Agar Para Janda Mandiri
22 Desember 2018Pantang bagi Nani Zulminarni terbelenggu masa lalu. Karenanya ibu tiga anak ini memilih tegar saat bercerai dari suaminya pada 2000. Padahal Nani, yang ketika itu aktif di Komisi Nasional untuk Perempuan, tengah menghadapi tugas berat di lapangan. Ia bolak-balik Jakarta-Aceh untuk mendokumentasikan kehidupan janda pascakonflik di Kota Serambi Mekah.
Di Aceh, ia mendapati banyak perempuan menderita dan trauma karena suaminya terlibat atau dicurigai terlibat Gerakan Aceh Merdeka. Di saat yang sama, Nani sedang pening memikirkan cara mengurus anak pascaperceraian. "Kendati sedang terpuruk, saya merasa harus bersyukur karena yang dihadapi ibu-ibu di sini lebih berat,” ujar perempuan 56 tahun ini, beberapa waktu lalu.
Merasa senasib, Nani tergerak untuk merangkul para perempuan di sana. Dari yang semula hanya memotret dan mendata di Aceh, pada 2001, Nani melobi Komnas Perempuan untuk menginisiasi program pemberdayaan perempuan di sana. Nani mengaku tak tega melihat kemiskinan begitu kasat mata di banyak daerah di Aceh. Apalagi para janda itu bingung harus berbuat apa sebagai kepala keluarga.
Menurut ibu tiga anak itu, banyak keluarga janda kian miskin lantaran sebelumnya terbiasa bergantung secara ekonomi pada suami. "Saya ingin tak sekadar merekam, tapi juga mendidik, menyadarkan, sekaligus membangun kekuatan mereka,” kata dia. Beruntung, Nani kemudian mendapat bantuan dana dari Jepang lewat program Widow's Project.
Dana dari program tersebut menjadi basis Nani mendirikan organisasi nirlaba Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Lewat Pekka, Nani menggembleng janda untuk mandiri dan bisa menghidupi keluarga mereka. Ia ingin janda dilihat dari status, peran, dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, bukan hanya perempuan yang nelangsa karena ditinggal suami.
Namun perempuan kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, itu menyadari itikadnya tak mudah. Sebab para janda mesti bertarung melawan stigma negatif di masyarakat. "Mereka juga cenderung menyalahkan diri sendiri atas keadaannya,” ujar Nani yang lulusan Institut Pertanian Bogor.
Itulah mengapa Nani memilih bidang ekonomi sebagai pintu masuk pemberdayaan mereka. Ia menginternalisasi nilai kesetaraan gender yang didapat sejak menjadi aktivis perempuan pada 1998. Di saat yang sama, dia juga belajar dari ketangguhan para janda membesarkan anak tanpa dampingan suami. "Cara para janda survived dalam kondisi sulit menjadi energi saya dalam mengembangkan Pekka,” kata perempuan kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat ini. "Dari merekalah saya merumuskan framework, strategi, dan fokus kerja organisasi ini.”
Nani menuturkan, Pekka memulai kegiatannya dengan membentuk kelompok kecil di empat daerah. Yakni Aceh, Maluku Utara, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Pertimbangannya, angka praktik poligami dan kawin-cerai di sana tinggi dan menyebabkan banyak perempuan menjadi janda. Di sanalah Nani mulai mengajak perempuan untuk aktif dalam koperasi simpan-pinjam sebagai modal untuk bekal memulai usaha.
Namun upaya itu tak mudah. Salah seorang kader Pekka di Desa Sukatani, Cianjur, Jawa Barat, Tintin Supriatin mengatakan, kebanyakan janda tak punya uang untuk menabung ke koperasi. "Rp 1000 pun tak ada,” ujarnya. Walhasil, ketika itu 2002, para anggota Pekka menyetor apa pun yang mereka punya. Entah sisa beras di rumah, buah, atau pun sayur. "Bahan-bahan itu kami hargai dengan uang yang kemudian jadi tabungan para janda di koperasi.” Pembagian sisa hasil usaha (SHU)-nya, anggota mendapat 50 persen, 20 persen untuk dana cadangan, 20 persen pengurus, 5 persen kebutuhan kelompok, dan sisanya untuk dana sosial.
Di saat yang sama, Pekka juga mulai mencekoki para janda dengan sejumlah program pemberdayaan. Selain ekonomi, juga edukasi untuk para anak janda yang putus sekolah, serta pemberdayaan hukum dan pelatihan paralegal. Pemberdayaan hukum ini penting untuk membantu janda mengurus akta kelahiran anak, perceraian, maupun pernikahan yang belum tercatat negara.
