Hong Kong: Media Tidak Boleh Berbuat “Makar”
22 Juni 2021Hong Kong dulu dikenal sebagai batu loncatan bagi media-media internasional untuk mengakses wilayah Asia Timur dan Tenggara. Namun menyusul pemberlakuan UU Keamanan Nasional 2020 lalu, reputasi tersebut perlahan luntur.
Pekan lalu pemerintah membekukan aset harian pro-demokrasi terbesar Hong Kong, Apple Daily, dan menahan lima anggota dewan direksi. Dua petinggi dikenakan dakwaan "persekongkolan jahat” dengan pihak asing, lantaran dituduh menuntut sanksi terhadap Hong Kong lewat pemberitaannya.
Manajemen Apple Daily saat ini tengah mengusahakan pencairan aset untuk membayar gaji pegawai. Jika tidak dikabulkan, harian yang didirikan pada 1995 itu akan terbit untuk terakhir kalinya pada Sabtu mendatang.
"Masalahnya bukan pada kritik terhadap pemerintah Hong Kong, melankan niatan untuk mengorganisir aktivitas yang menghasut tindakan makar terhadap pemerintah. Ini tetunya hal berbeda” kata Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam.
"Media harus bisa membedakan antara kedua hal,” imbuhnya.
Berbeda dengan Cina yang mewajibkan media dikuasai negara, Hong Kong menjamin kebebasan berbicara dan kebebasan pers dalam konstitusinya. Status istimewa itu perlahan surut ketika Hong Kong dilanda gelombang protes massal antara 2019-2020. Akibatnya Beijing menerbitkan serangkaian aturan yang mengkriminalisasi laporan media.
"Bukan serangan terhadap kebebasan pers”
Lam mengklaim penggeledahan terhadap Apple Daily bukan serangan "terhadap kerja jurnalistik normal.” Dia menuduh harian milik taipan Jimmy Lai itu mengancam keamanan nasional Cina lewat pemberitaannya.
Ketika ditanya definisi pemerintah terkait kerja jurnalistik yang normal, dia menjawab "saya kira Anda berada dalam posisi yang lebih baik untuk menjawab pertanyaan itu.”
"Jangan mencoba menuduh pemerintah Hong Kong menggunakan UU Keamanan Nasional sebagai alat untuk memberedel media atau membatasi kebebasan berekspresi,” kata dia, merujuk pada reaksi Amerika Serikat terkait kasus Apple Daily.
"Semua tuduhan yang dibuat pemerintah AS adalah keliru,” imbuhnya.
Apple Daily sejak dini mengawal peralihan kekuasaan dari Inggris ke Cina di Hong Kong. Pada 2019, survey yang digalang Reutes menempatkan media tersebut sebagai sumber informasi nomer dua yang paling sering diakses penduduk Hong Kong.
Pasca pembekuan aset dan penggerebekan pekan lalu, Apple Daily mengaku terpaksa menghentikan operasi, selambatnya hari Jumat. Saat ini sejumlah pegawai dikabarkan sudah mulai mengundurkan diri.
Pada Senin (21/6), pembawa acara siaran berita online Apple Daily telah lebih dulu pamit, dan mengumumkan berakhirnya program untuk waktu yang tidak ditentukan.
rzn/hp (afp,rtr)