Dialog Tidak Akan Cukup Menyelesaikan Konflik di Myanmar
23 April 2021Para pemimpin negara-negara Asia Tenggara akan bertemu dalam KTT ASEAN pada Sabtu (24/04) di Sekretariat ASEAN di Jakarta untuk membahas dan merumuskan solusi bersama penyelesaian konflik di Myanmar. "Dari sisi penyelenggaraan KTT itu sendiri memang atas prakarsa dari bapak presiden (Joko Widodo), agar negara ASEAN dapat melakukan suatu pertemuan tingkat tinggi yang dalam hal ini disebut high level meeting,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah.
Faizasyah tidak dapat menyampaikan poin-poin pembahasan dalam KTT ASEAN besok (24/04), tetapi pihaknya berharap pertemuan itu mampu menghasilkan solusi terbaik bagi masyarakat Myanmar.
KTT ASEAN di Jakarta merupakan upaya internasional bersama pertama untuk meredakan krisis politik Myanmar. Namun, pertemuan tersebut juga akan menjadi ujian bagi ASEAN atas langkah kontroversinya dengan menghadirkan pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Dengan berbicara kepada Jenderal Min Aung Hlaing, ASEAN berharap dapat memulai proses kerangka kerja jangka panjang, dimulai dengan mengakhiri kekerasan, yang "diharapkan akan membantu memfasilitasi dialog di antara semua pemangku kepentingan di Myanmar, tidak hanya (dengan) rezim militer.”
Prinsip-prinsip konsensus dan non-campur tangan membatasi kemampuan ASEAN dalam menanggapi pembunuhan ratusan warga sipil oleh tentara junta. Banyak pihak juga menilai pemberian undangan kepada pemimpin junta militer di pertemuan tersebut bukan langkah yang tepat karena menghalangi hubungan ASEAN dengan rakyat Myanmar.
"Pelaksanaan special summit menjadi cukup penting dan kita mengapresiasi inisiatif Brunei Darussalam dan Indonesia untuk menyelenggarakan acara ini, tetapi kalau kemudian mengundang orang yang seharusnya bertanggung jawab dan diadili atas peristiwa krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar, ya tidak tepat,” kata Regional Advocacy Associate dari Asia Justice and Rights (AJAR) Putri Kanesia.
Jaringan organisasi masyarakat sipil Indonesia bersama 45 organisasi non-pemerintah Asia Tenggara meminta ASEAN Special Summit untuk memberikan kursi representasi Myanmar kepada National Unity Government (NGU) sebagai pemerintahan Myanmar yang sah dan dipilih secara demokratis.
"Saya melihatnya bahwa yang harus difokuskan tidak hanya proses summit-nya saja, tetapi hasilnya. Saya dan teman-teman civil society tidak yakin bahwa dalam KTT ASEAN, Jenderal Min Aung Hlaing bisa serta merta mengakui kesalahan dan memberikan kekuasaan kepada yang berhak."
Pemimpin Filipina dan Thailand tidak hadir
Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha dipastikan absen dalam ASEAN Leaders Meeting di Jakarta. Kedua pemimpin negara tersebut mengatakan penularan virus corona menjadi alasan ketidakhadiran mereka.
Meski keduanya menyampaikan turut prihatin dan khawatir terkait situasi di Myanmar, peneliti bidang politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lidya Christin Sinaga, mempertanyakan absennya Duterte dan Prayuth, terlepas dari alasan COVID-19 dan kesehatan yang bisa dimaklumi.
"Sampai ada pertemuan offline berarti ada situasi mendesak, tetapi ketika ada dua pemimpin negara yang tidak hadir, menimbulkan tanda tanya besar," kata Lidya.
Sebagai gantinya, Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai akan mewakili Duterte dan Prayuth dalam pertemuan darurat pada akhir pekan ini.
Rekomendasi membuka akses bantuan kemanusiaan
Menyelesaikan krisis di Myanmar dipastikan tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat sipil meyakini proses ini tidak akan memakan waktu cepat, tetapi mereka berharap ASEAN leader mempunyai strategi khusus dan sikap tegas yang akan diambil dalam pertemuan tertutup tersebut.
"Para pemimpin ASEAN sudah seharusnya tegas, misalnya meminta pemerintahan Myanmar untuk membuka akses humanitarian, karena kita mengetahui ada banyak warga Myanmar yang kesulitan pulang. Mereka tidak bisa masuk ke Thailand atau India, sehingga lari ke gunung dan tempat lainnya, saya pikir kondisi itu membutuhkan intervensi dari internasional community," ucap Putri.
"Rekomendasi agar Myanmar membuka diri dan mengizinkan UN envoy atau ASEAN envoy bisa masuk, harus muncul dari Indonesia, karena Indonesia yang menginisiasi pertemuan ini,” tambahnya.
ASEAN juga diharapkan mampu berkoordinasi dengan Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan PBB untuk segera mengirim delegasi ke Myanmar agar dapat memonitor situasi, menghentikan tindak kekerasan, hingga membantu membangun negosiasi demokratis.
"Pertaruhan tinggi atas krisis Myanmar"
"Komitmen para pemimpin untuk bertemu secara fisik merupakan refleksi kekhawatiran yang dalam ASEAN terhadap situasi yang terjadi di Myanmar dan tekad ASEAN untuk membantu Myanmar keluar dari krisis ini," ucap Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (23/04).
Senada dengan yang disampaikan menlu, Lidya Sinaga menilai pertemuan pemimpin negara Asia Tenggara di Jakarta menunjukkan sikap peduli, eksistensi, dan sentralitas ASEAN atas krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar.
"Diselenggarakan secara langsung (tatap muka), ASEAN memberikan sinyal penting kepada masyarakat internasional bahwa ada urgensi yang mendorong mereka melaksanakan pembicaraan konflik Myanmar di tengah pandemi COVID-19 yang belum mereda di kawasan Asia Tenggara. Secara simbolik, ada pertaruhan tinggi atas krisis Myanmar," katanya kepada DW.
Menurutnya, tidak ada yang bisa menjamin KTT ASEAN akan menghasilkan perubahan signifikan. "Saya tidak bisa membayangkan pertemuan ini mengeluarkan rekomendasi yang diharapkan, tetapi setidaknya saya yakin dan berharap para pemimpin negara Asia Tenggara satu suara atas sikap apa yang harus ditekan terhadap Myanmar," ujar Lidya.
Lebih lanjut Lidya mengungkapkan bahwa Indonesia diharapkan tidak hanya mengupayakan dialog-dialog diplomatik, tetapi juga mampu menggandeng aktor-aktor dari negara lainnya seperti organisasi masyarakat sipil yang mempunyai concern terhadap demokrasi dan HAM di tingkat regional.
"Upaya yang paling penting dilakukan adalah mengembalikan pemerintahan sipil di Myanmar sesuai jalan demokrasi yang telah dirintis selama satu dekade terakhir," ucap Lidya.
(ha/vlz)