Eco Enzyme, dari Sampah Organik Jadi Larutan Multifungsi
24 Juni 2022Berbagai upaya dan kampanye sampah saat ini lebih banyak digencarkan pada pengelolaan sampah plastik yang sulit terurai. Namun, bagaimana dengan sampah organik yang kebanyakan tidak diolah kembali dan berakhir di tempat pembuangan akhir atau TPA?
Menurut catatan Kinerja Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, pada tahun 2021 timbunan sampah di 207 kabupaten atau kota se-Indonesia mencapai lebih dari 25.600 ton. Sekitar 40% dari jumlah tersebut adalah sampah rumah tangga dan 29,5% di antaranya adalah sisa makanan.
Sebenarnya, sebelum berakhir di TPA sampah organik masih bisa diolah menjadi berbagai produk alami seperti pupuk kompos, dan bahkan eco enzyme yang belakangan mulai populer.
Berbeda dengan kompos dan bokashi yang penggunaannya terbatas sebagai pupuk, eco enzyme diklaim multifungsi. Mulai dari pupuk organik, pestisida alami, hingga pembersih lantai.
Apa itu eco enzyme?
Jokoryanto, relawan dan salah satu pendiri komunitas Eco Enzyme Nusantara mengungkapkan bahwa cairan ini adalah hasil fermentasi dari sisa kulit buah, sayur, dan sampah organik lainnya yang dicampur dengan gula dan air. Komunitas Eco Enzyme Nusantara rutin berbagi pengetahuan tentang proses pembuatan dan pemanfaatan eco enzyme.
"Bukan sampah organik, tapi bahan organik. Karena kalau sampah sudah dibuang di TPA dan kalau pakai istilah sampah itu orang jijik. Ini masih bahan organik, bahan sisa yang tidak terpakai lagi," kata pria yang dipanggil Joko kepada DW Indonesia.
Joko mengatakan bahwa eco enzyme ditemukan oleh seorang ahli pertanian organik dan ahli pengobatan alternatif dari Thailand bernama Dr. Rosukon Poompanvong.
"Awal mulanya Dr. Rosukon ini terlahir punya masalah kelainan darah, sejenis leukimia, dia tidak tahan dengan bahan kimia apa pun. Tapi dia bekerja di bidang pertanian dan dia merasa tidak sehat karena bahan kimia yang dipakai di pertanian. Akhirnya dia meneliti bahan alami apa yang bisa mengganti penggunaan bahan kimia tersebut," kata pria yang memulai komunitas ini sejak 2019 lalu.
Masih cerita Joko, Rosukon awalnya melakukan penelitian untuk mencari alternatif dari bahan kimia untuk dipakai di pertanian organik. Namun ia kemudian malah menemukan cara untuk mengolah berbagai sisa bahan organik seperti kulit buah dan sayur dari limbah rumah tangga.
"Dia sengaja tidak mematenkan eco enzyme yang diteliti selama 30 tahun ini agar bisa dibuat semua orang. Harapannya semua orang bisa mengolah sisa bahan organik rumah tangganya sendiri," ucapnya.
Apa saja klaim manfaatnya?
Dr. Arie Srihadyastutie, dosen program studi kimia di Universitas Brawijaya, Malang, mengungkapkan bahwa larutan eco enzyme terbentuk dari proses proses fermentasi fakultatif anaerob atau fermentasi yang terjadi dengan atau tanpa membutuhkan oksigen. Proses fermentasi mulai terjadi ketika mikroba yang hidup dalam sisa bahan organik mengolah gula sebagai sumber energi dan menghasilkan berbagai enzim alami.
Salah satu bakteri yang tumbuh dalam pembuatan eco enzyme adalah bakteri asam laktat yang mengubah oksigen menjadi senyawa hidrogen peroksida (H2O2). Senyawa tersebut akan bersifat toksik atau beracun pada bakteri patogen atau bakteri berbahaya yang tumbuh di larutan eco enzyme. Namun dalam dosis rendah, hidrogen peroksida juga berguna untuk desinfektan.
