Opini: Sebuah Naskah Unik Di Masa Yang Ganjil
5 Oktober 2020Tidak sepatah kata pun Ensiklik Kepausan terbaru mengulas pelecehan seksual dan kultur klerikalisme, tidak ada tentang hak aborsi dan perlindungan janin di kandungan.
Surat Paus tidak pula membahas situasi sulit gereja di Cina. Atau tentang forum sinode tertentu dan gejolak yang dihadapi sistem Gereja Katolik Roma,tentang skandal keuangan dan kebigotan yang menyertainya. Tidak pula Einsiklik itu mengupas Ekumenisme gereja, atau mengomentari percekcokan seputar Ekaristi dan Perjamuan Kudus.
Bahwa pada bagian tertentu, isu sampingan seperti seruan antimafia tetap menemukan tempatnya di dalam Ensiklik Kepausan, tidak lain disebabkan oleh panjangnya proses redaksional pembuatan dokumen semacam itu, dan tidak menambah kualitas naskah yang dihasilkan.
Paus Fransiskus menulis sebuah Ensiklik di tengah tragedi corona. Naskah itu ditulis untuk melawan praktik “saling menundukkan dan mengacuhkan,” atau “budaya sekali pakai,” yang harus dilawan dengan “sebuah mimpi persaudaraan dan persahabatan sosial.” Proses penulisan naskah sudah dimulai sebelum pandemi merebak.
Maka isu-isu yang justru menajamkan pemikian seputar tantangan corona adalah apa yang diulas dan dikecam Paus Fransiskus: ketamakan, dominasi kekuatan-kekuatan bisnis, pengabaian terhadap kemaslahatan bersama, penyangkalan tanggungjawab sosial dalam kepemilikan, pengucilan kaum migran, sebuah bentuk baru kolonilaisme budaya, dan “kebencian yang merusak di internet.”
Paus juga menegaskan sikap gereja menolak senjata nuklir, perang atau hukuman mati.
Meski pemilu kepresidenan di Amerika Serikat tidak disebut secara eksplisit, nilai-nilai di dalam sulat tersebut yang terasa lumrah buat pembaca Eropa, bagi Amerika Serikat sebuah provokasi, di dalam sistem, di mana kekayaan dan keuntungan pribadi tidak mengenal tanggungjawab sosial, di mana pemerintahan Donald Trump merayakan eksekusi mati di dalam kampanye dan mengagungkan kekuasaan yang kuat atas yang lemah.
“Di dalam dunia saat ini, rasa keberpihakan kepada kemanusiaan menyusut, sementara impinan membangun keadilan dan perdamaian bersama terlihat seperti utopi dari masa yang lain,” tulis Paus.
Dia sebaliknya menempatkan “martabat manusia yang tidak bisa djual beli, terlepas dari asal, warna kulit atau agama,” sebagai “hukum tertinggi rasa saling cinta antara saudara.” Terutama desakan untuk “mengkaji ulang fungsi sosial kepemilikan,” meski sudah dikenal di sistem sosial Eropa, tapi masih asing bagi Amerika Serikat.
Sang Revolusioner
Namun Ensiklik terbaru Fransiskus punya daya tarik lain. Yakni betapa tulisannya itu menceritakan banyak hal tentang kepribadian Sri Paus. Karena “Fratteli Tutti” (Semua Bersudara), menunjukkan secara jelas bagaimana pemimpin spiritual Gereja Katolik Roma itu menyusuri jejak Santo Fransiskus dari Assisi, yang pada masanya sekitar 800 tahun lalu dianggap sebagai seorang revolusioner di kalangan gereja.
Ketika pada 2013, Jorge Mario Bergoglio, kardinal asal Argentina yang menjadi Paus pertama yang memilih nama Fransiskus, media dan khalayak ramai melihatnya sebagai sebuah idealisme dan sebuah langkah yang mengesankan.
Awal 2019 Fransiskus menjadi Paus pertama yang mengunjungi semenanjung Arab. Di Kairo dia menemui salah seorang otoritas keagamaan tertinggi di dalam Islam Sunni, Imam al Azhar, Ahmad al-Tayyeb, dan menandatangani sikap bersama. Kunjungan tersebut menjadi sensasi. Karena 800 tahun sebelumnya, pada tahun 1219, Santo Fransiskus menyambangi Sultan Malik al-Kamil di tepi sungai Nil dan menjadi duta perdamaian selama Perang Salib yang berkecamuk seterusnya.
Awal Oktober 2020 lalu, Fransiskus yang sebenarnya hidup menyendiri di Vatikan selama wabah corona, pergi ke Assisi sehari sebelum pemublikasikan “Fratelli Tutti,” untuk mendatangani Ensiklik itu di sana, pada hari kematian ke794 Santo Fransiskus. Sri Paus adalah yang pertamakali menandatangani Ensikliknya di desa kecil di jantung Italia itu.
Sebagai perbandingan terakhir, saat tengah sekarat, Santo Fransiskus merebahkan diri tanpa sehelai pakaian di lantai sebuah kapel, telanjang di hadapan Tuhan. Bukankah ketelanjangan juga menaungi Paus Fransiskus, ketika dia berdoa di Lapangan Santo Petrus, sendirian di dalam gelap, demi berkah bagi dunia yang sedang dilanda wabah corona?
Menelusuri jejak sejarah Santo Fransiskus
Semua jejak dari tahun-tahun yang telah lewat itu terkuluminasi di dalam “Fratelli Tutti.” Di lima bagian yang tersebar di dalam surat itu, dari bab pembuka hingga penutup, Paus menyebut nama Imam al-Azhar, Ahmad al-Tayyeb. Hal ini mencolok karena dia tidak menyebut nama lain sesering itu. Dan Ensiklik itu diakhiri dengan seruan yang juga tercantum dalam dokumen bersama di pertemuan puncak di Abu Dhabi, yakni “Seruan untuk perdamaian, keadilan dan persaudaraan.”
Ensiklik yang ditulis Paus adalah sebuah ajakan untuk mengidentifikasikan diri dengan mereka yang kekurangan, di masa wabah corona, di tengah kebangkitan Populisme dan Nasionalisme, mencuatnya kemiskinan atau kekayaan.
Dalam tulisannya itu, Jorge Mario Bergoglio, mengemban tradisi kepausan, tapi di antara segalanya dia sedang mengikuti jejak Santo Fransiskus. Dan jejak itu membawanya keluar dari himpitan protokol gereja. “Kita adalah umat agama-agama yang berbeda,” tulisnya. Sri Paus sedang menghadap “semua manusia yang memiliki niat baik.”
Di tengah gejolak wabah corona, atau gesekan yang disebabkan geliat kaum populis di pucuk kekuasaan, Fransiskus mengingatkan dengan jelas, bahwa jalan agama harus tetap menjadi jalan semua agama. Bagi sebagian di Eropa, atau khalayak ramai di Amerika Serikat, tulisannya itu bisa dianggap sebuah provokasi. Ini memang sebuah Ensiklik yang patut dikenang.
(rzn/vlz)