Akhir bulan ini, tepatnya tanggal 27-28 Juni 2020, ASEAN akan menggelar konferensi tingkat tinggi yang akan dihadiri oleh seluruh kepala pemerintahan dari 10 negara anggota ASEAN.
ASEAN sendiri telah menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Khusus terkait COVID-19 pada tanggal 14 April 2020 dan telah menghasilkan Deklarasi yang berjudul “Declaration of the Special ASEAN Summit on Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)”. Dari pembacaan kritis yang dilakukan Migrant CARE, Deklarasi tersebut sangat normatif dan tidak menjawab persoalan krusial mengenai kecamuk COVID-19 dan dampaknya pada komunitas-komunitas rentan di kawasan ini, khususnya pekerja migran.
Deklarasi ini lebih banyak mengurai soal tata kelola medikal dan pertukaran informasi seputar COVID-19. Tentu saja perkara tata kelola medikal dan informasi mutakhir seputar COVID-19 adalah hal yang penting, namun dengan mengabaikan aspek-aspek nonkesehatan dalam penanganan krisis COVID-19 di kawasan Asia Tenggara, telah memperlihatkan bahwa ASEAN gagap dan lamban menangani COVID-19.
Deklarasi tersebut sama sekali tidak mengupas perkara mobilitas manusia di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kontribusi penting dan signifikan dalam perkembangan ekonomi kawasan. Negara pengirim maupun negara penerima mengambil untung dari migrasi tenaga kerja dengan volume remitansinya, ekspor komoditas dan pasokan tenaga kerja untuk proyek infrastruktur. Namun ASEAN alpa memasukkan pekerja migran dalam langkah-langkah konkret penanganan dampak COVID-19 di ASEAN.
Berulangkali disampaikan karena COVID-19 merupakan pandemi yang melintas batas negara, maka kerjasama antar negara apalagi dalam kerangka regional adalah hal yang mutlak, tentu dengan pendekatan yang komprehensif. Namun pernyataan tersebut hanya menjadi retorika ketika melihat ASEAN. Dalam konteks perlindungan pekerja migran, ASEAN terbelah dalam kepentingan sebagai negara penerima dan negara pengirim.
Dalam hal penanganan COVID-19, langgam tiap-tiap negara berbeda. Singapura dan Thailand terlihat lebih siap dengan infrastruktur kesehatan dan pendisplinan warganya. Malaysia disibukkan dengan pembatasan mobilitas dan pendekatan keamanan terutama pada kaum pendatang. Philipina menerapkan lockdown dan secara dramatis mengambil langkah-langkah represif atas nama penanganan COVID-19. Indonesia terlambat pada penanganan awal bahkan sempat melakukan penyangkalan dan dengan keluasan wilayahnya harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontroversial. Vietnam hingga saat ini selalu menjadi pembanding sebagai negara dengan praktek baik penanganan COVID-19 tanpa jatuh korban secara dramatis.
Keterbatasan untuk dapat mengakses informasi secara bebas di negara Brunei, Laos dan Myanmar juga menjadi penghambat mengenai kinerja penanganan COVID-19 dan gambaran kasusnya. Ini juga menjadi masalah bagi ASEAN untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang peta jalan penanganan COVID-19 secara regional berbasis data dan informasi akurat.
Pekerja migran merupakan salah satu sektor yang sangat terdampak oleh pandemi ini. Untuk mereka yang bekerja di sektor pengasuhan, perawatan, kesehatan dan pelayanan publik, rentan menghadapi penularan langsung. Karena mobilitasnya, pekerja migran rentan distigma sebagai pembawa virus. Sementara itu sebagai warga negara asing, pekerja migran rentan mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Kerentanan yang lebih dalam dihadapi oleh pekerja migran yang tidak berdokumen (biasanya berada di Malaysia dan Thailand), mereka harus berhadapan dengan ancaman kehilangan pekerjaan dan sasaran penangkapan operasi keimigrasian.
Paling rentan
Badan-badan internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa pun juga menegaskan bahwa pekerja migran adalah kelompok yang paling rentan dalam analisis global tentang krisis COVID-19. ILO menempatkan pekerja migran sebagai kelompok pekerja paling terdampak bersama kelompok pekerja informal dan kaum muda pengangguran. UN Women mengkhawatirkan kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja migran di sektor pengasuhan, perawatan dan kesehatan karena sehari-hari mereka bersentuhan langsung dengan virus berbahaya tersebut. Sementara itu beban kerja pekerja rumah tangga migran makin bertambah, sebaliknya mobilitas terbatasi dan potensi terjadinya kekerasan fisik/seksual berbasis gender makin tinggi.
