Wacken: Pesta Metal Paling Akbar Sejagat
2 Agustus 2015Wacken bisa penuh kontradiksi. Saat alunan lagu gereja memenuhi udara sore di ujung Juli, gemuruh suara Silenoz menghentak dari kejauhan. Pria dengan janggut dikepang panjang itu adalah vokalis band Norwegia, Dimmu Borgir.
Sekali dalam setahun, lagu-lagu gubahannya yang banyak bercerita tentang neraka dan kebencian itu bersanding dengan puja puji Tuhan. “When I have seen your church go up in flames and you are weeping, I will laugh...” - Tormentor Of Christian Souls, Dimmu Borgir.
Wacken, desa kecil di ujung utara Jerman adalah anomali dalam ragam kehidupan masyarakat Jerman yang mencinta sunyi. Tidak jarang, bahkan di kota besar sekalipun, perhelatan musik dihentikan lantaran ada penduduk yang menggugat pemerintah kota, karena mereka merasa acara terlalu gaduh.
Lahir Karena Bosan
Bahwa setiap tahun desa ini menampung 80.000 metalheads adalah berkat kegigihan Thomas Jensen. Pria yang sejak awal menukangi Wacken Festival itu kini memasuki usia paruh baya. Ia lahir dan besar di Wacken. Maka tidak sulit, meski juga tidak bisa dibilang mudah, buat meyakinkan penduduk desa tentang pentingnya kehadiran Wacken Open Air di dusun mereka.
Padahal Wacken awalnya adalah ide liar sekelompok remaja desa yang ingin mengusir bosan. Mereka lalu mengundang band-band lokal dan menggandeng klub motor sebagai penonton. 800 orang hadir saat itu.
Nasib berbalik arah ketika Jensen menghubungi tetangganya yang bekerja di sebuah bank lokal.
“Günther,” sapa Jensen. “Kita bisa mengundang Saxon buat bulan Agustus!!”
Sang pegawai bank memandangnya takjub. “Serius!? Berapa harganya?”
“Kita butuh 25.000 Mark.”
Saxon di tahun 1992 adalah nama besar di panggung metal. Kehadiran band asal Inggris itu mengubah wajah Wacken. Dari festival desa yang diisi band-band tak bernama, Wacken dilahirkan kembali menjadi perhelatan akbar yang kelak mendunia.
Pesta untuk Semua
Kini Wacken menjadi kiblat buat pecinta metal di seluruh dunia. Lahan seluas 220 hektar dikosongkan buat menampung 80.000 penonton. Saban tahun 130 band menggeber delapan panggung yang disiapkan.
Sebagian penonton seakan tidak pernah absen dari perhelatan akbar itu. Pengunjung setia bisa dilihat dari gelang tangan yang menjadi kunci masuk festival. Mereka tidak membuang gelang lama dan mengoleksinya di tangan. Buat metalheads, gelang tangan Wacken adalah status sosial.
Uniknya penduduk desa juga tidak lantas menarik diri. Mereka malah ikut berbaur dengan kaum metalheads yang tumpah ruah dalam jubah hitam. Sebagian menjual bir, yang lain menawarkan sosis panggang atau jasa mengantarkan berkrat-krat bir dengan sepeda.
Wacken adalah pesta buat semua: buat kaum metalheads, buat laki-laki dan perempuan desa setempat, remaja, bahkan manula dan anak-anak.
rzn/as(dari berbagai sumber)