Dari Pegawai Menjadi Tukang Bersih-Bersih lalu Kreator Video
2 Mei 2023Astrid Palulungan lahir di Bontang, Kalimantan Timur. Sejak kecil, Astrid yang panggilannya Acit, sangat gemar membaca. Dari sanalah dia mendapat banyak inspirasi untuk hidupnya. Dia antara lain senang membaca tentang psikologi modern. "Tapi udah banyak yang lupa juga," katanya sambil tertawa. Sebuah buku yang masih sangat dia ingat berjudul Chicken Soup for the Soul, atau sop ayam untuk jiwa.
"Aku pernah dapat buku itu dari pacar," kata Acit. Seri buku Chicken Soup for the Soul memuat banyak cerita pendek dari mancanegara, dan banyak kisah tentang pergumulan hidup para protagonisnya. "Aku memang suka baca, tapi bukan yang novel panjang-panjang," kata Acit.
Film juga begitu. "Jadi orang-orang kan suka lihat drakor [drama Korea], aku bilang‚ ‘engga ah,‘ karena waktu itu aku senang Full House," katanya sambil tertawa lagi, dan menambahkan, "Kayaknya males mau nontong yang lain-lain."
Dia bercerita, karena membaca dan belajar dari berbagai pengalaman orang lain, dia merasa lebih dewasa dari umurnya sebenarnya. "Sebenernya experience [pengalaman] itu mahal, kan" kata Acit, "tapi itu juga bisa diperoleh tanpa kita harus mengalami sendiri segalanya."
"Karena ada campur tangan Tuhan"
Acit bercerita, ketika bertolak sendirian ke Belanda dan meninggalkan tanah air, dia benar-benar meninggalkan comfort zone [zona nyaman] yang dia kenal seumur hidupnya. "Bukan karena memang aku mau ingin menetap di sini [di Belanda]. Aku merasa hidup di Indonesia itu lebih baik." Tapi, Acit menerangkan lebih jauh, dia adalah tipe pemimpi. Dia ingin tahu bagaimana rasanya hidup di negara lain.
Waktu itu dia pernah bermimpi, dia berada di negara yang sedang mengalami musim gugur. Tapi dia tidak berpikir itu Belanda, melainkan Amerika. Di mimpi itu ada juga seorang perempuan berkulit putih, yang di mimpi itu sepertinya menjadi ibu mertuanya. Akibatnya, rasa ingin tahunya tambah besar, tapi bukan untuk menetap di negara asing, karena dia merasa hidup di Indonesia sangat nyaman. Ketika berangkat ke Belanda, dia masih bekerja di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan.
"Di Indonesia aku hidup berkecukupan. Tapi kalau untuk membiayai berjalan-jalan ke luar negeri, kayaknya tidak mungkin," cerita Acit. Oleh sebab itu, dia berpikir, mungkin satu hari nanti dia bisa memuaskan rasa ingin tahunya. "Tapi aku juga bukannya yang getol banget pingin ke sana," begitu dijelaskan Acit. Sampai akhirnya, pada suatu hari, itu terjadi tanpa dia usahakan. "Memang Tuhan kasi tanda, and I take it [dan aku ambil kesempatan itu], gitu sih," kata Acit.
Dulu sebelum Facebook mulai jaya, ada wadah sosial hampir serupa, yaitu Friendster. Lewat media ini, Acit punya seorang teman perempuan yang berasal dari Bandung. Teman ini berteman dengan orang lain lagi yang kebetulan berdarah separuh Jerman. "Dia sih, yang ngebuka pikiran aku untuk ke Eropa," begitu diceritakan Acit. Jadi dia berpikir, mungkin bisa mulai menabung, agar bisa pergi ke Eropa.
