Bertahan dalam Lamanya Waktu Bekerja dari Rumah Saat Pandemi
29 November 2020Setelah hampir satu tahun dunia dilanda pandemi COVID-19, berita tentang keberhasilan uji klinis vaksin virus corona membawa secercah optimisme baru. Masyarakat dan bisnis yang merugi akibat berbagai pembatasan berharap kembalinya kehidupan yang mendekati normal.
Namun sepertinya masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa masa-masa harus bekerja dari rumah akan berlalu. Sebagian kantor bahkan mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan kebijakan bekerja dari rumah bagi karyawannya. Ambil contoh Deutsche Bank, seperti dikutip dari kantor berita Bloomberg, lembaga keuangan asal Jerman ini berencana untuk membolehkan 40 persen karyawannya bekerja dari rumah dua hari dalam seminggu secara permanen.
Memang, bekerja dari rumah punya keuntungan tersendiri. Bahkan juga terungkap bahwa para pekerja di Jerman lebih senang bekerja dari rumah. Namun membaurnya batas antara kehidupan pribadi dan profesional saat harus bekerja dari rumah menjadi kenyataan yang sulit dihindari oleh para pekerja profesional di saat pandemi. Ada pula kenyataan lain, bahwa tidak semua orang punya privilese untuk secara tegas menarik garis batas ruang dan waktu untuk bekerja dan untuk kehidupan pribadi.
Konsep keseimbangan dianggap telah usang
Juneman Abraham, psikolog sosial yang juga Ketua Kompartemen Riset & Publikasi Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), menjelaskan bahwa sebelum pandemi, dinamika kehidupan profesional dan pribadi dapat saling menunjang. Contohnya, di kantor para pekerja memperoleh jejaring sosial, kompensasi material, dan perasaan berguna karena telah merasa berkontribusi.
“Hal-hal yang diperoleh dari kantor itu bermanfaat untuk menunjang kehidupan pribadi dan keluarganya di rumah,” ujar Juneman kepada DW Indonesia. Sebaliknya, jaringan sosial yang terbentuk dari pergaulan pribadi di masyarakat atau dari kelompok hobi juga bisa menunjang karir seseorang di kantornya.
Namun hubungan ini juga bisa menjadi negatif ketika seseorang tidak punya lagi waktu dan energi untuk berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan pribadinya karena tuntutan yang besar dari dunia kerja. Atau ketika tuntutan keluarga yang terlalu besar sehingga membuat karyawan tersebut sulit berkonsentrasi di kantor. Untuk itu perlu keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.
Akan tetapi, keseimbangan antara kehidupan pekerjaan di kantor dan kehidupan pribadi di rumah yang kerap digaungkan sebelum pandemi, kini telah menjadi sebuah konsep yang usang, demikian ungkap Juneman kepada DW Indonesia.
“Dalam work from home, work is life, dan life is work. Dengan kata lain, work dan life bukan lagi dua hal yang berbeda yang perlu diseimbangkan, melainkan keduanya sudah blended menjadi satu kesatuan,” kata Juneman yang mengajar di Universitas Bina Nusantara ini.
Saat inilah, menurut Juneman, terjadi berbagai kerumitan akibat bekerja dari rumah. Misalnya, seorang karyawan harus lembur saat bekerja dari rumah untuk membangun jaringan kerja dan pengaruh di kantor, sehingga harus melakukan pertemuan daring di akhir pekan, dan mengurangi waktu untuk bersama keluarga. Atau, situasi sebaliknya, seorang karyawan harus mengurus anaknya sekolah daring saat jam kerja, dan mengurangi kesempatan untuk berperilaku profesional saat bekerja dari rumah.
Integrasikan unsur menyenangkan dalam pekerjaan
Kaburnya batas antara dunia pekerjaan di kantor dan dunia pribadi di rumah adalah kenyataan yang perlu dikelola organisasi pemberi kerja, tegas Juneman. "Oleh sebab itu, organisasi (kantor, tempat kerja) perlu menggeser pandangannya. Organisasi tidak dapat menganggap bahwa semua jam work from home merupakan "hak kantor". Perlu fleksibilitas dari kepemimpinan dalam hal ini.”
