Feminis Pakistan Enggan Bahas Pemerkosaan dalam Pernikahan
14 April 2022Sejak aksi damai pertama pada tahun 2018, perjuangan untuk hak-hak perempuan telah tumbuh menjadi gerakan skala besar di Pakistan, negara yang menjunjung budaya patriarki. Kaum feminis Pakistan tak henti-hentinya mengkampanyekan hak otonomi tubuh, ruang publik yang lebih aman, dan diakhirinya kejahatan seksual dengan kekerasan.
Kampanye seperti #MeToo dan #TimesUp juga telah memberikan perempuan lebih banyak platform publik, untuk mengekspos pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, kaum feminis Pakistan tampaknya ragu-ragu dalam menangani masalah pemerkosaan dalam perkawinan, di mana seorang suami memaksa istrinya melakukan aktivitas seksual di luar kehendaknya.
Pakistan tetap menjadi salah satu dari 36 negara yang belum secara eksplisit mengkriminalisasi pemerkosaan dalam pernikahan. Negara lainnya yang juga belum mengatur KDRT semacam itu antara lain Bangladesh, Afghanistan dan India.
Ambiguitas hukum perkosaan dalam pernikahan
Sebagai preseden hukum yang positif, antara lain keputusan pengadilan di negara bagian Karnataka, India baru-baru ini, yang menolak untuk membatalkan kasus pemerkosaan yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya. Langkah pengadilan di India itu, telah memberikan harapan bahwa perdebatan tentang pelarangan pemerkosaan dalam pernikahan akan terus berlanjut.
"Pemerkosaan adalah pemerkosaan, baik itu dilakukan oleh laki-laki, 'suami', pada perempuan, 'istri'," kata hakim. Meskipun langkah tersebut tidak menghapus "pengecualian pernikahan" yang mendefinisikan pemerkosaan dalam hukum India, keputusan itu akan mengharuskan suami untuk diadili dalam kasus tunggal ini.
Di Pakistan, situasi hukum pemerkosaan dalam pernikahan tidak jelas. Pada tahun 1979, hukum Pakistan mendefinisikan pemerkosaan sebagai seks paksa di luar pernikahan.
Pada tahun 2006, RUU untuk melindungi perempuan diperkenalkan, yang mendefinisikan ulang pemerkosaan sebagai seks tanpa persetujuan perempuan. Meskipun definisi ini berpotensi menjadikan pemerkosaan dalam pernikahan sebagai kejahatan yang dapat dihukum, tidak ada penyebutan khusus tentang pernikahan dalam perubahan tersebut. KUHP yang disahkan tetap ambigu.
Sara Malkani, seorang pengacara pengadilan tinggi di Pakistan, mengatakan kepada DW, "tidak ada hukuman yang diketahui atas dasar pemerkosaan dalam perkawinan" di Pakistan. Dia menambahkan bahwa pengaduan resmi tentang pemerkosaan dalam pernikahan sangat sedikit dan jarang.
"Bahkan jika pengaduan diajukan, kasusnya tidak berlanjut ke pengadilan," katanya.
Pemerkosaan di Pakistan tersembunyi di balik agama
Di tempat-tempat di mana pemerkosaan dalam perkawinan tidak dilarang, banyak perempuan tidak melaporkan suaminya karena mereka merasa malu dan tahu bahwa hal itu tidak akan dituntut. Konteks agama dalam perkawinan juga sering dijadikan sebagai tameng dari tindakan hukum.
Shireen Ferozepurwalla, seorang penyintas pemerkosaan dalam pernikahan di Karachi, Pakistan, meminta cerai atas dasar "kekerasan dalam rumah tangga", karena pemerkosaan dalam pernikahan jarang dianggap sebagai alasan untuk berpisah.
Ferozepurwalla mengatakan, mantan suaminya akan mencoba dan menggunakan agama untuk memaksanya berhubungan seks.
"Suami saya akan memberi tahu saya bahwa para malaikat akan mengutuk saya karena menyangkal dia [seks]," katanya kepada DW.
"Dia akan mengatakan jika saya membuatnya senang di tempat tidur, saya akan langsung masuk surga, dan jika dia marah kepada saya, tidak peduli apa yang saya lakukan, saya akan masuk neraka," kata Ferozepurwalla.
Haroon Ghazi, seorang ulama Islam sayap kanan di Pakistan, kepada DW mengatakan, dalam budaya Islam, "menandatangani perjanjian pernikahan dengan sendirinya menetapkan persetujuan" untuk seks. Namun, Ghazi menambahkan bahwa memukuli istri dianggap dosa.
Pemerkosaan dalam pernikahan pada manifesto feminis Pakistan
Gerakan feminisme Pakistan menangani serangkaian masalah yang berbeda selama demonstrasi tahunan. Pawai terbaru berfokus pada penerapan hak-hak buruh bagi perempuan. Namun, berlanjutnya prevalensi kekerasan berbasis gender menimbulkan pertanyaan mengapa lingkaran feminis Pakistan tidak berbicara secara tegas tentang pemerkosaan dalam pernikahan.
Seorang penyelenggara aksi damai, yang meminta namanya tidak disebutkan karena masalah keamanan, mengatakan kepada DW, salah satu alasan utama pemerkosaan dalam pernikahan tidak banyak dibahas adalah karena tidak dilaporkan. Kaum feminis memang mengakui ada pemerkosaan dalam perkawinan, tetapi perempuan enggan untuk maju karena mereka mempertanyakan kesucian institusi pernikahan.
"Hanya karena ini bukan diskusi arus utama, bukan berarti percakapan seputar itu tidak terjadi. Faktor pendukung pemerkosaan seperti pelanggaran persetujuan juga sama pentingnya," katanya.
Aktivis itu terus mengatakan, gerakan feminisme Pakistan adalah "gerakan rakyat", dan bahwa tuntutan untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu tersebut harus datang dari masyarakat.
Zohra Yusuf, mantan Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, mengatakan kepada DW, korban perkosaan dalam pernikahan sering bingung tentang hak mereka sendiri.
"Terkadang, perempuan sendiri percaya bahwa suami mereka berhak untuk menuntut seks kapan pun mereka mau," katanya kepada DW.
"Kurangnya kepekaan dari pihak berwenang dan reaksi awal dari polisi terhadap setiap kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak menggembirakan," tambahnya.
Yusuf mengatakan, kekerasan suami-istri sering tidak terkendali karena penegak hukum memperlakukannya sebagai "masalah keluarga", yang membuatnya terlarang bagi orang luar untuk campur tangan.
Namun, para feminis juga mengatakan, pihak berwenang Pakistan perlahan-lahan menyadari kekerasan berbasis gender, tetapi sistem sosial Pakistan perlu berbuat lebih banyak untuk memberikan dukungan kepada para korban dalam struktur hukum.
(ha/as)