Di Balik Jeruji Penjara Evin
10 Juni 2013"Bagaimana penjara terlihat dari dalam? - tidak tahu!" Nargess Eskandari-Grünberg menghela nafas sambil menghempaskan badannya di kursi. Politikus berbadan kurus itu sedang menerima tamu di Frankfurter Römer, gedung balaikota yang terletak di jantung keuangan Frankfurt. Eskandari bekerja sukarela di Dewan Kota dan terlibat banyak di bidang integrasi.
Profesi utamanya adalah psikoterapi. Di ruang praktiknya ia sering menerima pelarian Iran yang pernah merasakan keseharian dari balik penjara Evin - instansi paling ditakuti di Iran. "Para narapidana sampai sekarang sering dipaksa memakai tutup mata," katanya. "Saya sendiri tidak bisa menunjukkan pada denah penjara, di mana saya dikurung."
Terkurung di sel kecil bersama belasan lainnya
Ketika masih muda, Eskandari pernah ditangkap dan diseret ke penjara Evin oleh rezim Iran. Dosa yang dibuatnya adalah berdemonstrasi untuk hak-hak perempuan dan reformasi. Perempuan Iran itu mendekam salama beberapa tahun tanpa pernah melewati proses pengadilan. Ketika dibebaskan, Eskandari melarikan diri ke Jerman.
Kisah serupa sering terdengar dari mulut pasien yang datang ke praktik Eskandari. Kebanyakan tahanan politik. "Setelah apa yang saya dengar, penjara Evin tidak banyak berubah. Artinya instansi itu tetap brutal", katanya. "Masalah terbesar adalah minimnya sel dan masalah higienitas. Terlalu banyak tahanan disekap di satu kamar kecil."
Menurut informasi yang ia dapat, setiap sel besar dengan enam toilet diisi oleh 300 hingga 400 narapidana. Jumlah narapidana yang ditahan di penjara Evin tidak diketahui hingga kini. Menurut laporan organisasi HAM, IGFM, penjara itu cuma mampu menampung 320 narapidana. Tapi 2012 lalu, lebih dari 8000 narapidana diyakini mendekam di balik sel-sel kecil.
"Kaki adalah ingatan kedua"
Seperti beberapa dekade silam, kata Eskandari, praktik penyiksaan dan teror masih mendominasi penjara Evin. "Sasarannya mendapat informasi dan memaksa narapidana mengkhianati rekannya. Tujuan lainnya adalah menghancurkan manusia dan identitasnya."
Di penjara-penjara Iran dikenal sebuah pepatah, "Kaki adalah ingatan kedua." Kalimat itu merujuk pada metode penyiksaan di Iran, di mana sipir memecut kaki narapidana untuk mengorek informasi.
Menurut Eskandari, laporan-laporan para pasien menunjukkan bahwa rezim di Iran selama bertahun-tahun terus menyempurnakan metode penyiksaan di penjara. "Metodenya semakin sistematis dan modern," katanya. Luka-luka fisik akan sembuh dengan cepat, yang tersisa adalah trauma. Sebagian besar bekas tapol yang mendarat di ruang praktik Eskandari berjuang melawan rasa bersalah, katanya. "Selama penyiksaan, narapidana dibuat sedemikian menderita sehingga tidak punya pilihan lain, selain menyebut nama. Rasa bersalah itulah yang mengikuti mereka sepanjang hidup."