1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialInggris

Warga Muslim di Inggris Bantu Atasi Kebencian Rasial

Rosie Birchard
7 Agustus 2024

Gelombang kerusuhan rasial anti-muslim di Inggris mendorong aksi balas dendam. Namun komunitas lokal berusaha membangun jembatan untuk melumat kebencian.

https://p.dw.com/p/4jByU
Kerusuhan rasial anti-muslim di Inggris
Kerusuhan rasial anti-muslim di InggrisFoto: Hollie Adams/REUTERS

Sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi di Liverpool sejak kerusuhan rasial mulai mengguncang kota-kota di Inggris dan Irlandia Utara pekan lalu.

Akibatnya, perempuan muslim mulai bertukar kiat-kiat keselamatan secara daring. "Tetaplah berkelompok, tutup jendela mobil dan kunci pintu," tulis salah satu unggahan di media sosial.

Anak-anak berwarna kulit gelap dan hitam kini terlalu takut untuk datang ke klub remaja setempat. Masjid tertua di Inggris juga menutup gerbangnya dengan rantai, sementara seorang petugas Kementerian Dalam Negeri berjaga dari dalam untuk memantau potensi ancaman.

Namun, sesuatu yang luar biasa juga terjadi. Imam setempat Adam Kelwick berseri-seri saat hendak memimpin salat di Masjid Abdullah Quilliam. Hari-hari ini dia mengaku sibuk "membangun jembatan."

Kelwick menarik perhatian dunia saat dia difoto menyeberangi barisan pengunjuk rasa sayap kanan untuk memeluk seorang pria di tengah kerumunan yang meneriakkan slogan-slogan anti-Islam di luar masjidnya akhir pekan lalu.

"Kami berjalan ke sisi mereka dan berbagi makanan. Kami berbagi senyuman. Kami berbicara. Kami mendengarkan," katanya kepada DW di Liverpool. Pada hari Selasa, keadaan berubah lebih tak terduga: "Saya baru saja mendapat kabar dari seseorang yang berada di kerusuhan itu, dan dia menghubungi saya. Kami baru saja minum kopi hari ini."

"Dia mengatakan kepada saya bahwa dia sebenarnya menyesal berada di sana sekarang," Kelwick menjelaskan.

Far-right riots unsettle UK's Muslim community

"Mereka adalah orang-orang yang tulus. Mereka benar-benar khawatir dan benar-benar takut. Dan begitu mereka menyadari bahwa kami juga manusia, kami peduli dengan masyarakat, kami peduli dengan keluarga kami dan kami menginginkan yang terbaik untuk negara ini, maka mereka menyadari bahwa banyak dari masalah yang mereka lihat juga dialami oleh kami."

Donasi memulihkan kerusakan

Tidak jauh dari sana, Perpustakaan Spellow terlihat masih berantakan dan berlumpur. Jendela-jendela yang pecah telah ditutup dengan papan, dan buku-buku serta perlengkapan yang selamat dari penjarahan pada hari Sabtu telah dikirim ke tempat yang aman. Buket bunga matahari yang lemas dijejalkan terbalik di antara tripleks dan kaca yang disiram lumpur.

Namun, ada juga tanda-tanda harapan. Teknisi buku setempat Alex McCormick mengatakan dia "patah hati" ketika mendengar ruang komunitas itu diserbu di tengah kekacauan pada akhir pekan.

Dia membuat halaman donasi daring dengan tujuan sederhana untuk mengumpulkan USD635. Dalam beberapa hari, dia berhasil mengumpulkan lebih dari USD190.000.

"Saya tidak pernah menyangka akan sejauh ini," katanya kepada DW di luar perpustakaan. "Kami telah menerima sumbangan dari seluruh dunia, begitu banyak pesan yang baik, berbagi, komentar, dan orang-orang yang menyumbangkan buku. Ini sungguh luar biasa."

Kerusuhan di Inggris disulut kebohongan

Di pusat kota, seorang guru sekolah Gemma Gray tetap merasa khawatir terhadap keselamatan murid-muridnya. Dia mengatakan Liverpool masih terasa seperti kotak api.

"Insiden ini belum berakhir. Saya rasa kita sama sekali belum sampai pada puncaknya," katanya.

"Anda mengkhawatirkan hal terburuk bagi kota Anda. Ada semacam perasaan: Ke mana kita harus pergi sekarang? Kita sedang tersesat."

