''Visi UNESCO Mencegah Perang dan Jaga Perdamaian"
5 Juli 2022Prof. Ismunandar bertugas sebagai Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO yang bermarkas di Paris, Prancis. Di sela-sela kunjungannya ke Bonn menghadiri konferensi internasional Global Media Forum, DW Indonesia sempat berbincang tentang visi dan misi UNESCO serta tugas-tugas konkretnya di Paris.
DW-Indonesia: Apa sebenarnya tugas perwakilan Indonesia di UNESCO, Paris, yang resminya disebut Delegasi Tetap dan secara struktural berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI?
Prof. Ismunandar: UNESCO adalah badan PBB yang menangani science, culture, education, jadi ilmu pengetahuan, kebudayaan, pendidikan, dan sekarang ditambah dengan komunikasi dan informasi. Jadi disadari, bahwa kerja sama politik dan ekonomi di tataran internasional saja tidak cukup untuk mencegah perang dan menciptakan perdamaian, seperti yang disebutkan dalam statuta UNESCO. Setelah Perang Dunia Kedua, para tokoh pendidikan pada pembentukan PBB menyatakan, untuk mencegah perang tidak cukup hanya mengembangkan kerja sama politik dan ekonomi, melainkan juga dibutuhkan kerja sama dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan. Jadi pada awal pembentukannya, delegasi UNESCO itu bukan terdiri dari para politisi, melainkan murni kalangan ilmuwan terkemuka dari berbagai negara. Dalam perkembangannya sekarang, memang kemudian juga menjadi bagian dari diplomasi dan banyak juga diisi oleh diplomat, tetapi tetap suara para ilmuwan mempunyai bobot terpenting.
..Dengan visi untuk perdamaian..
Tujuannya, seperti disebutkan dalam dalam preambelnya, memang begitu. Perang itu berawal dari pikiran manusia, maka untuk mencegahnya juga harus mulai dari pikiran manusia. Karena itu diperlukan kerja sama dalam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan. Jadi visi mendasarnya adalah memang untuk mencegah perang. Karena itu, dalam menghadapi suatu konflik, UNESCO juga selalu dilibatkan.
Lalu apa misalnya manfaat kerja UNESCO untuk Indonesia?
Misalnya saja dalam bidang pendidikan. Kalau kita lihat sekarang, setelah reformasi, komitmen negara, dalam arti soal anggaran pendidikan, sudah cukup baik. Itu adalah salah satu pencapaian yang diusulkan banyak ahli pendidikan, dan akhirnya ditetapkan Indonesia setelah melihat contoh-contoh dari negara lain, dan itu hasil dari kerja sama multilateral yang digalang UNESCO lalu kemudian diterapkan di Indonesia. Contoh lain soal kebudayaan, misalnya pemugaran candi Borobudur di masa lalu. Itu adalah salah satu proyek besar yang didukung oleh UNESCO dengan kampanye internasional penyelamatan Candi Borobudur. Karena Borobudur itu dulu sebenarnya sudah ditinggalkan dan sempat tertimbun tanah. Candi itu ditemukan kembali pada masa Raffles, lalu pada masa penjajahan Belanda direstorasi, tetapi hanya restorasi-restorasi kecil. Restorasi besar-besaran baru dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan dukungan UNESCO yang melakukan kampanye besar-besaran. Sehingga Ketika itu banyak pihak internasional yang terlibat dalam restorasi Borobudur. Proyek restorasi Borobudur juga menginspirasi penyusunan daftar Warisan Kebudayaan Dunia UNESCO yang terus dikembangkan sampai sekarang.
Tapi sekarang Indonesia tidak hanya menerima bantuan saja, karena kita sudah menjadi negara menengah. Jadi sekarang Indonesia juga misalnya membantu negara-negara Afrika dalam berbagai proyek kerja sama UNESCO. Dan sekarang memang proyek-proyek UNESCO diprioritaskan ke Afrika. Semua negara-negara di UNESCO sepakat bahwa Afrika perlu dibantu, tentu tanpa menafikan negara-negara lain yang juga perlu bantuan, misalnya negara-negara di Pasifik. Prioritas UNESCO yang lain adalah kaum muda.
Nah, baru-baru ini ada kontroversi di Indonesia dengan gagasan untuk menaikkan harga tiket di Borobudur. Apakah UNESCO ikut terlibat, atau diberitahu soal rencana kenaikan harga tiket itu?
Kalau harga tiketnya, ya tidak terlibat. Tapi UNESCO memang punya kriteria ketat tentang apa yang disebut "outstanding universal value” (OUV) pada situs-situs yang dideklarasikan sebagai warisan budaya dunia. Jadi untuk Borobudur misalnya, Indonesia harus menunjukkan bahwa OUV itu tetap terjaga. Misalnya, karena banyak orang menaiki Borobudur, tentu sejalan dengan waktu batu-batunya tergerus. Nah, bagaimana itu harus dijaga? Tapi juga harus diingat, bahwa ketika Indonesia mengusulkan Borobudur untuk menjadi warisan dunia, itu bukan hanya candinya saja, tetapi juga landscape di sekitarnya. Jadi misalnya, Candi Mendut dan Candi Pawon itu membentuk satu sumbu dengan Borobudur. Nah, jangan sampai kemudian ada bangunan yang menghalangi pemandangan sumbu itu. Hal-hal seperti itu harus dijaga. Jadi kalau kita mau membangun sesuatu, memang harus dikonsultasikan lebih dulu ke UNESCO. Kemudian nanti ada tim ahli UNESCO yang akan ikut menilai.
