Antara Bisnis Sukanto Tanoto dan Kerusakan Alam Indonesia
11 Februari 2021Nama pengusaha Sukanto Tanoto kembali mencuat ketika kolaborasi jurnalis internasional "OpenLux" mengungkap operasi pengemplangan pajak para miliarder dunia. Belum lama ini Sukanto dan anaknya, Andre Tanoto diketahui membeli sebuah gedung mewah di Düsseldorf dan bekas istana Raja Ludwig di München, Jerman yang harganya mencapai triliunan rupiah.
Daftar panjang kerusakan hutan dan konflik sosial yang melibatkan masyarakat adat turut mencoreng reputasi konglomerat dengan harta kekayaan 1,6 miliar dolar AS atau setara Rp 23,5 triliun itu (berdasarkan data Forbes per 10 Oktober 2020).
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra membeberkan "dosa” yang dilakukan Sukanto selama perjalanan kariernya yang berkaitan dengan perusakan hutan, konflik dengan masyarakat adat, dan kejahatan ekonomi.
"Kalau kejahatan kehutanan, misalnya, grup-grup perusahaan Royal Golden Eagle (RGE) yang di bawah kendali Sukanto Tanoto terlibat dalam kasus perusakan hutan alam besar ketika membangun hutan tanaman industri di Sumatera dan Kalimantan. Jutaan hektar sudah dikonversi untuk perkebunan kayu dan terus berlanjut hingga saat ini,” kata Syahrul kepada DW.
Melalui PT ITCI Hutani Manunggal (IHM), Sukanto memegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas lebih dari 161 ribu hektare di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kayu yang dihasilkan kemudian dipasok IHM ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), salah satu anak perusahaan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL Group) yang bergerak di bidang kertas dan bubur kertas.
RAPP dan APRIL Group juga merupakan perusahaan milik Sukanto, di bawah kelola RGE.
Selain itu, tak heran jika Sukanto memiliki julukan "Raja Sawit” karena memiliki bisnis kelapa sawit mulai dari perkebunan, pabrik pengolahan, hingga perdagangannya. Seluruh bisnis tersebut di bawah payung Asian Agri dan Apical.
Karhutla tahun 2015 dan 2019
Koalisi Anti-Mafia Hutan menyoroti serangkaian kejadian kebakaran hutan dan lahan besar yang terjadi di sejumlah provinsi di Indonesia, di mana pada sebagian kasus tersebut antara lain memiliki kaitan dengan operasional bisnis perusahaan Sukanto.
Pada 2015, bencana kebakaran dan kabut asap diperkirakan menghanguskan 2,6 juta hektare lahan dan hutan yang menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 220 triliun, serta menjadi salah satu faktor penyebab lebih dari 100 ribu kematian dini.
Hingga September 2019, luas areal terbakar diperkirakan mencapai 857.756 hektare. Kebakaran pun terus berlanjut hingga bulan Oktober. Dampak paling nyata adalah penderitaan jutaan orang yang hidup dalam pekatnya asap selama berbulan-bulan.
"Soal perusakan hutan, dia juga terlibat kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 dan 2019. Namun sebenarnya dari semua periode kebakaran itu, perusahaan Sukanto terlibat. Selama 2015-2019, ada 65 ribu hektare luas area terbakar dan kerusakan terbesarnya itu terjadi saat mendekati tahun 2015. Periode sebelum 2015, mereka hajar habis-habisan mengkonversi hutan-hutan alam di Riau,” ujar Syahrul.
Akibat kasus kebakaran hutan, perusahaan-perusahaan yang dimiliki pria bernama asli Tan Kang Hoo itu menerima banyak tekanan dari para konsumennya di dalam dan luar negeri, hingga akhirnya pada tahun 2015 APRIL Group menerbitkan kebijakan sustainable forest management policy (SFMP) atau pengelolaan hutan lestari versi 2.0.
Kebijakan tersebut memastikan kegiatan bisnis perusahaan yang bebas dari deforestasi dengan menghentikan pemanenan kayu yang bukan berasal dari tanaman dan memperkuat upaya konservasi alam.
Namun komitmen itu tampaknya tidak membuahkan hasil yang maksimal ketika kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi pada tahun 2019. "Pasca kebakaran 2015 mereka wajib merestorasi lahan gambut. Tetapi dimana restorasi itu dilakukan dan seperti apa bentuk restorasi yang mereka lakukan itu kami tidak bisa melihat dan mengakses sejauh mana kemajuannya. Buktinya tahun 2019 kebakaran terjadi lagi, ini artinya upaya restorasi tidak efektif,” tegas Syahrul.
"Jika benar sudah melakukan restorasi, seharusnya mereka eskpose ke publik.”
Konflik sosial dan kejahatan ekonomi
Berdasarkan hasil investigasi Rainforest Action Network (RAN) yang dirilis pada tahun 2020, organisasi lingkungan itu menemukan bahwa APRIL Group melanggar komitmen Nol Eksploitasi dan berkonflik dengan lebih dari 500 kelompok masyarakat. Contohnya di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara, lebih dari 3.000 keluarga terdampak operasional perusahaan bubur kertas Toba Pulp Lestari milik APRIL.
Hingga saat ini kelompok masyarakat adat terus berupaya merebut kembali hutan dan tanah adat mereka yang membentang di lebih dari 25 ribu hektare.
"Konflik sosial yang melibatkan grup-grup perusahaan APRIL dan RGE, mereka masuk ke dalam lokasi itu terkadang tidak melibatkan masyarakat sehingga mereka tidak tahu dan tiba-tiba hutannya sudah dibuka dan dikuasai perusahaan,” ujar Syahrul.
Syahrul juga mengungkapkan belum lama ini, Toba Pulp Lestari memanipulasi laporan ekspor produk pulp yang menjadi bahan dasar untuk baju yang diproduksi perusahaan retail fashion Zara dan H&M.
Terkait kejahatan ekonomi, pada tahun 2012 Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan denda Rp 1,259 triliun atas kasus penggelapan pajak yang dilakukan 12 staf dan direksi Asian Agri, perusahaan milik Sukanto Tanoto.
Pada 17 September 2014, Asian Agri berhasil melunasi pembayaran denda tersebut. Asian Agri juga mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan dikabulkan, sehingga membatalkan putusan pengadilan pajak pada tahun 2015 dan pemerintah diharuskan mengembalikan Rp 2,8 triliun. (ha/as)