Industri Farmasi India Dibayangi Skandal Kematian Anak-anak
28 Oktober 2022Kasus kematian sekitar 70 anak belum lama ini di Gambia menyeret produsen obat India, setelah dilaporkan kondisi anak-anak tersebut memburuk setelah mereka diberi obat batuk sirop yang diproduksi di India. Sirop tersebut diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals India dan diekspor ke negara Afrika dengan empat merek berbeda.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa produk tersebut "terkontaminasi" dan memicu gejala termasuk "sakit perut, muntah, diare, ketidakmampuan untuk buang air kecil, sakit kepala, perubahan kondisi mental, dan cedera ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian."
Maiden Pharmaceuticals menanggapi tuduhan itu dengan mengatakan bahwa mereka "dengan tekun mengikuti protokol otoritas kesehatan" dalam proses produksi. Mereka merasa terkejut dan sangat sedih dengan insiden tersebut.
Sebuah panel khusus yang dibentuk oleh pemerintah India belum lama mempresentasikan temuannya tentang tragedi itu. Namun, skandal itu telah menimbulkan pertanyaan tentang industri farmasi India.
India adalah produsen vaksin terkemuka di dunia dan juga merupakan produsen obat generik terbesar — produk farmasi yang lebih murah dibuat agar sesuai dengan obat bermerek dalam kualitas dan kinerja serta keamanan. Lebih dari 20% pasokan obat generik global sudah berasal dari India.
Skandal yang mengganggu industri farmasi
Tragedi Gambia bukanlah insiden pertama yang dikaitkan dengan obat batuk sirop buatan India. Dua tahun lalu, 17 anak meninggal di negara bagian Jammu dan Kashmir di India setelah mengonsumsi obat berbentuk sirop yang dibuat oleh perusahaan bernama Digital Vision.
Tes selanjutnya menemukan bahwa produk tersebut mengandung dietilen glikol tingkat tinggi. Bahan kimia yang sama, selain etilen glikol, terdeteksi dalam "jumlah yang tidak dapat diterima" oleh WHO setelah kematian di Gambia.
Keracunan di Jammu dan Kashmir mendorong pemerintah India untuk menghentikan produksi obat batuk sirop secara bertahap demi produk lain yang tidak berisiko mengandung kedua racun tersebut.
Namun, pada tahun lalu, ketika India dilanda gelombang infeksi virus corona, remdesivir palsu, obat antivirus yang digunakan untuk mengobati COVID-19, dijual dalam jumlah besar dengan harga yang sangat mahal dan bahkan diekspor.
"Peraturan obat-obatan di India diatur oleh Undang-Undang Obat dan Kosmetik kuno. Perubahan selanjutnya yang telah dibuat pada undang-undang ini tidak dilengkapi dengan baik untuk mengatur pasar yang kompleks seperti India yang merupakan persatuan negara bagian," Dinesh Thakur, seorang mantan eksekutif farmasi yang bekerja sebagai aktivis kesehatan masyarakat mengatakan kepada DW.
"Selain itu, birokrasi yang bertanggung jawab atas implementasi dan kepatuhannya juga disfungsional, tidak kompeten, korup, dan tidak berperasaan," katanya.
Ribuan obat gagal uji keamanan
Sebuah laporan oleh Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menemukan bahwa 20% dari semua produk farmasi yang dijual di pasar India adalah palsu. Catatan resmi pemerintah mengungkapkan bahwa antara 2007 dan 2020, lebih dari 7.500 obat yang diambil sampelnya hanya di tiga dari 28 negara bagian India dan tiga wilayah persatuan telah gagal dalam tes kualitas.
Pada tahun 2018, Organisasi Pengawasan Standar Obat Pusat mengidentifikasi sekitar 4,5% dari semua obat generik di pasar India di bawah standar. Selain itu, hanya seperempat dari 12.000 unit manufaktur di India yang memenuhi praktik manufaktur yang baik dari WHO.
"Pengawas obat di India kekurangan sumber daya," catat Nakul Pasricha, Presiden dan CEO Pharma Secure India, yang bekerja dengan pembuat farmasi terkemuka untuk melacak dan memverifikasi rantai pasokan mereka dan memastikan keaslian obat.
"Kita perlu memperkuat sistem kita itu," katanya kepada DW. "Jika ekspor kita berada di bawah bayang-bayang karena insiden profil tinggi seperti itu, jelas tidak baik untuk reputasi industri farmasi India."
(ha/hp)