Tapi tiba-tiba, temannya yang di Bandung mengatakan, dia sangat ingin ke Eropa. Acit menjawab, dia juga, tapi tidak sekedar untuk datang berlibur sebagai turis, melainkan merasakan hidup di Eropa, tapi untuk sementara saja. Ide Acit itu membuat temannya mulai mencari informasi tentang program-program untuk pergi ke Eropa, antara lain program Au Pair.
Ketika diperkenalkan pertama kali dengan program Au Pair, Acit merasa ragu, dan mengatakan dia tidak berani. Tapi temannya berusaha meyakinkan dia dengan menjelaskan, bahwa program itu resmi, dan dia sudah meminta informasi dari penyelenggara program di Indonesia.
Akhirnya Acit bersedia mencoba, karena program yang ditawarkan saat itu lebih menekankan pertukaran kebudayaan. Tentu saja para pesertanya juga mendapat kesempatan untuk belajar bahasa Belanda, walaupun mereka memang punya tugas pula untuk mengurus anak dari keluarga tempat mereka tinggal.
Setelah melihat bahwa peraturan-peraturannya jelas, Acit memberanikan diri untuk ikut program itu. Apalagi temannya juga khawatir, kalau ia pergi sendirian ke Belanda. Akhirnya, tahun 2011 Acit bertolak ke Belanda. Siapa sangka, setelah pergi ke Belanda dan bekerja setahun di program Au Pair, Acit tidak pulang lagi ke Indonesia, karena bertemu dengan pria yang kemudian menjadi suaminya.
Hidup di negeri orang lain dari yang dibayangkan
Tapi jangan dikira, hidup Acit di Belanda bebas dari kesulitan. Dia bercerita, ketika meninggalkan Indonesia, sebenarnya dia masih punya kontrak dengan perusahaan pertambangan batu bara, tempat dia bekerja terakhir di Kalimantan. Jadi ketika bekerja di Belanda, dia tetap harus melakukan sejumlah tugas administratif. "Posisiku di perusahaan memang penting banget. Jadi di Belanda, aku tuh doing multi tasking [melakukan beberapa tugas], gitu lo." Dia menjelaskan pula, di perusahaan tempat dia bekerja, dia tidak hanya terlibat urusan finansial saja, melainkan juga dalam berbagai program yang dia buat.
"Jujur, dari awal, kalau ditanya apa betah di Belanda, sebenarnya aku tuh ga betah. Oh my God! [Ya Tuhan!] Oh begini toh rasanya...," kata Acit yang berusaha mencari kata-kata untuk menggambarkan perasaannya. Dia menerangkan, hidup di Belanda ternyata benar-benar di luar bayangannya.
"Mungkin karena di Indonesia aku juga sudah bekerja, dan dapat fasilitas-fasilitas," kata Acit sambil menganalisa perbedaan situasi di Belanda dan di Indonesia. "Ya ampun, di sini naik sepeda... Ya ampun, jalan kaki, jauhnyaa..." katanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Jadi bukan upgrade [peningkatan] yang aku dapat. Susah amat, ya, hidupku di sini." Dia bercerita, pernah naik sepeda dan menabrak tiang, "Di situ aku nangis. Ya ampun, aku kangen pulang nih."
Selain itu dia juga mengalami tantangan lain, yaitu pengetahuan bahasa Belanda. Dia ingat bagaimana dulu, dia merasa takut jika ditelpon atau harus menelpon orang, dan berbicara dalam bahasa Belanda. Masalahnya, membuat janji untuk hal sehari-hari, biasanya dilakukan lewat telefon, dan tentu dalam bahasa Belanda.
"Aduh kenapa musti lewat telpon, sih," kata Acit mengenang kesulitannya dulu. "Lagi pula di sini ga ada keluarga. Kita jadi satu-satunya orang yang bisa kita harapkan,” kata Acit. Walaupun ada kesulitan itu, Acit punya teman-teman orang Belanda. Menurut dia, dengan teman-temannya tidak ada kendala bahasa, karena mereka semua bisa berbahasa Inggris.
