Bukan Denda, FIFA Harusnya Hukum PSSI Tanpa Penonton
9 Oktober 2019Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) resmi menjatuhkan hukuman denda untuk PSSI, sebagai buntut akibat kisruh yang terjadi antara pendukung timnas Indonesia dengan Malaysia, saat laga kualifikasi Piala Dunia 2020, September lalu. FIFA mengharuskan PSSI membayar denda sebesar Rp 643 juta. Sederet kasus ricuh antara pendukung klub dan timnas Indonesia dengan lawan bertandingnya, kerap kali terjadi, hingga berujung merenggut nyawa.
Lantas mengapa peristiwa ini seakan tak bisa dicegah hingga menjadi potret buruk sepak bola di Indonesia? Dalam wawancaranya dengan DW Indonesia, pengamat sepak bola, Justinus Lhaksana bahkan menilai denda yang dilayangkan FIFA terlalu lunak bagi PSSI. Lalu, sanksi apa yang seharusnya dilayangkan FIFA kepada PSSI? Simak wawancara berikut.
Baca juga: Piala Dunia 2034, Pengamat: "Indonesia Jangan Memaksa Diri Jadi Tuan Rumah"
Deutsche Welle: Jika menurut Anda denda dari FIFA ke PSSI kecil, seharusnya apa?
Justinus Lhaksana: Kalau denda duit segitu mah sangat amat lunak. Mungkin FIFA mempertimbangkan bahwa Indonesia masih negara berkembang. Harusnya sanksi tanpa penonton. Kenapa? Karena tanpa penonton, PSSI akan terkena dampaknya, akan terasa tidak dapat pemasukkan dari penjualan tiket. Dari situ mungkin PSSI lebih belajar, kalau cuma Rp 643 juta mah, dari tiket pun sudah ketutup. Harus ada sanksi yang membuat “menusuk” istilahnya, berpikir dua kali agar tidak terulang lagi.
Kenapa kerusuhan pendukung timnas dan klub selalu terulang?
Sebenarnya sih sederhana, jangan bandingkan dengan Inggris, satu-satunya negara tidak ada fans, dalam arti supporter bisa lompat ke lapangan. Tapi itu kan nyaris tidak pernah terjadi karena sanksinya sangat berat sampai seumur hidup. Kita bicara negara sepak bola maju lainnya, itu stadionnya di secure sedemikian rupa sehingga tidak ada kemungkinan penonton lompat. Nah di stadion kita, nampaknya faktor ini diabaikan karena seringkali supporter masuk lapangan. Entah keamanannya tidak benar tapi yang jelas ini tanggung jawab PSSI dan klub. Supporter itu tidak boleh bisa masuk lapangan, harusnya kena denda besar. Jadi ada yang salah dengan stadion kita.
Lantas siapa yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan supporter?
Panitia pelaksana pertandingan itu kan dibentuk oleh klub tuan rumah, mereka kan punya SOP dari AFC, arahan untuk men-secure. Kalau seandainya tidak secure mereka bisa minta tolong kepolisian atau lain kali diubah sehingga jadi secure. Yang menurut saya aneh, AFC itu beberapa kali ke Indonesia itu meng-approved stadion yang kita miliki. Harusnya itu tidak boleh. Di UEFA tidak akan terjadi itu. Jadi dari AFC salah, stadion salah, PSSI juga salah karena PSSI kan ada pengawasnya, setiap pertandingan kan ada pengawasnya. Kalau stadion tidak benar, yang bertanggung jawab banyak, bukan klub saja. Tapi yang saya lihat kalau sekali terjadi, okay, tapi ini puluhan kali sudah terjadi dan tidak ada perubahan. Ini yang repot.
Indonesia harus berkaca ke klub dan negara mana untuk penyelenggaraan pertandingan yang aman dan berjalan baik?
Masalah security? gampang tidak perlu jauh-jauh, lihat di Bukit Jalil, Malaysia. Lihat di National Stadium, Singapura. Lihat di Rajamanggala, Bangkok. Semua aman. Itu stadion yang benar-benar modern, tidak bisa masuk. GBK juga sekarang kalau tidak salah sudah susah (masuk). Jadi banyak dari stadion kita itu tidak memenuhi standar keamanan, itu yang jadi masalah. Kalau stadion tidak bisa diubah, harus ditutupi dengan bikin pagar lebih tinggi lagi, lebih kuat lagi, atau pasang polisi di setiap pertandingan sehingga mereka tidak bisa masuk. Itu timnas di GBK kan kalau tidak salah, artinya GBK harus dipikiran lagi keamanannya.
Apakah karakter supporter menjadi faktor penyebab terjadinya kerusuhan?
Semua supporter di seluruh dunia itu cenderung agresif-emosional. Tapi sekarang kalau mereka diberikan kesempatan untuk melakukan tindakan anarkis, itu mereka lakukan. Itu terjadi di Amerika Latin dan Eropa. Sanksinya apa? Kalau di Inggris sangat berat. Di Eropa kesempatan itu tidak pernah diberi. Saya 20 tahun tinggal di Belanda saya tahunan ke stadion. Tidak ada cerita bisa masuk karena begitu aman. Bahkan fans dari tim away, yang datang ke stadion itu sudah dijaga dengan polisi berkuda, ada semuanya sehingga ingin ribut saja tidak bisa. Kalau karakter supporter semua sama di seluruh dunia. Karena sepak bola ini kan olah raga yang tingkat emosinya tinggi ada yang bisa menahan ada yang tidak. Itulah tugas FIFA, EUFA, AFC, PSSI, klub dan stadion, bahkan dari polisi juga.
Sejauh ini, apakah pengamanan Indonesia masih bisa ditingkatkan?
Kita bisa kalau mau. Saya tidak lihat ada perbaikan, niat benar-benar ingin memperbaiki. Kalau kita ingin memperbaiki datanglah ke Belanda, bikin study tour, datanglah ke Jerman, ke Inggris, bikin penelitian, tengok stadion disana seperti apa. Datang ke Spanyol lihat stadionya seperti apa, bisa masuk tidak? Kalau bisa seperti apa? Kalau ada niat pertama itu dipelajari. Kedua perbaiki stadion, bicara dengan pemda bicara dengan pemerintah karena stadion milik pemerintah. Sekarang PSSI membuka diri ke pemerintah aja tidak mau.
Peristiwa kerusuhan, akan mencederai rencana Indonesia jadi tuan rumah piala dunia U-20?
Hal seperti ini, seandainya kita jadi kandidat yang lolos, asumsi yang mendaftar diri ada 7 sampai 8 negara. Mengerucut ke 2 sampai 3 negara, nanti akan dikunjungi oleh FIFA dicek ingin bertanding di stadion mana? Dicek infrastrukturnya, hotel terdekat, jalanannya se-macet apa, dicek polisinya, mereka cek semua. Mereka sampai ke stadion saja, selesai tidak akan lolos. Mungkin hanya GBK yang bisa lolos, tapi yang lain saya tidak yakin. Mungkin ada beberapa stadion baru modern di luar kota, Samarinda misalnya, Kalimantan atau Sumatera mungkin bisa lolos, tapi banyak yang harus diperbaiki. Tapi kalau stadion klub yang sudah sering kebobolan itu harus diperbaiki. Kalau pemerintah mengatakan akan perbaiki 4-5 stadion, baru mereka bsa menjadi kandidat serius, tapi tidak dengan kondisi sekarang. FIFA itu sangat amat ketat. (pkp/vlz)
Wawancara dilakukan oleh Prita Kusumaputri, dan telah diedit sesuai konteks.