YLBHI : Indonesia Gagal Memahami Konsep Demokrasi
15 Mei 2019DW : YLBHI baru saja mengeluarkan rilis resmi yang menyatakan ada sebelas kebijakan pemerintah yang berpotensi meruntuhkan demokrasi Indonesia. Apa yang mendorong YLBHI menyatakan demikian?
Jadi kami melihat ini pertama satu-satu, Perppu Ormas paling awal dan itu agak prinsip karena ormas bisa dibubarkan tanpa melalui proses hokum, proses peradilan, dan itu, persis di situ, makna dari negara hukum. Kemudian tidak berhenti, semakin terus-menerus dan kami khawatir ini tanda-tanda pemerintahan akan kembali kepada Orde Baru. Tentu saja orang banyak kaget ketika kami mengungkapkan ini, tapi jangan membadingkan orde baru pada tahun ke-32 dengan sekarang. Kita harus melihat awal-awal orde baru dengan sekarang. Ini baru berjalan sekitar lima tahun.
Menurut saya, ini akibat kalau kita melibatkan jenderal-jenderal lama yang punya rekam jejak melanggar HAM, dan kita tahu ada sebuah doktrin illustration dalam hukum internasional, bahwa orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, harusnya tidak diberikan tempat di politik nasional karena mereka tahunya menjalankan negara seperti ini, menyelesaikan persoalan tidak dalam kondisi demokrastis.
Banyak pihak diduga mencoba melemahkan pemerintahan saat ini. Apakah atmosfer tersebut mendukung lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut?
Pasti itu alasan dari pemerintah, tetapi sebetulnya, kalau kita lihat, menurut kami dari data-data, ada data-data lainnya yang dibaca. Misalnya Perppu Ormas, pemerintah mengatakan ini untuk HTI, untuk kelompok intoleran, dan lain-lain, tetapi di situ dimasukkan penodaan agama, dan penodaan agama persis yang dipakai kelompok intoleran untuk menyerang kelompok minoritas, keagamaan, atau keyakinan. Dan kelompok minoritas ada banyak sekali yang dikriminalisasi dengan peraturan agama.
Perppu Ormas ini memasukkan kembali penodaan agama, menambahkan kata penistaan agama, dan menambahkan hukumannya menjadi 20 tahun atau seumur hidup, padahal tadinya hanya lima tahun. Sulit bagi YLBHI percaya dengan alasan itu.
Kedua, pemerintah memiliki aparat agama kalau memang ada orang yang memiliki kesalahan ditangkap saja, diproses, tapi jangan diberikan pasal-pasal melebihi yang dilakukan, itu tidak proporsional. Dan jangan orang yang sedang melaksanakan fungsi kritik, atau menjalankan kebebasan berbicaranya meskipun itu bertolak belakang dengan pemerintah, kemudian dikriminalkan.
Bisa dikatakan kebijakan-kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah dalam merangkul semua golongan, kaum minoritas juga. Apalagi karena berkembangnya ide khilafah. Tanggapan Anda?
Sebetulnya ini desakkan LBH-LBH sejak 2005 kepada negara untuk melindungi kaum minoritas, tetapi tindakannya juga harus proporsional. Misalnya kalau ini untuk minoritas, kenapa pengungsi Ahmadiyah di Lombok tetap jadi pengungsi? Kenapa pengungsi di Sampang, Jawa Timur tetap menjadi pengungsi? Kenapa Ahmadiyah diserang di sana-sini? Dan memang sudah banyak yang dihukum.
Lebih baik saat ini, sudah mulai makin baik, tapi banyak juga yang dilepaskan. Kenapa pasal penodaan agama ditambah, makanya buat kami yang menangani kasus-kasus penodaan agama sejak tahun 2005 sulit untuk percaya kalau alasannya itu. Karena justru kelompok korban disuruh menunggu, ini untuk kepentingan politik.
Apakah kita mengalami kegagalan dalam memahami konsep demokrasi?
Betul sekali. Dan menurut saya bukan hanya kegagalan, tapi tidak ada. Kalau dalam konsep HAM, ada tidak mau dan tidak mampu. Nah kalau ini konteksnya tidak mau, menurut saya karena karakter pejabat-pejabat publik yang ada di pemerintahan ini, sudah biasa menjalankan cara-cara yang otoriter di masa lalu. Jadi sulit buat mereka, mereka tidak pernah menjalankan dengan cara lain.
Misalnya begini, ada kasus-kasus hate speech yang menimpa kelompok minoritas rakyat biasa, itu jarang sekali diproses hokum. Bahkan yang sudah melanggar UU 40 tahun 2008 tentang diskriminasi rasial atau etnis, tidak diproses. Tapi begitu pernyataannya untuk polisi, kapolri misalnya, atau untuk presiden, kemudian meski tidak sebanding dengan yang menimpa masyarakat biasa, diproses! Itu artinya esensi penegakan hukumnya tidak ada, jangan sampai hukum dan penegakan hukum dipakai untuk menyingkirkan lawan politik, kecuali lawan politik yang sudah melakukan kekerasan.
Lalu pembentukan tim asistensi hukum dinilai sebagai usaha penegakkan hokum. Menurut Anda?