Selain hidrogen peroksida, kandungan bahan aktif di dalam larutan tersebut antara lain yakni etanol dan asam organik seperti asam astetat. Sedangkan enzim yang ada di dalamnya antara lain amilase, lipase, dan protease.
"Ketiga jenis enzim itu sudah pasti ada di dalam semua jenis eco enzyme. Enzim alami lainnya pasti ada, tapi itu tergantung dari bahan organik yang dipakai."
Untuk mendapatkan keragaman bakteri menguntungkan dalam satu cairan eco enzyme, Arie menyarankan agar mencampur lima jenis atau lebih banyak bahan organik dalam satu kali pembuatan cairan.
Sebelum digunakan, cairan ini harus diencerkan dengan menambahkan air karena eco enzyme memiliki pH atau derajat keasaman yang rendah. Semakin rendah pH-nya, semakin cairan bersifat asam.
Jokoryanto dari Eco Enzyme Nusantara mengungkapkan komunitasnya pernah beberapa kali melakukan aksi hijau untuk menjernihkan air sungai, penyemprotan tempat pembuangan sampah di Suwung, Bali, dan proses desinfektasi.
"Kami pernah melakukan penyemprotan selama 1 bulan di TPA Suwung yang bau. Sehari penyemprotan menghabiskan 40 ribu liter eco enzyme. Hasilnya bagus, sudah tidak bau lagi," ucapnya diikuti tawa.
Aroma akhir tergantung bahan bakunya
Pada dasarnya, eco enzyme bisa dibuat dari beragam sisa bahan organik rumah tangga. Kunci pembuatan cairan ini terletak pada rasio 1:3:10 untuk gula, bahan organik, dan air.
Dina Istiqomah, dosen di Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto, mengatakan takaran tersebut adalah rasio termudah yang bisa diterapkan untuk produksi rumahan. Pembuatan eco enzyme ini bisa dilakukan dengan mencampur 10 liter air dengan 1 kg gula dan 3 kg bahan organik.
Gula merah dianggap paling baik dibandingkan jenis lain lantaran tidak mengalami proses pemutihan dan pengkristalan seperti gula pasir. Proses pemutihan dan pengkristalan ini, menurut Dina, bisa berefek pada keragaman mikroba dan enzim akhir yang dihasilkan.
Semua bahan ini dicampur menjadi satu wadah plastik yang ditutup rapat. Ia menyarankan untuk menghindari wadah kaca atau logam karena fermentasi akan menimbulkan gas dan asam. Proses fermentasi yang memakan waktu sekitar 3-6 bulan ini akan mengubah bahan organik, gula, dan air menjadi eco enzyme.
"Lama fermentasinya tergantung daerahnya, untuk subtropis 6 bulan, tropis 3 bulan sudah bisa panen," ujar Dina kepada DW Indonesia. Setelah tiga bulan, eco enzyme akan matang dan bisa diketahui dari aromanya yang harum sesuai bahan organik asal dan aroma manis gula.
Untuk menghasilkan aroma akhir yang harum, Dina menganjurkan memakai campuran 60% kulit buah dan 40% sisa sayur
"Kekurangannya, bahan organiknya itu harus segar, tidak bisa yang sudah busuk. Caranya adalah dengan dikumpulkan dulu dalam plastik dan masukkan ke lemari es sampai bahan yang dibutuhkan terkumpul," ujar Dina.
Ia juga mengatakan bahwa membuat eco enzyme tidak bisa menggunakan bahan organik yang keras seperti kulit singkong atau sabut kelapa. Selain itu, bahan kering, bahan berminyak, misalnya ampas kelapa juga tidak bisa dipakai lantaran kandungan lemak dan minyak di dalamnya. Bagaimana, Anda tertarik mencoba buat eco enzyme sendiri di rumah? (ae)