Keluarga Korban Tragedi 1998 Masih Mencari Keadilan
23 Mei 2018Sekitar 1.200 orang tewas di ibukota, sebagian besar terjebak di gedung yang terbakar, saat massa mengamuk di jalan-jalan dan toko-toko yang diserang saat masa krisis pada Mei 1998.
Kerusuhan itu mendahului pengunduran diri mantan presiden Soeharto , 21 Mei 1998, yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Anak laki-laki Sanu yang berusia 16 tahun, Stevanus, diyakini meninggal dunia di sebuah mal Jakarta yang dibakar, meski jenazahnya tidak teridentifikasi.
"Dia h bermain sepak bola di sebuah masjid di dekatnya. Saya pergi di sana, tapi itu kosong. Temannya memberi tahu saya bahwa dia telah pergi ke Mal Yogya Plaza," kata Maria Sanu, yang berusia 70 tahun, merujuk ke mal di mana beberapa ratus orang diyakini telah terbakar hidup-hidup pada saat kerusuhan Mei 1998.
Ada sesuatu yang hilang
"Saya merasa hampa dan ada sesuatu yang hilang. Saya ingin kasus kematiannya yang tidak wajar diungkap, " tandasnya.
Kala itu para mahasiswa yang memimpin aksi protes juga menjadi sasaran, dengan sebagian di antaranya ditembak atau diculik. Banyak korban tewas berasal dari etnis Cina.
Sanu mengatakan dia dan beberapa korban huru-hara lainnya belum menerima kompensasi atau dukungan yang cukup dari tragedi itu.
Tim pencari fakta independen yang dibentuk untuk menyelidiki kerusuhan menemukan bahwa 85 perempuan yang sebagian besar beretnis Cina telah mengalami kekerasan seksual saat tragedi itu terjadi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) mengatakan pengaduan atas aksi kekerasan bolak-balik dikembalikan karena dianggap tidak lengkap. "File laporan penyalahgunaan hak asasi manusia kami telah dikembalikan oleh Kejaksaan Agung lebih dari lima kali, "kata Beka Ulung Hapsara dari Komnas HAM.
Jaleswari Pramodhawardani, seorang pejabat di kepala kantor staf kepresidenan mengatakan , pemerintahan pasca-1998 telah berusaha untuk membantu korban tetapi kadang-kadang hanya bersifat ad hoc. Saat ini pemerintah berusaha memadukan tanggapan dari pihak-pihak terkait. Dia mengatakan beberapa kompensasi telah dibayarkan, sedangkan pemerintah bekerja dengan Komnas HAM untuk menyelesaikan pelanggaran hak-hak korban di masa lalu.
Mencari keadilan
Aksi "Kamisan" dimulai pada tahun 2007dan sebagian terinspirasi oleh Ibu-ibu Plaza de Mayo, sekelompok wanita menuntut keadilan atas hilangnya anak-anak mereka selama kediktatoran militer Argentina.
Anggota Kamisan mengenakan kemeja hitam dan memegang paying warna hitam payung dalam apa yang mereka katakan melambangkan persistensi.
Pensiunan pegawai negeri sipil Maria Catarina Sumarsih merasa Presiden Joko Widodo, yang akan mencalonkan diri kembali dalam pemilu mendatang, telah gagal membuat kemajuan dalam masalah pelanggaran HAM.
"Selama kampanye kepresidenannya, dia berkomitmen untuk menghapus kekebalan hukum dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia,"kata Sumarsih, yang putranya ditembak mati pada akhir 1998 saat membantu mahasiswa lain yang terluka saat terjadi bentrokan dengan pasukan keamanan.
(ap/rtr)