Ini satu dari sebelas hal yang akan merusak demokrasi. Ini semacam lembaga sensor pada masa lalu. Pertanyaannya untuk apa sih tim ini ada? Apakah karena tim ini ada penegakan hukum tidak bisa berjalan? Pasti berjalan karena pasalnya ada. Jadi untuk apa? Saya membayangkan seorang polisi di polres atau di polda, sekalipun mendapatkan rekomendasi dari tim bentukan Menkopolhukam, dia berani tidak menolak? Tidak mungkin. Kemudian esensi penegakan hukumnya itu bagaimana? Terus kalau polisi, saat menetapkan orang sebagai tersangka, dia bisa dipraperadilankan. Kalau tim asistensi ini bagaimana bisa meminta due process of law nya? Padahal dia mempengaruhi nasib orang, menjadi tersangka atau tidak.
Tim ini dibuat salah satunya sebagai langkah antisipasi dugaan makar. Apakah ancaman makar itu memang nyata adanya?
Ini karena Indonesia tidak pernah menerjemahkan hukum pidana Belanda yang kemudian diambil jadi KUHP itu. Jadi kalau kita lihat itu kitab undang-undang hukum pidana, itu terjemahannya beda. Ada yang menerjemahkan, misalnya pasal 284 itu sebagai zina, padahal itu artinya sangat berbeda, demikan juga dengan makar. Asal katanya ‘anslah’ itu artinya serangan, tapi kalau dikatakan percobaan serangan, memang harusnya juga bisa dipidana secara umum.
Tapi apa yang dimaksud dengan percobaan itu, kalau orang membeli pisau, itu namanya dia mau mencoba membunuh orang? Ga bisa kayak gitu. Itu sangat berbahaya. Apalagi omongan, apakah orang ngomong itu sudah sebuah serangan? Tentu tidak. Kalau lalu omongannya itu dianggap keterlaluan atau masuk dalam pasal-pasal pidana, ya diproses dengan pasal itu.
Misalnya hate speech. Ada 165 KUHP, jangan ada orang melakukan siar kebencian dianggap makar. Itu penegakan hukum yang salah sama sekali. Karena kita harus ingat, makar ini bukan hanya menimpa lawan politik Jokowi tapi juga menimpa banyak sekali teman-teman Papua atau orang yang berdemonstrasi soal pelanggaran HAM di Papua. Ada juga klien LBH, minoritas keagamaan, ex Gafatar, dituntut makar, dan akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Tapi dia sudah mengalami kerugian dalam stigmatisasi sebagai orang yang mau makar.
Tanggapan Anda terkait militer masuk kembali ke pemerintahan?
Jadi begini, memang kita lihat kebijakan-kebijakan ini punya karakter yang sama yaitu pendekatannya keamanan dan anti kritik pada akhirnya. Kalau soal tentara memang dia belum masuk ke wilayah politik seperti dulu, dwifungsi , tapi dengan memasukkan tentara ke fungsi-fungsi sipil, itu menunjukkan demokrasi yang runtuh. Kita masih ingat TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 di bagian pertimbangannya menyebutkan bahwa demokrasi sudah rusak karena dwifungsi ABRI, itu kata negara, ini tiba-tiba pemerintah lupa dengan itu dan Undang-Undang Dasar menyebutkan militer itu untuk menjaga pertahanan bukan untuk yang lain-lain. Maka itu YLBHI khawatir ini kok Undang-Undang Dasar di-bypass, Undang-undang dicuekin, mau kemana kita?
Apakah kita berjalan ke arah Orde Baru Zaman Now?
Ya kami sudah lama bilang ini neo-orba. Semoga tidak bertambah banyak, tapi kok terus-terusan. Misalnya, kemarin ramai para peneliti marah, dicabut soal surat izin keterangan penelitian yang ada dirilis YLBHI. Ini kan sensor. Ini persis seperti orde baru, orang penelitian dihambat. Padahal yang namanya penelitian, namanya exercise ilmu, bagaimana bisa dihambat. Kalau dia salah dalam membawa manfaat bagi peradaban, ada yang akan membantah dia dan dari bantahan dia kita jadi tahu, “Oh ya penelitian ini salah”.
Rekomendasi apa yang bisa diberikan YLBHI kepada pemerintah?
Pertama memang sebelum terlambat hentikan kebijakan-kebijakan yang menakut-nakuti rakyat dengan pendekatan yang represif dan bertentangan dengan hukum yang ada. Dan jangan dibuat lagi kedepannya, penegakkan hukum harus sesuai dengan hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan yang paling terakhir, kita harus mengeluarkan orang-orang yang punya rekam jejak pelanggar HAM di pemerintahan karena sedikit atau banyak, pasti mereka akan mempengaruhi kebijakan itu walaupun tetap saja presiden yang paling bertanggung jawab dari segi formal.
Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra.
Asfinawati adalah Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Persoalan bantuan hukum terkait erat dengan kemiskinan struktural yang terjadi di Indonesia, kemiskinan struktural membuat rakyat tidak mampu untuk mengakses keadilan (bantuan hukum), berpijak dari kondisi tersebut YLBHI LBH hadir untuk memberikan bantuan hukum dan memperjuangkan hak rakyat miskin, buta hukum dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). (rap/ml)