Ia memberikan contoh bahwa organisasi dapat memberikan waktu khusus bagi para pekerja untuk bisa menghibur diri seperti dengan mengikuti webminar sesuai hobi masing-masing pada waktu jam bekerja di rumah.
Selain itu perlu juga diadakan permainan atau gamifikasi dengan menerapkan unsur-unsur permainan dan unsur menyenangkan yang biasanya terdapat dalam sebuah game pada pekerjaan guna memotivasi pekerja bahkan mengubah perilaku pekerja.
Khususnya bagi para pekerja media atau jurnalis, Juneman mencontohkan bahwa gamifikasi dapat diterapkan dengan memberi jurnalis peluang untuk ikut serta merancang situs web atau aplikasi daring pemberitaan. Ini bisa dilakukan dengan melibatkan algoritma dan teknologi interaktif yang lebih melibatkan pembaca dan memungkinkan mereka meminta konten atau visualisasi tertentu.
“Seorang pimpinan dalam sebuah organisasi jurnalistik juga dapat menerapkan gamifikasi sebagai sarana pembelajaran berbasis masalah. Sebagai contoh, analogikan pekerjaan jurnalistik dengan sebuah Massively Multiplayer Online Role Play Game (MMO-RPG). Para jurnalis secara bersama-sama dapat bereksperimen dengan berbagai perspektif dalam karya jurnalistiknya untuk memecahkan sebuah permasalahan sosial,” ungkapnya.
Permainan atau game bahkan yang dilakukan secara daring dianggap dapat membangun empati di kalangan para pekerja dan menambah dimensi serta konteks terhadap dunia kerja. Platform yang berfokus pada pengembangan tim secara online yakni Miro mengungkapkan bahwa pihak manajemen dapat membantu pekerja dalam membangun ikatan di antara rekan kerja lewat permainan dari rumah masing-masing. Salah satu contohnya yakni dengan permainan menebak kota kelahiran rekan tertentu, atau menuliskan impian-impian mereka.
“Bermain cantik” agar bisa bertahan
Ketidakjelasan batas, besarnya tuntutan, dan ketidaktahuan akan berapa lama keadaan ini berlangsung berpotensi menimbulkan kelelahan mental atau burnout di kalangan para pekerja. Kemampuan untuk bertahan, dan terus-menerus kembali bangkit jadi keterampilan yang diidamkan banyak orang selama pandemi. Terutama bagi para pekerja yang masih harus terus bekerja dari rumah.
Untuk itu, Juneman mengatakan bahwa para pekerja perlu bisa "bermain cantik" dan mengatur agar sumber daya dan tenaga mereka agar tidak habis untuk menyelesaikan pekerjaan kantor dari rumah.
Pihak keluarga para pekerja juga bisa memberikan dukungan yang signifikan. Pemakluman, rasa syukur dan sikap optimistis dari pihak keluarga juga dinilai dapat membantu para pekerja dalam melewati masa-masa panjang bekerja dari rumah.
Selain itu, Juneman berpendapat bahwa para pekerja perlu menggali lebih lanjut apa sebenarnya yang menjadi panggilan hidup atau calling mereka. Dengan demikian ia akan merasa pekerjaannya jadi lebih bermakna, tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi dunia keseluruhan. Namun menurutnya, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah para pekerja dapat menyediakan cukup waktu untuk mengembangkan panggilan mereka?
“Apakah organisasi juga memiliki peta jalan pengembangan calling melalui berbagai program pengembangan karyawan, baik melalui konseling daring, employee assistance program (EAP)?”
Pertanyaan ini juga perlu dicarikan jawabannya agar para pekerja dapat terus produktif selama bekerja dari rumah, utamanya dalam waktu yang berkepanjangan. (ae/vlz)