Akankah Kembalinya Wajib Militer Lindungi Eropa?
13 Juli 2024Pada tanggal 17 Juli, penduduk dewasa di Latvia bakal mengundi siapa yang harus mengabdi pada pertahanan negara. Sejak tahun ini, negara Baltik tersebut kembali memberlakukan wajib militer.
Jika jumlah sukarelawan yang mendaftar untuk wajib militer selama 11 bulan itu dinilai tidak mencukupi, militer berwenang melakukan perekrutan paksa kepada penduduk di usia dewasa.
Di negeri jiran Lituania, wajib militer sudah kembali berlaku pada tahun 2015. Adapun Swedia menyusul pada tahun 2017. Perdebatan soal kembalinya wajib militer juga muncul di negara-negara Eropa lain seperti Jerman dan Inggris, terutama sejak invasi Rusia di Ukraina tahun 2022.
Persiapan perang di Eropa
"Wajib militer adalah sebuah janji besar,” kata Sophia Besch dari Carnegie Endowment for International Peace di Washington DC. "Kebijakan ini bertujuan membangun cadangan militer yang diperlukan jika terjadi perang.”
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sejumlah negara Eropa saat ini kesulitan merekrut serdadu baru dan sebabnya mengalami kekurangan kapasitas di hampir semua matra.
Menurut Besch, serangan Rusia mendorong Eropa membenahi pertahanan dan mempercepat modernisasi militer.
Peluru berbayar nyawa
"Sejak lama diyakini bahwa kita harus memperbanyak aplikasi teknologi dan beroperasi dengan jumlah tentara yang lebih sedkit, namun dipersenjatai secara lengkap dan profesional,” kata Besch.
"Saya pikir kita membutuhkan keduanya. Kita membutuhkan teknologi di medan perang dan kita membutuhkan lebih banyak pasukan. Hal ini sudah dibuktikan dalam perang di Ukraina."
Invasi Rusia di Ukraina menjadi pengingat, betapapun teknologi persenjataan termutakhir, perang masih harus dilancarkan secara konvensional, dengan mengorbankan ratusan ribu tentara.
Modernisasi militer syaratkan keterampilan
Jadi apakah wajib militer universal bisa menjadi solusi bagi keterbatasan kapasitas militer di Eropa? Tidak, menurut peneliti konflik Vincenzo Bove dari Universitas Warwick di Inggris.
"Ketika Anda berpikir tentang peperangan modern, Anda memerlukan senjata berteknologi tinggi dan tentu saja Anda juga membutuhkan tentara yang dapat mengoperasikannya,” kata Bove kepada DW.
"Seorang wajib militer yang pelatihannya kurang dari setahun, sekitar tiga bulan, enam bulan, mungkin sembilan bulan, menurut saya belum akan cakap dalam keterampilan dan pengetahuan dasar,” kata Bove yang sendirinya pernah bertugas di kapal selam sebagai perwira di Angkatan Laut Italia.
Angka kematian surutkan gairah perang
Menurutnya, perekrutan militer merupakan isu sensitif yang harus dikelola secara bijak. "Jika Anda memaksa generasi muda untuk mengangkat senjata di luar kemauan mereka, jelas ada kekurangan motivasi,” kata Bove.
Hanya tentara yang bermotivasi tinggi yang siap bertaruh nyawa. Tanpanya, sulit memenangkan perang. "Saya belum mengerti bagaimana negara ingin memastikan bahwa para peserta wajib militer pada akhirnya akan mengangkat senjata dan bertempur di medan perang.”
Tingginya angka kematian serdadu wajib militer di pihak Rusia dianggap sebagai tolak ukur. Menurut sebuah survei baru-baru ini, banyak anak muda Eropa yang mengaku tidak tidak siap membela negara dengan senjata dalam skenario invasi asing.
Ongkos politik dan ekonomi
Menurut penelitian baru-baru ini, Jerman memerlukan biaya tambahan hingga 70 miliar euro per tahun untuk menerapkan kembali wajib militer. Tingginya biaya dihitung berdasarkan upah pelatih, biaya pembangunan barak, dan pembelian seragam.
Selain itu, menarik sejumlah besar angkatan kerja berusia muda dari perekonomian juga dinilai akan melemahkan pertumbuhan.
"Kalau bicara wajib militer, tentu biayanya banyak,” kata Bove. Selain biaya ekonomi, ongkos politik pemberlakuan wajib militer tidak bisa diremehkan. "Warga yang dipaksa mengikuti wajib militer cendrung memiliki kepercayaan yang lebih rendah terhadap negara," dan bahkan bisa melemahkan demokrasi, imbuhnya.
Bove memuji model Swedia yang mengandalkan kerelaan individu. Hanya warga yang menunjukkan motivasi tingkat tinggi yang akan diundang mengikuti wajib militer.
Meski model tersebut menjaring lebih sedikit serdadu, komponen cadangan yang terbentuk akan berkualitas lebih tinggi ketimbang di negara lain, karena semangat pengabdian yang besar.
"Membangun kesadaran mengabdi"
Sophia Besch dari Carnegie Foundation juga memiliki kekhawatiran yang sama bahwa wajib militer secara paksa dapat menguntungkan partai-partai ekstrem di Eropa. "Jika para politisi memaksakan wajib militer di tengah perlawanan masyarakat, maka mereka akan mengambil risiko. Terutama pada kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung dari wajib militer, yaitu generasi muda dan orang tua mereka.”
Negara yang berencana memberlakukan wajib militer harus mengambil contoh dari Finlandia, kata Besch. "Finlandia merupakan tolak ukur dan punya tradisi panjang dalam wajib militer.”
Negeri Skandinavia itu baru bergabung dengan NATO pada tahun 2023 dan mandiri secara militer. "Untuk itu, Finlandia ingin membangun komponen cadangan yang mumpuni, dan mereka melakukannya melalui wajib militer,” jelas Besch.
Menurutnya, kesadaran mengabdi sangat penting bagi program wajib militer. "Pertama-tama Anda harus mendorong kemauan untuk melayani dan perasaan bahwa ada sesuatu yang layak diperjuangkan," kata dia.
"Anda tidak bisa begitu saja meminta generasi muda untuk berjuang dan mungkin mati demi negara. Anda tidak bisa memaksakan hal ini dari atas.”
rzn/hp