Menurut Nani, mengajak perempuan untuk maju dan mau meningkatkan kapasitas diri sangatlah sulit. Sebab ada kalanya perempuan menyadari intisari perjuangan mereka, tapi kadang "kembali ke titik nol” karena tidak percaya diri dengan status jandanya. "Mengajak mereka konsisten menjadi tantangan terbesar kami,” ujar peraih sejumlah penghargaan, di antaranya Ashoka Fellowship 2007, Sarinah Award 2014, dan Global Fairness Award 2014
Itulah mengapa dalam tiga tahun pertama, Nani menganggap Pekka masih gagal. Dari sekitar 100 kelompok ekonomi mikro yang terbentuk, hanya 10 yang masih berjalan. Namun Nani tak patah semangat. Bersama sejumlah kader Pekka yang ia gembleng, mereka terus memperkuat koperasi simpan pinjam yang tersisa. Pekka juga mulai merambah daerah baru dan membentuk kelompok perempuan di sana.
Langkah ini menuai hasil positif. Dari ratusan jumlah kelompok mikro, pada tahun berikutnya hanya 50 persen yang gagal. Belakangan angka ini terus membaik, hingga akhirnya keberhasilan mencapai 10 persen dari kelompok koperasi simpan pinjam yang ada. Bahkan pada 2007, Nani meresmikan sejumlah Pusat Komunitas Pekka. Di pusat komunitas tersebut, Pekka memiliki program masing-masing. Misalnya supermarket Pekka Mart di Adonara, Nusa Tenggara Timur. Supermarket beromzet ratusan juta rupiah itu sekaligus menjadi sentral pemberdayaan ekonomi janda setempat.
2007 di Cianjur, kader Pekka membentuk lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang sebagian dananya disokong oleh donatur. PAUD itu sekaligus memperkuat ikatan para anggota Pekka, dan mendorong pembentukan empat lembaga pendidikan serupa di Cianjur. Bahkan pada 2014, para anggota Pekka Cianjur membentuk pelatihan salon gratis untuk perempuan. "Per medio tahun ini, kami sudah melatih 203 orang,” kata Tintin.
Setelah 17 tahun berjalan, Pekka sudah menjangkau 31.447 anggota yang tersebar di 1.232 desa di 34 provinsi. Mereka juga punya 64 koperasi simpan pinjam, 40 pusat komunitas atau kantor pendukung yang menggerakkan advokasi, serta sejumlah program ekonomi seperti pelatihan salon untuk para perempuan.
Pada 2016, kegiatan Pekka merambah ke bidang pendidikan nonformal dengan mendirikan Akademi Paradigta. Ini dilecut fakta bahwa lebih dari 60 persen anggota Pekka ternyata buta huruf dan belum banyak yang melek anggaran. Padahal menurut Nani, keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa idealnya besar. "Saya ingin Akademi Paradigta mencetak lulusan yang kritis, dan bisa memberi sumbangan pemikiran dan tenaga untuk otonomi desa,” ujarnya.
Dua tahun berdiri, Akademi Paradigta ada di sepuluh provinsi, di antaranya Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Maluku. Mentornya dari kalangan kader Pekka, sementara muridnya mencakup perempuan lintasusia dan latar belakang pendidikan. Tak mesti janda, tapi mereka yang mau terlibat pemberdayaan perempuan dan memajukan desanya. Mereka belajar bersama dengan modul bikinan Pekka yang berisi materi kesetaraan gender, penguatan ekonomi, kepemimpinan perempuan, dan isu hukum serta kesehatan.
Nani menyebut, Akademi Paradigta adalah perwujudan mimpi lamanya. Namun memang ada impian lain yang belum terwujud. Salah satunya membuat aplikasi sebagai sumber informasi soal perempuan kepala keluarga. "Saya ingin aplikasi itu nantinya jadi alat yang bisa mengubah konstruksi gender,” kata dia. Selain itu, Nani juga ingin Pekka tumbuh menjangkau perempuan dengan jangka usia lebih muda, tak harus janda. "Saya sudah tua, inginnya perempuan-perempuan muda bisa melanjutkan misi Pekka.”
***
Tulisan ini bagian dari Proyek Perempuan Tempo untuk merayakan 90 tahun Konggres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, dengan dukungan dari European Journalism Centre.