Kerusuhan paling parah di Inggris dalam satu dekade itu dimulai setelah penusukan massal yang mematikan di sebuah klub anak-anak di kota tepi laut Southport. Karena tersangka pembunuh berusia 17 tahun, detail tentang identitasnya dirahasiakan selama berhari-hari. Tak lama kemudian, klaim palsu bahwa penyerangnya adalah seorang pencari suaka muslim membanjiri celah tersebut.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Bahkan ketika polisi akhirnya mengidentifikasi tersangka sebagai Axel Rudakubana, pria yang lahir di Cardiff, Wales, dari orang tua Rwanda yang tidak memiliki hubungan dengan Islam, amarah massa sudah kadung tersulut.

"Media sosial telah menjadi tempat berkembang biaknya disinformasi, di mana kelompok dan individu sayap kanan menyebarkan narasi palsu, teori konspirasi, dan konten yang menghasut untuk memicu ketakutan dan prasangka yang ada," kata Claudia Wallner, seorang peneliti di lembaga pemikir keamanan RUSI, kepada DW.

"Dalam kasus kerusuhan Southport, disinformasi tentang insiden tersebut disebarkan untuk memicu kemarahan, memanfaatkan ketakutan dan ketidakpastian yang ada, dan memobilisasi individu untuk mengambil tindakan." Wallner mengatakan peristiwa tersebut juga merupakan "puncak dari masalah yang sudah berlangsung lama" di Inggris.

"Ketidakpastian ekonomi, pergeseran budaya, dan retorika politik telah berkontribusi pada meningkatnya permusuhan terhadap kaum migran dan komunitas minoritas."

Trauma masa lalu

Banyak warga Muslim Inggris yang diwawancarai DW menyebutkan bahwa perasaan ketegangan yang sudah berlangsung lama telah mencapai titik didih. Sopir taksi berusia 60 tahun Zaf Iqbal, misalnya, menyebutkan Brexit dan retorika "mengambil kembali kendali" sebagai faktor penyebabnya. "Hal ini adalah ketidaktahuan dan frustrasi yang menyesatkan," katanya.

Lahir dan dibesarkan di Sunderland dari orang tua Pakistan, Iqbal merupakan bagian dari komunitas Asia di Inggris, yang menurut angka sensus, merupakan 9,3 persen dari populasi.

Dia berharap anak-anaknya tidak akan pernah menghadapi rasisme yang menghantui masa kecilnya sendiri. Namun, kenangan itu kini terasa sangat familiar. Iqbal bahkan mendapati dirinya terkunci di dalam masjid setempat selama akhir pekan saat polisi menahan massa di luar. 

"Kejadiannya menakutkan," katanya kepada DW melalui telepon. Bahkan ketika kerusuhan mereda, dia menjadi sasaran cercaan rasis di jalan keesokan harinya.

Seperti yang lain, Iqbal kini bertekad untuk menyembuhkan perpecahan yang membesar. Prioritas utama adalah mencegah ketegangan bertambah parah, ketakutan yang sangat nyata.

Mata berbalas mata

Pada hari Senin (6/8), beberapa kelompok pria berdarah Asia dilaporkan turun ke jalan di kota Birmingham, sebagai respons atas serangan rasial oleh pria kulit putih.

"Saya tidak mendukung. Mereka seharusnya tidak melawan api dengan api," ujar Mohammed Khalil, seorang pria berusia 24 tahun kelahiran Yaman, kepada DW di Liverpool. "Mereka malah menambah amunisi kepada para penghasut. Hal ini bukan yang Anda inginkan. Tindakan mereka tidak diwakili oleh Islam."

Imam Adam Kelwick juga mencoba menyebarkan pesan tersebut, saat polisi bersiap menghadapi gelombang baru kerusuhan pada hari Rabu.

"Tetap tenang," katanya. "Jika Anda bereaksi terhadap kekerasan dengan kekerasan dan premanisme dengan premanisme dan kejahatan dengan kejahatan, maka Anda menjadi seorang penjahat, seperti yang Anda selama ini keluhkan."

Perjuangan demi pluralitas

Khalid mengatakan bahwa dia berencana menghadiri demonstrasi tandingan untuk melindungi pusat bantuan suaka, yang diduga akan menjadi sasaran kerusuhan dalam beberapa hari mendatang.

"Liverpool dibangun atas dasar migrasi," kata Khalil, mengacu pada sejarah kota pelabuhan yang kaya sebagai pusat kedatangan dan kepergian.

Dia berharap bahwa kali ini, pertemuan akan berlangsung damai dan bebas dari kekerasan yang menodai minggu lalu. "Ini bukan yang diperjuangkan Liverpool," katanya.

(rzn/hp)