WNI Lewati Perang di Sudan: "Hanya Bisa Pasrah"
19 Mei 2023Rahmatullah Hidayat adalah salah seorang warga negara Indonesia yang terjebak di tengah pertempuran di Sudan, dan akhirnya dikembalikan ke tanah air, setelah melewati perjalanan yang sangat panjang.
"Pada tanggal 15 April itu, waktu ramadan di Sudan, itu tiba-tiba saja ada serangan ke ibu kota Khartoum, yang mereka juga mengincar titik-titik lain selain ibu kota Khartoum, (seperti) bandara-bandara, mereka mengincar markas-markas militer. Ada salah satu markas militer itu yang terletak di depan kampus mahasiswa International University of Africa, tempat saya berada saat itu. Di situ depannya ada markas militer. Dan terjadi baku tembak di situ. Mereka menggunakan senjata-senjata berat AK47," demikian Rahmatullah mengisahakan hari demi harinya bersama kawan-kawan yang terjebak di tenah pertempuran antara paramiliter dan militer pemerintah Sudan.
Pertempuran di ibu kota Khartoum pecah pada 15 April antara pasukan yang setia kepada panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan wakilnya. Mereka adalah saingan Mohamed Hamdan Daglo, atau lebih dikenal dengan sebutan Hemeti, yang memimpin pasukan paramiliter yang kuat yakni Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
"Awalnya adem-ayem, melaksanakan ramadan, melaksanakan puasa, tiba-tiba dikejutkan dengan suara rentetan tembakan, kemudian suara ledakan-ledakan. Siapa yang tidak kaget, kita kaget semua. Otomatis kita disuruh berlindung di asrama masing-masing, di kamar masing-masing, dan tidak boleh ada yang keluar," ungkap pria yang baru saja lulus sarjana di universitas Sudan itu lebih lanjut. Malam demi malam dilewatinya tanpa bisa tidur nyenyak.
"Ketika malam hari itu sering sekali, entah dari pesawat atau dari artileri berat yang ditembakkan di sekitar markas paramiliter di dekat asrama. Jadi kita yang di asrama itu sering kali mendengar dentuman-dentuman yang menggetarkan tembok-tembok. Jadi, kita yang sedang tidur, tiba-tiba ada dentuman "Dum-dum”, kita langsung turun, yang punya ranjang tingkat itu, kita langsung turun ke bawah, meringkuk di kolong atau kita disuruh turun," beber pria asal Bima Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Ia tinggal di Sudan sejak tahun 2018. Setahun setelahnya ia merasakan gejolak revolusi, "Jadi, awalnya biasa saja seperti, "ini mungkin sebentar lagi akan berlalu”. Tapi lama-kelamaan tambah parah, lama-lama juga tambah khawatir. Karena stok makanan juga menipis, apa-apa menipis, pulsa susah di dapat, dan mungkin sulit menghubungi keluarga di Indonesia. Dan kalau kita mendengar, setiap kali mendengar suara dentuman-dentuman ledakan itu, kita pasrah ya," kata Rahmatullah kepada DW.
"Di ibu kota Khartoum itu tidak ada tempat yang aman dari ledakan, jadi kita pasrah saja. Kalau ledakannya salah arah atau apa, sudah pasrah saja. Lagi tidur tiba-tiba meledak, sudah pasrah saja," ujarnya lirih.
Beranjak tidak kondusif
Dulu tahun 2018, menurutnya situasi di Sudan masih relatif aman. Ketika Kementerian Agama mengadakan tes kepada calon mahasiswa untuk studi ke Sudan, Maroko dan Mesir, Rahmatullah memilih Sudan, karena peserta tesnya yang paling sedikit. "Alhamdulillah keterima di Sudan. Saat itu tidak ada sama sekali krisis-krisis seperti itu, tidak ada perbincangan revolusi dan lain sebagainya. Yang ada mungkin hanya panas matahari menyengat, kemudian mungkin beda budaya." Namun akhirnya krisis memuncak di tahun 2023.
Di tengah krisis sempat terjadi gencatan senjata. Momen itulah yang dimanfaatkan untuk melarikan diri dari arena perang. "Awalnya 7 hari, kemudian diperpanjang menjadi 10 hari. Alhamdulillah dari situ, kami warga-warga asing, kemudian selain warga Indonesia juga ada Amerika, Saudi, dan sebagainya, memanfaatkan gencatan senjata tersebut untuk keluar dari Sudan," ujar Rahmatullah. Ia dan kawan-kawannya senasib menggunakan bus untuk menuju Port Sudan.
Rute untuk pulang
"Rutenya itu berbeda dengan rute perjalanan biasa kalau tidak perang. Kalau tidak perang, kita bisa lewat kota-kota. Karena ini kondisinya perang, jadi busnya itu melewati pegunungan-pegunungan dan juga jalannya itu rusak. Jalannya rusak, kita bisa bilang begitu. Dan itu juga perjalanan di malam hari yang mana mungkin sopirnya sudah lelah, sudah letih, dan berakibatkan dengan kecelakaan satu bus. Banyak diisi oleh TKW busnya itu, TKW dan TKI. Dan ada tiga korban luka-luka. Kabarnya yang terluka sekarang meninggal satu di rumah sakit Port Sudan,” tutur Rahmatullah.
Kini ia merasa bersyukur sudah bisa kembali ke tanah air, meskipun banyak barang-barangnya termasuk ijazah kelulusan yang tertinggal di negeri yang didera konflik itu. Ke depan ia ingin melanjutkan studinya. "Nantinya saya Ingin melanjutkan S2, di mana pun tempatnya. Tapi masih terkendala oleh ijazah S1 dan ijazah SMA saya yang masih dipegang oleh pihak kampus. Itu mungkin karena kita tidak sempat mengambil dan juga sekarang belum bisa untuk mengambil karena masih rusuh di sana. Jadi, salah satunya jalan ya bersabar dan juga menunggu. Mungkin kemarin ada info untuk mengeluarkan surat pengganti ijazah, sehingga kami bisa mendaftar di kampus-kampus dengan surat pengganti ijazah tersebut. Entah di kampus dalam negeri atau luar negeri, untuk mencari beasiswa," demikian mimpinya.
"Dan kalau bisa mengambil barang-barang saya yang tertinggal di Sudan," pungkas Rahmatullah.
Selama sebulan lebih sejak meletusnya perang di Sudan, tercatat sudah ratusan korban meninggal dunia, lebih dari 5.000 orang mengalami luka-luka dan sekitar satu juta penduduk terpaksa mengungsi.