WHO Kebut Pengembangan Standar Kartu Vaksinasi COVID-19
28 Januari 2021Saat Integrity Mchechesi mengunjungi sebuah terminal bus di ibu kota Zimbabwe, Harare, ia melihat banyak sekali orang yang berteriak menawarkan sertifikat tes COVID-19 negatif bagi yang membutuhkan. Menurutnya, sertifikat tes COVID-19 palsu tersebut dapat dibeli hanya dengan membayar US$ 10 (sekitar Rp 140 ribu), lebih murah sekitar US$ 50 (Rp 700 ribu) dari tes COVID-19 yang sebenarnya.
Mchechesi adalah seorang dokter yang juga merupakan pendiri Vaxiglobal, sebuah start-up teknologi kesehatan yang berfokus pada verifikasi imunisasi di Zimbabwe.
Mchechesi mengaku memiliki kekhawatiran yang sama terhadap vaksin. Ia khawatir, saat vaksin COVID-19 diluncurkan di Zimbabwe, sertifikat vaksinasi palsu juga akan muncul di pasaran.
Zimbabwe adalah satu dari sejumlah negara yang saat ini tengah mengembangkan solusi digital guna memverifikasi siapa saja yang sudah mendapatkan vaksin COVID-19. Negara-negara seperti Denmark, Spanyol, dan Yunani telah mendukung gagasan terkait paspor vaksinasi COVID-19, sementara Badan Kesehatan Dunia (WHO) saat ini tengah mengerjakan kartu vaksinasi digital internasional yang akan memberikan standar kerangka kerja untuk dipatuhi oleh negara-negara di dunia.
Saat berada di terminal bus di Harare, Mchechesi mengaku sedang meneliti sertifikat vaksinasi yang dipalsukan. Dalam salah satu surveinya, Vaxiglobal, perusahaan start-up yang ia pimpin menemukan bahwa lebih dari 80% sertifikat vaksinasi untuk penyakit demam kuning yang digunakan di beberapa terminal bus di Harare adalah palsu.
“Kami rasa ini benar-benar mengkhawatirkan,” kata Mchechesi. “Ini seperti tidak ada kebijakan yang dilakukan, semuanya benar-benar dijual secara bebas,” tambahnya.
Vaxiglobal alihkan fokus ke COVID-19
Kini Vaxiglobal telah mengalihkan fokus kerjanya untuk memverifikasi sertifikat tes COVID-19. Organisasi ini bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Zimbabwe untuk mendigitalisasi hasil tes COVID-19 guna memerangi penjualan sertifikat palsu.
Cara kerjanya adalah petugas kesehatan memasukkan hasil tes PCR COVID-19 ke dalam sebuah basis data terdesentralisasi di platform Vaxiglobal. Kemudian saat hasil tes berhasil diunggah, akan muncul sebuah kode QR unik yang sudah terlampir ke sebuah sertifikat yang dapat dicetak ataupun disimpan di aplikasi Vaxiglobal. Jika orang tersebut bepergian, maka otoritas perbatasan akan dapat langsung memverifikasi sertifikat tersebut.
“Anda bisa bayangkan, ada orang yang sebenarnya positif COVID-19 tapi mereka tidak menjalani tes, mereka cukup membeli sertifikat COVID-19 palsu dan petugas perbatasan percaya bahwa mereka negatif COVID-19. Begitulah kasus-kasus COVID-19 ditularkan secara internasional,” kata Mchechesi.
Mchechesi mengatakan bahwa jumlah sertifikat tes COVID-19 palsu memang belum terlalu tinggi, mengingat ada beberapa regulasi dan juga warga yang khawatir akan kesehatannya. Namun, sertifikat palsu tersebut masih tetap ada dan tersedia. “Bisa dibayangkan orang jelas tergoda untuk membelinya karena harganya jauh lebih murah,” ujarnya.
Mchechesi mengatakan biaya tes PCR COVID-19 di Zimbabwe berkisar antara US$ 45 (Rp 630 ribu) dan US$ 60 (Rp 840 ribu). Zimambwe adalah negara di mana 34% populasinya hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem dengan pendapatan US$ 1,90 (sekitar Rp 26 ribu) per hari pada 2019, demikian menurut Bank Dunia.
WHO akan tetapkan standar untuk dokumen vaksinasi
Sejauh ini, demam kuning adalah satu-satunya penyakit yang ditentukan dalam Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang memerlukan bukti vaksinasi untuk masuk ke beberapa negara. Sertifikat vaksinasi demam kuning ini juga merupakan satu-satunya bukti vaksinasi yang disertifikasi di bawah IHR.
