Yayasan George Anawati: Dialog Konstruktif antar Agama
13 Maret 2009Di Jerman terdapat sebuah yayasan yang mendorong dialog antara Kristen dan Islam. Tidak seperti yayasan yang lain, Yayasan George-Anawati memprioritaskan proyek-proyek kecil namun efektif dan inovatif. Dialog tidak harus berlangsung di universitas, melainkan juga dalam kehidupan keseharian, begitu moto yayasan yang mengambil nama seorang pendeta Mesir itu.
Dia Eddin Hassanein adalah seorang guru agama Islam. Biasanya ayah yang kini genap berusia 37 tahun itu mengajar di sekolah menengah atas Protestan di Kairo, sebuah sekolah dengan murid yang beragam budaya dan agamanya. Namun saat in Hassanein jauh dari ruang kelas tempat ia biasa mengajar, yakni di Hamburg. Selama hampir tiga tahun, Hassanein bekerja dengan kamera, alat perekam dan buku catatan. Ia mengunjungi kegiatan belajar mengajar agama Islam di sejumlah sekolah untuk meneliti apa yang disebut sebagai Model Hamburg.
Konsep Yang Dapat Menjadi Model
Konsep yang diterapkan di Hamburg itu cukup unik. Murid tidak dibagi-bagi berdasarkan keyakinannya, melainkan mendapatkan pengetahuan umum tentang Agama dan Etika. Hassanein menilai pendekatan semacam itu cocok untuk dipraktikan di Mesir, di mana meskipun terdapat 90 persen Muslim, masih menyisakan 10 persen warga Kristen. Memang di sekolah tempat Hassanein bekerja sudah ada pelajaran yang mengajarkan semua jenis agama dan aliran kepercayaan. Namun sayangnya konsep semacam itu sulit dipraktikan di tempat-tempat lain di Mesir.
Dengan hasil penelitiannya, Hassanein ingin menciptakan sebuah model pelajaran interreligi, yang diharapkannya suatu hari nanti juga dapat dipraktikkan di sekolah-sekolah yang lain di Mesir. Kegiatan Hassanein di Hamburg selama ini dibiayai oleh Yayasan Georges Anawati. Inisiatif yang dibentuk di kota Arnsberg sembilan tahun lalu itu diprakarsai oleh perwakilan dari berbagai agama, diantaranya Katholik, Kristen, dan Islam.
Saling Bertemu dan Tukar Pengalaman
Yayasan Georges Anawati kebanyakan mendanai proyek-proyek kecil namun inovatif. Dalam tema sosial politik, yayasan ini malah jauh meninggalkan kebanyakan institusi lainnya di Jerman. Misalnya saja, Anggaran Dasar Yayasan George Anawati jelas menyebut Jerman sebagai negara imigran dan menolak pembakuan Islam sebagai musuh kebudayaan Barat.
Direktur yayasan, Gregor von Fürstenberg, menjelaskan sasaran yang ingin dicapai. "Kami menginginkan sebanyak-banyaknya pertukaran, sehingga orang dapat saling bertemu dan bertukar pengalaman yang bakal berpengaruh positif. Baik kita warga Nasrani harus mau bergerak, juga warga Muslim harus ikut bergerak. Karena jika di satu pihak mencurigai semua muslim baik di Jerman maupun di seluruh dunia, semua ini tidak akan ada artinya. Juga di pihak yang lain sama saja jika menyamaratakan ideologi semua muslim di Jerman atau di dunia."
Merubah Gambaran Islam di Barat
Yayasan Georges Anawati lebih memilih proyek-proyek kecil yang memiliki dampak besar di masyarakat. Bantuan beasiswa untuk proyek dialog akademis yang inovatif menjadi prioritas yayasan. George Anwati juga mendorong berbagai proyek kecil seperti pendidikan buat ustadz atau pengajar agama Islam, dan juga pameran yang bersifat akademis tentang kehidupan perempuan Muslim di Jerman. Selain itu yayasan ini juga berniat membuka akses sebesar-besarnya bagi warga Jerman untuk mengenal model pemikiran modern dalam Islam. Untuk itu George Anawati mendanai proyek penulisan buku ilmiah yang diterbitkan oleh penerbit Herder.
Setelah diterbitkannya dua jilid buku tentang Kode Etik kedokteran dalam Islam dan tentang tafsir modern Al-Quran di Turki, kini Yayasan George Anawati sedang meniyapkan penerbitan satu jilid buku lagi, kali ini tentang interperetasi Quran secara historis-kritis yang ditulis oleh pemikir reformis Mesir Naser Abu Zeid.
"Yang terpenting adalah mengikis rasa takut antara satu sama lain. Dan itu cuma bisa dicapai jika mereka saling mengenal. Itu bisa dilakukan dalam fase yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu adalah model pendekatan yang coba dilakukan oleh yayasan, yaitu dengan mengenal lebih baik satu sama lain, dan membaca tentang satu sama lain." Terang Georg von Fürstenberg.
Mendorong Dialog antara Kristen dan Islam
Nama Yayasan Anawati diambil dari seorang akademis, yang secara historis memainkan peranan penting, namun di lingkup yayasan kurang dikenal. Lahir pada tahun 1905, Georges Anawati yang keturunan Suriah menempuh studi di bidang Farmasi. Setelah beberapa tahun membuka praktik, Anawati yang kala itu berusia 29 tahun meninggalkan profesinya dan menjadi anggota biara ordo dominikan. Setelah dilantik sebagai pendeta pada tahun 1939, Anawati melanjutkan studinya di bidang sastra Arab klasik. Pertengahan tahun 1940 Anawati diangkat menjadi Direktur Institut Dominikan untuk Studi Oriental di Kairo, yang mendorong dialog antara Kristen dan Islam. Selama hidupnya, Anawati telah menerbitkan 250 buku dan berbagai tulisan, mulai dari Ilmu Pengetahuan sampai soal Mistik dalam Islam.
George von Fürstenberg menceritakan lebih lanjut: "Dia pernah memimpin IDEO, yaitu sebuah institut milik kelompok dominikaner di Kairo, yang mendorong dialog Kristen dan Islam serta studi oriental. Dan mereka memiliki banyak pengalaman dengan berbagai dewan kepausan. Dan jika konsili gereja kedua memiliki penghormatan terhadap kaum Muslim dan manusia-manusia yang percaya terhadap Allah, terhadap pencipta langit dan bumi. Dan itu adalah sikap yang sebelumnya telah dituntut oleh Anawati."
Pada tahun 2010 yayasan berencana menerbitkan biografi George Anwati dalam Bahasa Jerman. Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana pernanan George Anawati dalam mendorong gereja Katolik pada dekade 60-an untuk membuka diri terhadap dialog dengan Islam. Buat Dia Hassanein, pengaruh Anawati yang sangat besar pada awalnya merupakan kejutan. Namun kini ia menganggap, George Anawati sebagai tokoh yang pantas dijadikan panutan baik oleh warga Kristen maupun Islam. (rzn)