Indonesia dan Larangan Menghina Presiden
10 Agustus 2015Pemerintahan Joko Widodo mengajukan RUU KUHP yang sudah digodok sejak era Yudhoyono ke DPR. RUU itu tetap memuat pasal-pasal larangan penghinaan terhadap presiden dan wakilnya dengan sanksi pidana penjara. Padahal pasal-pasal tersebut tahun 2006 sudah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menerangkan, usulan pemerintah memasukkan lagi pasal larangan penghinaan terhadap Presiden dalam RUU KUHP adalah untuk melindungi Presiden dari fitnah. Menurut dia, usulan pasal tersebut berbeda dengan pasal larangan penghinaan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006.
"Kalau sekarang yang di KUHP itu pasal karet, siapa pun bisa dikenakan tergantung interpretasi penegak hukum. Nah kalau yang di RUU (KUHP) yang baru itu pasalnya lebih jelas," kata Teten di Jakarta minggu lalu.
Jokowi Mendukung
Presiden Jokowi sendiri mengambil posisi agak netral, sambil menyuarakan dukungan.
'"Gini ya, jadi wali kota, gubernur, atau presiden itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari-hari. Biasa. Kalau saya mau, ribuan yang kayak gitu bisa dipidanakan. Itu kalau saya mau,” kata Jokowi Selasa minggu lalu (04/08/15), seperti dikutip CNNIndonesia.
“Tapi sampai detik ini, hal seperti itu tidak saya lakukan karena apapun, negara kita ini penuh kesantunan,” tambahnya.
Sekalipun demikian, Presiden Jokowi menyatakan dukungan terhadap pasal-pasal larangan penghinaan presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam RUU KUHP yang baru.
“Ini untuk masyarakat yang kritis, agar masyarakat yang ingin melakukan pengawasan atau koreksi tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jadi jangan dibalik-balik. Justru memproteksi,” kata Jokowi.
Presiden menjelaskan, dalam pasal penghinaan presiden ada batasan tegas antara mana yang disebut menghina dengan yang bukan.
“Ini urusannya kan presiden sebagai simbol negara. Kalau saya pribadi, itu makanan sehari-hari,” tandasnya.
Langkah mundur
Pengamat politik Asia Tenggara Zachary Abuza menerangkan kepada Deutsche Welle (DW), jika pasal-pasal itu lolos di parlemen dan bertentangan dengan keputusan MK, ini "akan menjadi kemunduran besar bagi kebebasan berekspresi dan demokrasi".
Guru besar jebolan Fletcher School of Law and Diplomacy itu memaparkan, pencabutan pasal-pasal penghinaan presiden tahun 2006 sudah membantu Indonesia meningkatkan kebebasan pers yang diakui masyarakat internasional. Jika RUU yang baru disahkan, kemajuan yang dicapai saat ini akan mendapat ancaman serius.
Yohanes Sulaiman, analis politik dan dosen di Universitas Pertahanan Nasional (UNHAN) yakin, masalah terbesar dengan pasal-pasal ini adalah mendefinisikan, apa yang merupakan "penghinaan" terhadap presiden atau wakilnya.
Kalau lolos di parlemen, bisa dihentikan oleh MK
"Ada beberapa orang yang sangat sensitif dan melihat setiap kritik kecil sebagai deklarasi perang? Bagaimana Anda tahu, bahwa seseorang yang mengajukan kritik itu punya itikad buruk?" kata Yohanes dalam wawancara dengan DW.
Yohanes Sulaiman selanjutnya menerangkan, kalaupun Presiden Jokowi tidak menggunakan pasal-pasal penghinaan ini - seperti yang dijanjikannya - tidak akan ada jaminan bahwa penggantinya akan melakukan hal yang sama.
Kedua pengamat menyatakan, pasal-pasal larangan penghinaan presiden saat ini memang mendapat dukungan besar di kalangan publik dan partai-partai politik. Sehingga mungkin saja RUU KUHP itu lolos di parlemen. Tapi, Mahkamah Konstitusi tetap bisa menghentikan pasal-pasal yang bisa mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi itu.