Afghanistan dalam Bidikan Negara Tetangga
16 Juni 2021Bersamaan dengan hengkangnya koalisi pimpinan Amerika Serikat, Afghanistan mengukuhkan reputasinya sebagai kuburan bagi imperium dunia.
Sejarah negeri di jantung Hindukush itu dipenuhi invasi kekuatan asing, mulai dari Aleksander Agung, Kekhalifahan Rasyidin, Jengis Khan hingga Uni Soviet, dan selalu berada di bawah radar adidaya dunia, dulu hingga sekarang.
Afghanistan adalah negeri multietnis yang bertetangga dengan Iran di barat, Pakistan dan India di timur, Cina di timur laut, serta kawasan kaya gas di Asia Tengah yang membentang hingga ke Rusia.
Bagi para jiran itu, negeri yang carut marut oleh perang ini memiliki nilai politik penting, meski untuk alasan yang berbeda-beda. Sebabnya penarikan mundur pasukan AS menciptakan kevakuman yang membuka pintu bagi masuknya pengaruh asing.
Thomas Ruttig dari Afghan Analyst Network, meyakini situasi di Afghanistan belum akan mereda dalam waktu dekat. "Kepentingan masing-masing negara tetangga saling bertentangan antara satu sama lain,” kata dia kepada DW.
Dalam banyak kasus, "percekcokan dan ketegangan bilateral atau multilateral antar jiran diselesaikan di medan Afghanistan,” imbuhnya.
India versus Pakistan
Fenomena ini bisa disimak pada hubungan segitiga dengan jiran di timur. Ketika India deras mendukung pemerintah di Kabul, Taliban merupakan "kartu politik terbaik bagi Pakistan di Afghanistan,” kata Ruttig.
Islamabad melihat Afghanistan sebagai halaman belakang. Kedua negara tidak hanya terikat oleh kebudayaan, melainkan juga ruang hidup geografis yang sama. "Hal ini kerap menghasilkan ketegangan diplomatis dengan pemerintah di Kabul,” tuturnya.
Saat ini AS sedang mempertimbangkan untuk memindahkan pangkalan militernya ke Pakistan. "Hal ini sedang diperdebatkan secara intensif di Washington,” kata Andrew Watkins, analis International Crisis Group.
Menurutnya, Pentagon ingin "mempertahankan kapasitas serangan drone dan serangan udara” di kawasan. Meski dibantah, Mei silam Taliban mewanti-wanti Islamabad agar tidak menampung militer AS di wilayahnya.
Tapi Ruttig menyimpulkan, "kita tidak bisa mengharapkan niat baik Pakistan, jika menyangkut Afghanistan.”
Pragmatisme Cina dan Iran
Gu Xuewu, Direktur Center for Global Studies di Bonn, menyimpulkan sikap mendua pada reaksi Beijing terhadap penarikan mundur militer AS. Meski bermusuhan, Cina diuntungkan oleh upaya AS membatasi pengaruh Taliban,” kata dia.
"Ketakutan terbesar ada pada Xinjiang, hal lain tidak penting bagi Beijing,” kata Gu. Provinsi yang dihuni minoritas muslim Uighur itu berbatasan secara langsung dengan Afghanistan. Belakangan dilaporkan, separatis Uighur berbaiat kepada ISIS dan aktif berlatih di Hindukush.
Sikap ambigu juga ditunjukkan pemerintah Iran. Meski menganggap keberadaan pasukan AS sebagai "sebuah ancaman,” Teheran ingin menghindari "kehancuran total dan bencana kemanusiaan di negara jiran,” kata Andrew Watkins.
"Situasinya serupa dengan Cina,” imbuh Thomas Ruttig. "Walaupun bermusuhan dengan AS, mereka menikmati stabilitas yang tercipta oleh keberadaan pasukan NATO.”
Berkaitan dengan Iran, Watkins meyakini kepentingan terbesar Teheran di Afghanistan adalah tidak memicu ketegangan tak perlu dengan AS, di tengah perundingan Perjanjian Nuklir 2015.
rzn/as