Amnesty Desak Pemerintah Lindungi Hak Umat Hindu di Bekasi
14 Mei 2019Organisasi Hak Asasi Manusia, Amnesty International, mewanti-wanti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama ihwal kebebasan memiliki rumah ibadah untuk semua umat beragama. Hal ini diungkapkan dalam siaran pers terkait kontroversi pembangunan pura untuk warga Hindu di Bekasi.
Menurut Amnesty, Pemerintah Kabupaten Bekasi harus menjamin hak warga untuk memenuhi hak dasarnya "setelah bertahun-tahun mereka tidak memiliki tempat untuk beribadah."
Baca juga: Pancasila Menjamin Kehidupan Keberagaman di Indonesia
Organisasi itu mencatat sebanyak 7.000 warga beragama Hindu yang hidup di Kabupaten Bekasi belum memiliki tempat ibadah. Hal itu diungkapkan oleh organisasi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) setelah terjadi penolakan oleh sekelompok orang terhadap rencana pembangunan pura di Sukahurip.
"Kejadian yang menambah daftar panjang intoleransi terhadap kelompok minoritas beragama di Indonesia," tulis Amnesty dalam siaran persnya.
"Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama harus mengambil langkah tegas untuk memastikan bahwa Pemda Bekasi agar tidak tunduk pada tekanan massa dan tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keberanian dalam melindungi hak asasi manusia kaum minoritas dan kepatuhan pada hukum sebelumnya pernah ditunjukkan oleh Wali Kota Bekasi untuk Gereja Santa Clara, misalnya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Lantaran tidak ada rumah ibadah yang sepadan, saat ini umat Hindu di area kabupaten harus menempuh perjalanan hingga puluhan kilometer untuk bisa beribadah di Pura Agung Tirta Bhuana di Jakasampurna. Menurut Amnesty, kota Bekasi sendiri saat ini memiliki sebanyak 29.000 umat Hindu yang beribadah di pura tersebut. Akibatnya Pura Agung Tirta Bhuana tidak mampu menampung jumlah umat Hindu dari kedua daerah.
Baca juga: Profesor Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Adalah Islam yang Rileks
"Membangun dan menggunakan tempat beribadah adalah bagian dari hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang di dalamnya mencakup hak untuk melaksanakan ibadah. Hak ini dijamin oleh konstitusi kita untuk semua umat beragama di Indonesia, termasuk mereka yang beragama Hindu,” tambah Usman.
PHDI Bekasi mencatat terdapat 20 keluarga beragama Hindu yang tinggal di desa tempat di mana pura tersebut akan didirikan. Menurut pengembang, rencana pembangunan pura telah mendapatkan dukungan dari 60 warga lokal dan memiliki daftar nama 90 umat yang akan menggunakan tempat ibadah tersebut sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006.
"Jika pemerintah setempat menolak memberikan izin untuk pendirian pura tersebut hanya karena tunduk pada tekanan sekelompok massa, meskipun umat Hindu Kabupaten Bekasi telah berhasil memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maka ini akan menjadi preseden yang buruk," kata Usman.
Menurutnya pemerintah dalam hal ini kehilangan kewibawaan dan secara tidak langsung menjadi pelaku pelanggaran HAM.
Baca juga: Kenapa NU Tidak Lagi Panggil Non-Muslim Dengan Sebutan Kafir?
Padahal pasal 13(3) dari Peraturan Bersama menyatakan bahwa selain komposisi jumlah penduduk di wilayah kelurahan/desa, pembangunan rumah ibadah juga dapat mempertimbangkan komposisi jumlah penduduk dalam wilayah kecamatan, kabupaten, kota atau provinsi.
"Pelarangan pendirian rumah ibadah juga melanggar hak siswa-siswi sekolah dasar hingga menengah atas untuk mendapatkan pendidikan agama Hindu karena pura tidak hanya digunakan untuk beribadah tapi juga sebagai pusat pendidikan bagi para murid-murid yang beragama Hindu untuk belajar agama. Sebagai contoh, menurut PHDI Bekasi, siswa-siswi di kabupaten tersebut setiap hari Minggu pagi harus menempuh puluhan kilometer ke Kota Bekasi untuk belajar agama Hindu di Pura Agung Tirta Bhuana," ungkapnya.
rzn/vlz (Amnesty International)