Secara ekonomi, World Bank memperkirakan adanya penurunan remitansi dari migrasi tenaga kerja di tahun ini. Kontraksi ini akan menjadi pemicu eskalasi angka kemiskinan. Masih terkait dengan situasi ini, UNDP pun telah meluncurkan laporan Indeks Pembangunan Manusia dan COVID-19. Menurut laporan ini penurunan volume remitansi juga menjadi pemicu penurunan kualitas hidup manusia serta melebarkan jurang ketimpangan.
Realitas kerentanan tersebut ditunjukkan pada situasi yang terjadi di Malaysia ketika melakukan penerapan Movement Control Order. Jutaan pekerja migran (terutama yang berstatus tidak berdokumen) selain harus bertahan hidup dengan keterbatasan logistik, namun juga harus berada dalam situasi tak menentu ketika Malaysia menerapkan pendekatan keamanan dalam operasi pembatasan mobilitas. Malaysia juga tidak mau merelaksasi kebijakan keimigrasiannya yang represif. Padahal sesuai dengan protokol WHO, penanganan COVID-19 harus mengedepankan penanganan kesehatan dengan mengesampingkan aspek-aspek pembeda seperti asal usul dan status kewarganegaraan, ras, gender, agama dan orientasi seksual.
Alih-alih mampu meminimalkan penularan COVID-19, pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran tidak berdokumen bahkan telah menimbulkan klaster penularan baru COVID-19 di beberapa penjara imigrasi Malaysia. Para pejabat hak asasi manusia PBB dan berbagai lembaga hak asasi manusia juga mengecam Malaysia yang tetap melakukan operasi penangkapan pada para pekerja migran tak berdokumen dan menghalangi masuknya pengungsi Rohingya dengan alasan mencegah penularan COVID-19. Operasi Benteng yang dilancarkan pemerintah Malaysia adalah pendekatan keamanan pencegahan penularan COVID-19 yang berbasis pada prasangka dan stigma.
Pendekatan yang berbeda ditunjukkan oleh Singapura. Pada awalnya Singapura juga tidak mempedulikan kerentanan pekerja migran berhadapan dengan COVID-19 dan merasa berhasil menangani COVID-19 hingga akhir Maret 2020. Namun di bulan April terjadi ledakan kasus baru yang terdeteksi berkecamuk di kawasan pemukiman pekerja migran dan ini menjadi gelombang kedua kasus COVID-19 di Singapura. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah Singapura melakukan penataan ulang kawasan pemukiman pekerja migran dengan penerapan protokol dan melakukan rapid test pada puluhan ribu pekerja migran untuk menelusur rantai tular dan memotong jalur penularannya. Ini yang seharusnya juga dilakukan oleh Malaysia.
Pembaruan
Hak asasi manusia adalah salah satu prinsip yang dikedepankan dalam upaya pembaruan ASEAN (ASEAN Reform). Pembaruan tersebut terlihat dari pengadopsian prinsip-prinsip hak asasi manusia (meski belum komprehensif) dalam Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Elaborasi prinsip-prinsip HAM juga diinstitusionalisasi dalam berbagai mekanisme seperti ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights, ASEAN Commission of Women and Children dan ASEAN Commission of Migrant Workers serta instrumen legal seperti ASEAN Declaration of Promotion and Protection the Rights of Migrant Workers, ASEAN Consensus on the Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers dan ASEAN Convention Against Trafficking in Person.
Ironisnya, walau seperangkat mekanisme dan instrumen perlindungan HAM (khususnya pekerja migran) tersedia dalam kerangka kerja ASEAN, hingga saat ini tidak ada satu pernyataan resmi dari mekanisme ini dikeluarkan untuk menyikapi perkara kerentanan yang dihadapi oleh pekerja migran dalam krisis COVID-19 di ASEAN.
Agar ASEAN tidak lagi absen dan abai pada persoalan kerentanan pekerja migran dan pengungsi di kawasan ASEAN dalam krisis COVID-19 maka harus ada langkah-langkah konkret yang dihasilkan dalam ASEAN Summit akhir bulan ini. Harus ada dorongan yang kuat terhadap ASEAN untuk menyusun Protokol Penanganan COVID-19 Berbasis Perlindungan HAM Terhadap Pekerja Migran dan Pengungsi di ASEAN.
@wahyususilo adalah pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.
*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di bawah ini.