Dia mengaku walaupun banyak tantangan, dia memang sudah terbekali dengan baik, antara lain lewat cerita-cerita di buku Chicken Soup for the Soul, sehingga dia bisa memotivasi dirinya lagi, dan berkata, "I can do it, I can do it [aku bisa, aku bisa]." Memang pergumulan selalu ada, tapi selalu ada hal baik yang bisa kita petik dari pengalaman yang sulit itu, kata Acit.
Menjadi kreator video di negeri orang
Sekarang, setelah tinggal lebih dari sepuluh tahun di Belanda, Acit menjadi kreator video yang sukses dengan nama Acit di Belanda, baik di Facebook, Instagram, maupun YouTube. Tautan ke akunnya, bisa dilihat di akhir artikel ini.
Dia mengatakan, keinginan untuk membuat video berawal dari keinginan untuk mengabadikan momen-momen penting dalam kehidupan keluarganya. Tepatnya sejak anaknya lahir beberapa tahun lalu. "Aku pengen banyak mengabadikan momen-momen kenangan yang suatu saat bisa dilihat anak-anakku, dan teman-teman serta keluarga di Indonesia," kata Acit.
Video-video yang pertama dia buat ternyata mendapat sambutan hangat dan komentar postif. "Aku menjadi semakin semangat," kata Acit. Selain itu, ada efek positif lain yang tidak ia sangka sebelumnya. Ternyata video-videonya juga memberikan inspirasi dan menghibur orang lain. "Rasanya senang juga menjadi berkah untuk orang lain,” kata Acit.
Video-videonya berisi berbagai pengalamannya selama ini di Belanda, juga dengan keluarganya di Belanda. Misalnya betapa susahnya mencari pekerjaan di Belanda, meskipun dia sudah punya pengalaman kerja bertahun-tahun di Indonesia.
Dia bercerita bagaimana setiap malam dia menelusuri semua lowongan kerja, yang tentu tertulis dalam bahasa Belanda. Dia berusaha memahaminya dengan menerjemahkan semua tulisan ke bahasa Indonesia terlebih dahulu. Sementara suaminya membantu dia menulis Curriculum Vitae dalam bahasa Belanda.
Acit bercerita, dulu tantangan terbesar yang ia hadapi dalam pekerjaan tentu juga bahasa. Dia mengemukakan, bahasa Belanda tidak dipelajari di sekolah-sekolah di Indonesia, berbeda dengan bahasa Inggris. Jadi Acit terpaksa mulai dari nol. Itulah yang paling berat, karena hampir setiap hari dia mengirim lamaran, dan hampir setiap hari dia mendapat penolakan. Alasannya selalu, karena kurangnya kemampuan berbahasa Belanda.
Tapi Acit punya prinsip yang kuat yang juga ia bagikan kepada follower atau pengikutnya di media sosial. "Saya yakin dan percaya, memang kita kalau mencari pekerjaan itu, seperti memancing di laut. Kita tidak pernah tahu, aduh siapa yang akan nyangkut ini, pekerjaan apa yang akan nyangkut, kapan akan ada ikan yang nyangkut. Tapi saya yakin dan percaya, pasti suatu saat akan ada. Jadi kita, namanya kalau memancing kan harus terus, jangan menyerah, begitu."
Memang akhirnya usahanya membuahkan hasil. Dia akhirnya mendapat pekerjaan di sebuah hotel berbintang, yaitu untuk "bersih-bersih," kata Acit sambil tertawa terbahak-bahak. Meskipun demikian, dia merasa sangat senang, ketika akhirnya mendapat telefon pemberitahuan bahwa dia bisa datang untuk wawancara.
Siapa sangka, orang yang mewawancara dia berdarah separuh Indonesia, tepatnya Surabaya. Acit mengatakan kepada orang itu, bahwa dia sangat butuh pekerjaan. Memang bahasa Belandanya tidak bagus, tapi dia pekerja keras. Pewawancaranya mengatakan, dia tahu bahwa orang Indonesia itu pekerja keras. "Di situlah saya yakin dan percaya, bahwa saya akan diterima,” kata Acit sambil tertawa. "Memang jalan Tuhan itu luar biasa," kata Acit sambil bersyukur.
