
Di tengah pandemi Covid-19, sontak warga dunia mengarahkan lagi pandangan ke Cina. Yang mereka takutkan, wabah pes alias sampar yang merenggut sedikitnya 25 juta jiwa warga Eropa di abad pertengahan antara 1346 hingga 1353, akan menjadi pademi baru.
Padahal sejak lama penyakit sampar yang dipicu bakteri Yersinia pestis sudah bisa disembuhkan. Wabah sudah terlupakan, namun tidak hilang dari muka bumi. Pasalnya, inang utama bakteri ini yakni binatang pengerat, masih tetap hidup diantara populasi manusia.
Penularan bakteri pemicu sampar biasanya lewat kutu atau pinjal binatang pengerat seperti tikus, marmut atau tupai. Binatang yang terinfeksi ada di semua benua, tapi kasus beberapa terbaru dilaporkan dari kawasan selatan Afrika, Amerika Selatan dan Amerika Utara, Rusia serta Asia.
Beberapa jenis sampar
Dewasa ini, penyebaran kasus sampar umumnya bisa diredam sejak awal hingga tidak berkembang menjadi wabah. Kasus luarbiasa epidemi sampar teranyar terjadi tahun 2017 di Madagaskar, Afrika Timur. Dalam kurun waktu antara Agustus hingga November 2017, tercatat 2417 orang terinfeksi dan 209 orang meninggal akibat sampar paru-paru.
Bakteri Yersinia pestis diketahui bisa memicu beberapa jenis sampar, yang paling dikenal adalah sampar-paru-paru dan sampar limfatik, yakni tergantung organ yang diserang. Sampar paru-paru seperti yang menyerang Madagaskar lebih mematikan dibanding sampar limfatik yang disebut “bubonic plague“ yang melanda Eropa di abad pertengahan.
Terutama pada sampar paru-paru, masa inkubasinya amat pendek antara satu hingga tiga hari. Jika dokter terlambat memberi pengobatan antibiotika, penyakitnya dengan cepat menjadi gawat, dan pasien batuk darah. Pada fase ini, penularan bisa terjadi lewat udara dan bahayanya sangat tinggi, apalagi di kawasan padat dengan higiene buruk.
Kombinasi inilah yang menyebabkan tingginya fatalitas saat wabah di Madagaskar 2017 silam. Namun penyebaran wabah biasanya terbatas, karena serangannya amat cepat dan banyak pasien meninggal sebelum bisa bepergian ke tempat lain.
Sementara pes limfatik ditandai dengan bisul-bisul di jaringan limfatik sekujur tubuh. Penyakit biasanya ditularkan lewat pinjal binatang pengerat, yang bisa hidup selama beberapa bulan hingga inangnya mati. Masa inkubasinya antara beberapa jam hingga beberapa minggu. Tikus atau hewan pengerat lain yang jadi inangnya juga bisa berkeliaran kemana-mana, hingga kawasan penyebaran wabah bisa cukup luas.
Mengapa epidemi tiba-tiba menyerang?
Sejak pengembangan antibiotik Streptomycin tahun 1943, para dokter memiliki senjata ampuh untuk mengobati penyakit sampar atau pes. Namun sejarah wabah ini menunjukkan, selalu ada masa jeda cukup lama saat tidak ada kasus sampar. Periodenya bisa dekade bahkan seabad lamanya.
Fenomena ini diduga terkait berkembangnya imunitas pada manusia, setelah terinfeksi dengan gejala ringan. Selain itu, juga terdapat vaksin anti sampar, walau khasiatnya hanya bertahan beberapa bulan. Karena itu WHO hanya menyarankan vaksinasi untuk kelompok risiko tinggi, seperti pemburu atau petani di kawasan endemik pes.
Yang kini dikhawatirkan pakar medis adalah makin banyaknya bakteri kebal beberapa jenis antibiotika. Ini bisa menyulitkan pengobatan penyakit klasik seperti sampar.
Untuk meredam penularan dari kasus terbaru di Cina itu, sebanyak 146 orang yang melakukan kontak dengan penderita harus dikarantina. Pemerintah Cina juga melarang perburuan dan konsumsi daging binatang pengerat yang diduga bisa menjadi inang penyakit sampar. Serupa dengan itu, pemerintah Rusia mengirimkan petugas patroli ke perbatasan negaranya denga Cina dan Mongolia, untuk menghentikan warganya memburu dan memakan daging marmut liar.
Fabian Schmidt (as/yf/rtr,afp)