Kudeta Myanmar: Sikap ASEAN yang Terpecah
31 Maret 2021Setelah militer Myanmar menggulingkan pemerintah sipil dalam aksi kudeta dan mengambil alih kekuasaan pada tanggal 1 Februari lalu, protes nasional dan kampanye pembangkangan sipil massal terhadap junta militer terus bergulir. Militer membalas dengan melakukan tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa.
Hingga tanggal 26 Maret, tercatat 164 demonstran tewas, demikian menurut angka resmi. Namun menurut data yang diberikan oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 300 orang telah terenggut nyawanya.
Krisis yang tidak kunjung berakhir ini menimbulkan tantangan bagi Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Menulis di Bangkok Post, pakar politik Thailand, Thitinan Pongsudhirak bahkan menyebutnya sebagai "krisis eksistensial”.
Diplomasi dan reputasi ASEAN diuji
Pertama-tama, kini bobot diplomatik aliansi itu dipertaruhkan. Akan menjadi pukulan telak bagi kepentingan ASEAN jika, misalnya, Amerika Serikat membatalkan keikutsertaannya dalam KTT Asia Timur atau KTT ASEAN berikutnya karena tidak siap untuk duduk sejajar dengan para jenderal Myanmar.
Kedua, reputasi ASEAN akan memburuk Gambar demonstrasi massa nasional melawan rezim militer dan para demonstran yang dibunuh dan terluka beredar di seluruh dunia. Hal ini juga mencoreng citra ASEAN. Blok tersebut telah dituduh tidak menganggap serius piagam hak asasi manusianya sendiri.
Ketiga, perpecahan di Myanmar, yang akan membahayakan stabilitas seluruh kawasan. Warga Myanmar, sudah mulai mengungsi ke tempat-tempat seperti India dan Thailand.
Setelah penumpasan kekerasan terakhir atas aksi protes pada tahun 1988, 360.000 orang melarikan diri ke Bangladesh, Cina, India, Malaysia dan, khususnya, Thailand, demikian menurut laporan International Commission of Jurists (ICJ).
Dalam sebuah opini yang ditulis untuk Bangkok Post, mantan Menteri Luar Negeri Thailand, Kasit Pirmoya memperingatkan ancaman "krisis pengungsi" dan destabilisasi wilayah perbatasan.
Dia menambahkan: "ASEAN tidak hanya memiliki hak, melainkan tanggung jawab, untuk bertindak tegas dan mengambil tindakan konkret untuk memastikan bahwa para jenderal Myanmar mengakhiri kekerasan, mengakhiri kudeta mereka, menghormati keinginan rakyat, dan memungkinkan demokrasiberlangsung di Myanmar. "
Reaksi yang terpecah atas kudeta Myanmar
Berbeda dengan imbauan yang sangat jelas dari mantan menteri luar negeri tersebut, pemerintah Thailand, yang berkuasa melalui kudeta pada tahun 2014, sejauh ini menghindari kritik terhadap militer Myanmar, dengan menyebut kudeta tersebut sebagai urusan internal negara itu.
Vietnam, Kamboja, dan Filipina bereaksi dengan cara yang sama. Sementara pemerintah Vietnam dan Kamboja sendiri adalah rezim otoriter, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte telah menyatakan perang terhadap demokrasi di negaranya.
Malaysia dan Indonesia, sebaliknya, menentang junta militer Myanmar dan mengkritik kekerasan di sana. Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin mengungkapkan "rasa jijiknya atas tindak kekerasan mematikan yang terus berlanjut terhadap warga sipil yang tidak bersenjata."
Presiden Indonesia Joko Widodo menyerukan segera diakhirinya kekerasan dan mengumumkan bahwa bersama dengan Brunei, akan mengadakan pertemuan khusus ASEAN. Brunei adalah ketua ASEAN saat ini.
"Dialog dan rekonsiliasi harus segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi, memulihkan perdamaian, dan memulihkan stabilitas di Myanmar," ujar Joko Widodo.
Yang pertama dalam sejarah ASEAN
"Ini adalah pernyataan yang cukup kuat, terutama mengingat pendekatan ASEAN yang biasanya 'tenang' dan tidak mengusik," kata Deasy Simandjuntak, pakar dari Iembaga riset SEAS-Yusof-Ishak-Institute di Singapura, kepada surat kabar Malaysia, The Straits Times.
Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN telah mengupayakan diplomasi secara tertutup dan berdasarkan konsensus.
Dengan pendekatan ini, ASEAN berhasil, misalnya, meyakinkan Myanmar untuk menerima bantuan internasional pada tahun 2008 setelah bencana topan Nargis yang merenggut sekitar 100.000 nyawa korban.
ASEAN menerima Myanmar bergabung ke blok itu pada tahun 1997, meskipun ada tekanan internasional untuk tidak melakukannya.
Kritik publik terhadap Myanmar dan seruan untuk pertemuan puncak yang membahas tentang krisis politik domestik di negara anggota, baru pertama kali ini dilakukan ASEAN. Para jenderal militer Myanmar pasti tidak akan senang dengan kritik yang muncul dari beberapa negara anggota blok itu,karena para jenderal Thailand dibebaskan tanpa sanksi, setelah kudeta 2014.
Faktor lain yang memperumit dialog dengan para jenderal adalah bahwa sejauh ini negara-negara mayoritas muslim di ASEAN mengutuk kudeta dan tindakan keras di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Dan negara-negara ini telah mengkritik kebijakan Myanmar terhadap komunitas Rohingya.
Situasi ini dapat menyebabkan junta militer Myanmar melepaskan beberapa ‘pertemanan‘. Seperti yang dikatakan para jenderal sebelumnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa: "Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selamat ... Kami harus belajar berjalan hanya dengan [beberapa] teman."
Tidak ada keberhasilan tanpa persatuan
Jadi, pertanyaannya adalah, pertama, apakah mungkin menciptakan persatuan yang diperlukan di dalam ASEAN, sehingga para jenderal Myanmar tidak dapat menghindari dialog; dan kedua, apakah pendekatan konfrontatif, menurut standar ASEAN, akan menjadi lebih bisa berhasil dibandingkan diplomasi diam-diam yang biasa dilakukan di masa lalu. Kedua pertanyaan tersebut saling terkait.
Berkenaan dengan pertanyaan pertama, seorang diplomat ASEAN yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada Asian Nikkei Review Jepang: ASEAN "seperti kubus Rubik yang rusak, di mana tidak mungkin untuk mendapatkan semua warna sejajar di satu sisi." (rzn/vlz)