Setelah wawancara, dia harus berjalan 20 menit dari hotel ke halte bus. Ketika baru saja duduk di dalam bus, telefonnya berdering, dan dia mendapat pemberitahuan bahwa dia diterima bekerja di hotel itu. Setelah resmi diterima, dia mendaftar untuk belajar bahasa Belanda di universitas Rotterdam. Jadi gajinya hanya digunakan untuk membayar sekolah bahasa, dan sisanya untuk dikirimkan ke ibunya di Indonesia.
Pekerjaan di hotel sangat berat, kata Acit mengenang pengalamannya. Tapi dia bertekad, apapun pekerjaannya, akan dia lakukan dengan bersunggung-sungguh. "Jadi walaupun pekerjaannya berat, pikir saja, nanti gajian," katanya lagi sambil tertawa, dan gajinya lebih dari 20 juta Rupiah per bulan, jadi tidak sedikit. Dia yakin pula, rezeki bisa datang tanpa kita ketahui dan duga sebelumnya. Ternyata benar. Atasannya suka dengan hasil kerjanya, dan berusaha menahan dia untuk terus bekerja di hotel itu. Tapi ketika dia selesai sekolah bahasa, dia mengatakan kepada atasannya, akan melamar pekerjaan lain.
Karena tidak ingin ia pergi, atasannya mengusulkan agar dia melamar pekerjaan sebagai resepsionis, yang kebetulan sedang lowong. "Aduh Tuhan, dari housekeeping disuruh menjadi resepsionis?!" Dia khawatir, karena di Belanda orang yang menjadi resepsionis di hotel biasanya lulusan sekolah perhotelan, dan sudah mengikuti pelatihan di luar negeri, seperti di Dubai atau Amerika Serikat.
Tapi dia akhirnya memberanikan diri untuk melamar. Wawancaranya berlangsung sekitar sejam. Dan para pewawancara merasa kaget ketika melihat Curriculum Vitae milik Acit. Mereka tidak menyangka, pengalaman kerjanya sudah sangat banyak. Akhirnya Acit mendapat pekerjaan sebagai resepsionis, dan seperti dia ceritakan juga kepada pengikutnya di media sosial, gajinya naik menjadi lebih dari 25 juta Rupiah.
Sekarang, Acit sudah beralih ke pekerjaan lain lagi, di mana dia bisa lebih mengatur waktu untuk membesarkan anak. Tapi dulu, selain bekerja di hotel, Acit juga bekerja sambilan di dua restoran Indonesia. Dia menekankan, selain membayar sekolah bahasa, dia juga menggunakan gajinya untuk menanggung ibunya di Indonesia. Dia punya beberapa kakak, tapi mereka juga berkeluarga, dan penghasilannya di Belanda nilainya lebih besar jika ditukarkan ke Rupiah.
"Karena itu saya pokoknya tidak mau menyerah,” kata Acit di depan kamera, "walaupun waktu itu, badan ini tinggal tulang-tulang!” Dia menambahkan lagi sambil tertawa, "Kalau sekarang sudah enak, jadi tambah gemuk.”
Kepada semua orang yang mengira, jika hidup di Eropa pasti enak, Acit menekankan, jika tinggal di negeri orang kita mulai dari nol. Tapi yang penting jangan malu-malu dan jangan gengsi. "Tuhan itu baik sekali. Dia tidak akan membiarkan begitu saja, umatnya yang berusaha, dan berjuang dan penuh pengharapan." (ml/as)
Akun Acit di Belanda di Facebook: https://www.facebook.com/Acitdibelanda
di Instagram: https://www.instagram.com/acit_dibelanda/
dan di YouTube: https://www.youtube.com/@AcitdiBelanda