Dollar Mengamuk? Bijaklah dalam Konsumsi Budaya Pop
11 September 2018Tidak hanya nilai tukar rupiah US dollar yang ‘blingsatan'. tetapi juga Euro yang menyentuh angka 17000 rupiah. Pemerintah mulai ketar-ketir. Setelah penutupan Asian Games yang gemilang, Indonesia dikejutkan dengan nilai mata uang yang terus turun, padahal ekonomi berjalan cukup stabil. Mengapa bisa begitu? Selidik punya selidik ternyata tanpa kita sadari kitalah penyebab merosotnya rupiah, khususnya kegiatan konsumsi.
Baru-baru ini ponsel Xiaomi mencatatankan rekor pembelian produknya mencapai 2.000.000 dollar AS dalam penjualan selama 50 menit di Indonesia. Xiaomi adalah merk telpon genggam asal Tiongkok yang menyasar konsumen dari kelas menengah bawah.
Tanpa biaya marketing yang besar-besaran seperti yang dilakukan Samsung dan Iphone, harga jual telpon genggam Xiaomi jauh lebih murah daripada merk lainnya. Selain telpon genggam, ada banyak sekali produk-produk impor yang merajalela dan memenuhi pasar. Belaja produk impor tidak hanya elektronik tapi juga pakaian, produk makanan, hingga jalan-jalan ke luar negeri.
Sebut saja Jihan, perempuan usia 20 tahun yang baru saja lulus kuliah ini belanja online barang-barang seperti Samyang, Squishy dan pakaian-pakaian yang menurutnya mirip dengan yang dipakai tokoh perempuan dalam drama Korea terakhir yang dia tonton. Belum lagi Ilham, akhir tahun 2018 dokter gigi muda ini sudah berencana untuk umroh ke tanah suci dengan paket murah yang ditawarkan oleh berbagai travel agen.
Jihan dan Ilham tidak sendirian, ada ribuan orang muda di Indonesia yang membeli barang impor atau pergi jalan-jalan ke luar negeri. Dan tanpa disadari ternyata berdampak pada ekonomi Indonesia secara umum.
Dari Mata Turun Ke Kantong
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dilandasi oleh konsumsi. Konsumsi juga menjadi penanda stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Supaya menggenjot aktivitas konsumsi ini, masyrakat perlu diberi motivasi. Motivasi konsumsi paling banyak dipengaruhi oleh budaya populer.
Melalui tontonan televisi sehari-hari, feed instagram dan perbincangan di facebook, konsumsi barang impor melalui budaya pop merambah ke alam bawah sadar kita dan ini sudah dibentuk sejak kecil. Ketika saya kecil saya suka sekali menonton anime dari Jepang seperti Doraemon, Tsubatsa, Sailormoon dan Naruto.
Ketika saya tumbuh dewasa istilah kebudayaan Jepang seperti anime, cosplay, makanan kare, sushi atau takoyaki menjadi hal yang tidak asing. Tidak terhitung saya pergi ke festival budaya jepang seperti Gelar Jepang UI, Ennichisai, Jak Japan Matsuri dan sebagainya. Tidak hanya film kartun dan makanan, musik Jepang hingga bahasa Jepang saya geluti. Budaya Jepang dan produk-produknya menjadi tidak asing bagi saya.
Hal yang sama terjadi pada Tika yang membeli produk-produk Korea karena tidak asing dalam drama Korea yang ditonton. Ilham juga melakukan konsumsi karena pergi ke tanah suci adalah bagian dari budaya populer yang mendapat nilai plus, pahala.
Tanpa kita sadari kegiatan-kegiatan konsumsi yang dilakukan berdasarkan budaya pop ini sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah. Budaya pop amat strategis untuk memasarkan barang dan jasa dari luar negeri. Hal-hal yang sebelumnya dianggap asing lalu menjadi kenal dan dekat melalui tontonan, idola dan terus terpapar seiring pertumbuhan seseorang.
Mulai dari individu-individu seperti kita, berton-ton barang impor dari berbagai negara investor dikonsumsi di Indonesia. Salmon yang digunakan untuk membuat sashimi, gochujang, samyang hingga tepung gandum yang tidak tumbuh di negeri tropis. Budaya populer mendekatkan kita pada produk-produk impor dan mengkonsumsinya.
Dibalik Konsumsi Budaya Pop
Masuknya budaya pop yang kita konsumsi sehari-hari dari sinema, musik hingga kuliner dipengaruhi oleh politik dan ekonomi yang lebih besar. Konsumsi kita semua adalah dampak dari kebijakan politik dan ekonomi negara Indonesia.
Konsumsi menjadi penanda kesehatan pasar, kesehatan pasar ini yang dijadikan tolak ukur negara-negara asing melakukan investasi di Indonesia. Dari awal negara-negara seperti Tiongkok, Jepang dan Korea memang melakukan investasi dan menjadikan Indonesia sebagai pasar dari produk-produknya.
Sialnya, masuknya produk-produk impor tidak dibarengi dengan ekspor produk-produk lokal, akhirnya konsumsi yang menjadi energi bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi berbalik membuat nilai tukar rupiah menurun.
Pada budaya pop yang kita konsumsi setiap hari ternyata tidak polos, selain berdampak pada konsumsi produk impor besar-besaran, budaya pop juga dipengaruhi kondisi politik. Dalam sejarah Indonesia, masuknya budaya pop selalu dipengaruhi kondisi politik dan hubungan diplomatik negara.
Misalnya budaya pop Amerika ke Indonesia pada tahun 90-an berkembang bersamaan dengan masuknya besar-besaran investasi Amerika ke Indonesia. Sebelum budaya pop Amerika merajalela ada lobi-lobi politik pemerintahan Soeharto pada masa perang dingin.
Tahun 90-an adalah fase akhir perang dingin membuka lahan investasi asing khususnya pada negara pemenang perang, Amerika. Investasi Amerika melalui budaya pop muncul melalui tayangan televisi MTV, merebaknya restoran cepat saji Amerika dan lain-lain.
Selain menjadi cara marketing produk yang efektif, budaya populer juga membuka jalan pada investasi Asing dalam bidang strategis seperti perikanan, pusat perbelanjaan, otomotif dan pertambangan.
Budaya pop membuat kegiatan belanja menjadi sangat dilematis, di satu sisi kita dipengaruhi tayangan hiburan untuk membeli produk walaupun itu membuat nilai rupiah anjlok. Di sisi lain sulit menemukan produk Indonesia yang berkualitas sepadan. Produk Indonesia kalah saing dalam industri hiburan tanah air, padahal melalui budaya pop, produk-produk Indonesia bisa dikenal oleh bangsanya sendiri.
@Nadyazura
Essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.