Indonesia Masih Perlu Tingkatkan Kualitas Pendidikan
24 Januari 2020Pada Desember 2018, PBB mengesahkan Hari Pendidikan Internasional yang diperingati pada 24 Januari setiap tahunnya. Meski baru seumur jagung, peringatan ini mestinya jadi refleksi menyikapi segudang permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia.
Negara-negara yang terlibat dalam pencetusan peringatan Hari Pendidikan Internasional menginginkan adanya keterbukaan akses pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh pelosok negara di dunia. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Melansir data Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2018, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah, meski perluasan akses pendidikan untuk masyarakat sudah meningkat cukup signifikan. Dalam laporan berjudul "The Promise of Education in Indonesia", Bank Dunia menyebut Indonesia telah meraih kemajuan penting dalam meningkatkan akses pendidikan, khususnya bagi anak-anak kurang beruntung. Namun, sayangnya kualitas pendidikan Indonesia masih menjadi masalah.
Pemerhati pendidikan, Asep Sapa’at menilik masalah terbesar pendidikan Indonesia terkait kualitas dan akses. Menurutnya, data memang menyebutkan anak-anak Indonesia yang bersekolah sudah diatas 90 persen dan angka putus sekolah sudah lebih rendah. Namun pertanyaannya apakah anak-anak Indonesia sudah benar-benar belajar.
‘’Pendidikan abad 21 itu kita harus memiliki sistem yang membuat anak-anak kita bisa optimal, bisa berdaya, memiliki cara kualitas berpikir kritis dan kreatif. Kemudian kemampuan kolaborasi kreatifitas dan komunikasi,’’ ujar Asep.
Baca juga: Belajar Coding Sedang Tren Bagi Anak-anak di Cina, Bagaimana Dengan Indonesia?
Guru instrumen terpenting
Asep yang juga General Manager Pendidikan Dompet Dhuafa ini menyebutkan dalam sistem pendidikan itu, ada kompetensi guru yang perlu ditingkatkan.
‘‘Problem kita masih seputar guru. Karena guru adalah instrumen yang bisa mengeksekusi semua kebijakan. Jadi kualitas guru nanti dampaknya pada kualitas pembelajaran,‘‘ jelasnya.
Guru yang berkompentensi baik diharapkan mampu memenuhi hak-hak belajar anak, mengoptimalkan kualitas pendidikan anak agar mampu bersaing di dunia global.
Senada dengan Asep, pengamat pendidikan Budi Trikorayanto juga menilai di era pendidikan 4.0, seharusnya guru tidak lagi menjadi ‘narasumber’ utama dalam sistem pembelajaran melainkan sebagai pendamping, penyemangat dan fasilitator.
“Jadi kita masih menganut pendidikan massal, sekolah masih ‘pabrik’ , itu kan edukasi 2.0. Kita sudah di edukasi 4.0 yang sudah zamannya artificial intelligence (AI) bukan lagi pabrik,” ujar Budi kepada DW Indonesia.
Kesenjangan pendidikan masih tinggi
PBB mengimbau seluruh pihak baik pemerintah maupun instansi publik bahu-membahu menyukseskan pendidikan yang layak bagi masyarakat di dunia. Hari Pendidikan Internasional harusnya menjadi langkah awal untuk membuka mata dunia bahwa pendidikan masuk dalam aspek krusial dari pembangunan berkelanjutan.
Di Indonesia, kesenjangan pendidikan antara yang kaya dan miskin masih menjadi tantangan.
‘’Untuk masyarakat kelas atas, negara tidak perlu urus lagi, saya banyak berinteraksi dengan orang-orang kaya, mereka memang sudah sadar dan sangat paham bagaimana memastikan anak-anaknya ini bisa meraih masa depan. Mereka punya road map, strategic plan agar anak anaknya jadi orang berhasil,’’ jelasnya.
Sedangkan bagi masyarakat miskin, Asep menyebutkan mereka belum mendapat akses guru yang berkualitas, infrastruktur yang memadai dan memungkinkan anak-anak belajar optimal.
‘’Pesan untuk pemerintah hari ini, konsentrasinya bagaimana memastikan semua anak-anak terutama di daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar), punya akses guru, sistem pembelajaran dan infrastruktur yang berkualitas. Itu yakin akan mendongkrak kualitas bangsa kita,’’ sebutnya.
Indonesia dibandingkan negara tetangga
Merujuk pada survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Desember 2019 di Paris, Indonesia disebut menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. PISA adalah survei evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah. Penilaian dilakukan setiap tiga tahun sekali dan dibagi menjadi tiga poin utama, yakni literasi, matematika dan sains.
Dalam survei itu, Malaysia menempati peringkat ke-56, sedangkan Singapura berada di puncak dengan menempati peringkat nomor dua teratas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan alokasi anggaran pendidikan telah menyerap 20 persen dari total APBN, namun hasilnya tidak memuaskan.
"Sekarang hampir 10 tahun mengadopsi 20 persen anggaran pendidikan di APBN. Namun hasilnya tidak sebesar seperti di Vietnam," ujar Sri Mulyani, pada Jumat (9/8/2019), seperti dilansir dari Kompas.
Dalam pidatonya mengenai Nota keuangan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN), Presiden Joko Widodo meyebutkan anggaran pendidikan 2020 sebesar Rp 505,8 triliun. Angka ini meningkat 2,7 persen dari tahun sebelumnya yakni sebesar Rp 492,5 triliun.
Dengan anggaran pemerintah sebesar itu, Asep menilai Indonesia harusnya Indonesia bisa membangun sistem yang lebih baik di era pendidikan 4.0.
‘‘Problem tidak di anggaran, tapi bagaimana membangun ekosistem yang bisa melakukan proses kolaborasi, antara pemerintah, dunia usaha, civil society, NGO, ini hal yang luar biasa,‘‘ jelasnya.
Asep menekankan pembangunan pendidikan Indonesia pun butuh dilakukan secara kolaboratif bukan kompetitif.
''Konsep sekolah, jika pemerintah mau, buatlah kebijakan. Kita kenal sekolah favorit, parameternya harus diganti. Sekolah favorit itu bukan dia harus melejit sendirian, tapi buat kebijakan yang disebut sekolah favorit adalah yang kepala sekolahnya itu harus sharing ke lima kepala sekolah di sekitar skeolah dia. Lalu mendorong misalnya dalam waktu setahun, kualitas sekolah yang dibina oleh kepala sekolah itu sama atau lebih baik dengan sekolah yang dibina beliau,'' ujarnya.
pkp/vlz (dari berbagai sumber)