Vaksinasi COVID-19 belum menjadi bagian dari IHR, tetapi suatu negara dapat membuat sebuah keputusan unilateral. Beberapa negara sudah mewajibkan tes COVID-19 negatif untuk bisa masuk ke negaranya, dan tahap selanjutnya mungkin akan membutuhkan bukti vaksinasi, kata Bernardo Mariano, direktur inovasi kesehatan digital WHO kepada DW.
Agar sertifikat vaksinasi COVID-19 menjadi wajib untuk perjalanan ke seluruh dunia, maka hal itu harus menjadi bagian dari IHR, dan proses itu akan memakan waktu lama, kata Mariano. Tapi ada jalan lain.
Salah satu contoh inisiatifnya adalah aplikasi bernama CommonPass, sebuah kerangka kerja digital untuk memverifikasi tes COVID-19 sekaligus sertifikat vaksinasi. Beberapa maskapai penerbangan telah meluncurkan aplikasi tersebut untuk penumpang pada penerbangan tertentu.
Mariano mengaku bahwa sejumlah organisasi telah mendekati WHO dengan membawa solusi masing-masing. Namun, ia menegaskan bahwa peran WHO adalah menetapkan standar untuk sertifikat.
“Kami yakin pembahasan [bukti vaksinasi] sedang berlangsung saat ini, dan ada sejumlah perusahaan yang melakukan pengembangan dan berinovasi terkait hal ini,” ujarnya. “Dan kami ingin terlibat dalam diskusi tersebut guna menetapkan standar sejak dini,” tambahnya.
Mariano mengatakan visi WHO terkait dokumen vaksinasi kurang lebih akan mirip seperti penggunaan kartu bank berlogo Visa. Bahwa kartu tersebut berasal dari bank yang berbeda-beda namun dioperasikan dengan sistem pembayaran yang sama yaitu Visa.
“Anda memiliki ekosistem terpercaya di mana ratusan ribu bank dan jutaan pedagang di berbagai negara dapat bertransaksi dalam sebuah sistem yang terpercaya,” kata Mariano. “Pada dasarnya, WHO adalah sebuah entitas terpercaya yang dapat memvalidasi sertifikat [vaksinasi] itu, tetapi kemudian kami ingin memastikan bahwa kami tidak terlibat dalam bisnis pembuatan aplikasi dan perangkat lunak,” tambahnya.
Dengan begitu, perusahaan yang tengah mengembangkan solusi digital terkait hal ini dapat melanjutkan pekerjaannya dan menjualnya kepada pemerintah.
Jika semua berjalan sesuai rencana, WHO akan mengembangkan dan menetapkan standar sertifikat vaksinasi dan menangani masalah privasi data pada akhir Maret, dengan standar yang siap diterapkan pada awal April.
Perdebatan tentang perlunya vaksinasi untuk perjalanan
Dalam sebuah surat kepada Komisi Eropa pada 12 Januari lalu, Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis menyarankan agar Eropa menyiapkan semacam sertifikat umum bagi orang-orang yang mendapatkan vaksinasi COVID-19.
Vaksinasi tidak menjadi syarat untuk bepergian, tetapi orang yang telah divaksinasi harus bebas bepergian, tulis Mitsotakis. “Sangat penting untuk mengadopsi pemahaman bersama tentang bagaimana sertifikat vaksinasi harus disusun agar dapat diterima di semua negara anggota.”
Pada tanggal 15 Januari lalu, Komite Darurat WHO merekomendasikan bahwa negara-negara tidak memerlukan bukti vaksinasi dari pelancong yang datang, mengingat efek vaksin terhadap pengurangan penularan masih belum diketahui ditambah terbatasnya jumlah vaksin yang tersedia.
Suatu negara dapat memutuskan untuk membuat vaksinasi sebagai persyaratan untuk masuk ke negaranya, tetapi akan sulit untuk memverifikasi tanpa standar yang diakui secara internasional.
“Tantangannya adalah, jika tidak ada entitas yang menetapkan standar tentang arti vaksin itu, maka satya akan dengan mudah datang membawa secarik kertas dan berkata: ‘Saya sudah divaksin,’” ujar Mariano.
Di sisi lain, Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (WTTC), yang menentang persyaratan vaksinasi untuk perjalanan, mengatakan bahwa dengan menjadikan sertifikat vaksinasi sebagai syarat maka akan menghambat kebangkitan sektor perjalanan dan pariwisata yang sejatinya sudah terpuruk.
gtp/rap