Jadi UNESCO juga harus diajak konsultasi lebih dulu..?
Harus dikonsultasikan lebih dulu. Bukan berarti UNESCO mencampuri kedaulatan Indonesia. Tetapi ketika satu situs dideklarasikan menjadi warisan dunia, bahkan NGO juga bisa turut mengawasi, dan orang dari mana pun di seluruh dunia boleh turut mengawasi. Bahkan UNESCO biasanya memang bereaksi karena ada laporan dari masyarakat.
Jadi status warisan dunia itu juga berarti menjadi milik dunia..?
Kita memang mau mewariskannya kepada dunia. Dan ada manfaatnya juga, misalnya ketika diperlukan bantuan, seperti proyek restorasi, kita bisa meminta dan mendapat bantuan internasional untuk pelestarian, seperti dalam proyek pemugaran Candi Borobudur yang menjadi proyek dunia. Tapi UNESCO tidak ikut campur dalam hal-hal seperti penentuan harga tiket masuk.
Hal lain lagi, ini sebenarnya banyak yang belum tahu, bahwa ada warisan dunia di Indonesia yang sebenarnya sudah masuk red list, sudah daftar merah. Salah satunya adalah hutan di Sumatera, sudah sejak 2011. Mengapa red list, karena misalnya tiba-tiba dibangun jalan, memang itu mungkin kebutuhan nasional kita, tetapi karena sudah msasuk daftar warisan dunia, maka pembangunan jalan itu seharusnya dikonsultasikan lebih dulu.
Apakah status warisan dunia itu juga bisa dicabut lagi, bisa hilang..
Bisa. Contoh aktualnya yang baru-baru ini terjadi adalah dengan kota Liverpool. Kota ini mempunyai satu pelabuhan yang dulu, atas permintaan mereka, sudah dideklarasikan sebagai warisan dunia. Tapi pemerintah kota kemudian mengizinkan pembangunan yang kemudian dinilai oleh tim ahli UNESCO mengganggu pemandangan warisan dunia itu. Jadi mengganggu outstanding universal value-nya, sehingga akhirnya dikeluarkan dari daftar warisan dunia. Jadi, yang perlu dilakukan oleh pemerintah, memang perlu konsultasi lebih dulu dengan UNESCO kalau ingin membangun sesuatu.
Nah, hal lain adalah, kalau sesuatu hal sudah ditetapkan sebagai warisan dunia, lalu seterusnya apa? Itulah fokus lain dari tugas kami sebagai Delegasi Tetap RI di UNESCO. Tentu kita perlu memanfaatkan itu, misalnya dengan promosi budaya dan pariwisata. Borobudur mungkin tidak perlu lagi, karena sudah terkenal, tetapi masih banyak tempat-tempat lain. Warisan dunia di Indonesia itu ada 9, tapi mungkin kita sendiri tidak mengenal semuanya. Yang terbaru itu Ombilin di Sawah Lunto, yaitu penambangan batu bara, yang dalam sejarahnya dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah penambangan di Asia Tenggara. Ada juga warisan dunia yang berbentuk alam, misalnya Komodo dan Ujung Kulon.
Bagaimana dengan ribut-ribut soal warisan budaya yang katanya diklaim negara lain..
Yang sering diributkan itu dalam hal warisan budaya tak benda. Misalnya batik. Atau songket, yang hidup di Padang atau Sumatera Selatan, kok bisa diklaim Malaysia? Nah ini memang berbeda dengan warisan budaya bendawi, seperti Borobudur, Prambanan, itu benda, monumen atau alam. Tapi selain hal bendawi, UNESCO juga mendaftar warisan budaya tak benda. Yang perlu dimengerti, warisan budaya tak benda itu bukan paten. Jadi deklarasi UNESCO untuk warisan budaya tak benda itu bukan seperti hak paten. Warisan budaya tak benda UNESCO itu juga bukan berarti klaim asal-usul.
Jadi bukan berarti kalau asal usulnya dari Indonesia, negara lain tidak boleh klaim. Yang penting bagi UNESCO, budaya itu hidup di satu tempat untuk paling sedikit satu generasi. Jadi bisa dibayangkan misalnya, kalau orang Minang atau orang lain datang ke Malaysia lalu membawa budaya songketnya atau rendang, dan budaya itu kemudian menjadi hidup di sana. Jadi status warisan budaya tak benda itu bukan paten, atau klaim asal-usul. Kalau kata orang UNESCO, untuk menjadi seorang budhis, Anda tidak perlu berasal dari Nepal. Jadi untuk mempraktekkan songket misalnya, ya memang tidak harus orang dari Palembang. Jadi jangan kita salah kaprah, kalau ada orang lain yang mau mendaftarkan warisan budaya tak benda ke UNESCO, lalu kita bilang mencuri budaya, pengertian itu di UNESCO tidak ada. Kalau memang budaya itu hidup di suatu tempat, bisa didaftarkan ke UNESCO.
Kalau warisan budaya tak benda, dari Indonesia sudah terdaftar 12 di UNESCO, mulai dari wayang, keris, batik, angklung, sampai noken dari Papua. Pekerjaan rumah kita sekarang, setelah terdaftar di sana, apa yang kita lakukan selanjutnya. Itulah tugas kita, bagaimana menjaga dan mewariskan budaya tak benda kita yang begitu beragam dari satu generasi ke generasi berikutnya.
(hp/pkp)