Jasa Screenshot Ponsel Mahal: Serahkan Data demi Gaya?
2 September 2022Baru-baru ini, sebuah bisnis unik dan mungkin bikin geleng-geleng kepala viral di media sosial. Dunia maya diramaikan dengan kemunculan bisnis jasa tangkapan layar atau screenshot telepon pintar mahal yakni iPhone.
Bisnis ini banyak dilakoni anak muda khususnya usia sekolah: Pelanggannya juga kebanyakan adalah remaja yang tidak punya ponsel pintar dari Apple Inc, tapi ingin menampilkan persona di media sosial sebagai seseorang yang mampu memilikinya.
Kebanyakan para pembeli jasa screenshot iPhone ini menggunakan tangkapan layar tersebut untuk diunggah ke akun sosial media mereka. Jadi, mereka bisa pamer kepada para pengikutnya agar terkesan mampu membeli dan memakai ponsel bergambar buah tersebut.
Hasil tangkapan layar berbeda antara iPhone dan android, pada iPhone akan ada tulisan khas seperti 'twitter for iPhone'. Nah, tulisan inilah yang ingin dipamerkan di medsos.
Promosi bisnis jasa screenshot iPhone ini bisa dengan mudah ditemukan di media sosial bahkan di bermacam marketplace. Lewat hashtag tertentu Anda bisa dengan mudah menemukan penjual jasanya, tinggal pilih kemudian cocokan harga dan kirim pesan pribadi ke penjual.
Intan Mustika adalah salah satu penjual jasa ini kepada pelanggan di Twitter, Instagram, dan Tiktok.
"Saya mulai bisnis ini berdua dengan teman. Awalnya teman saya kasih info tentang salah satu konten Tiktok yang isinya price list jasa ini. Lalu saya cek dan benar jasa ini ada. Saya tertarik karena kebetulan saya pakai iPhone dan saya pikir ini bakal jasa bisnis yang bagus, pelanggannya ada dan aku bisa menyediakan jasanya," ucapnya kepada DW Indonesia.
Layanan apa saja yang dijual?
Intan mengaku baru memulai bisnis ini sekitar satu minggu, tapi pelanggannya sudah cukup banyak. "Sehari biasanya 20-50 orang paling banyak."
Jika Intan berpikir jasanya ini bisa jadi ladang bisnis yang bagus, penjual lain yang hanya ingin dipanggil Nan, 19, mengaku bahwa ini hanya usaha iseng-isengnya. "Ya lumayanlah hasilnya, buat seru-seruan saja, bukan buat penghasilan tetap," kata Nan.
Jasa yang mereka tawarkan antara lain yakni screenshot chat dan profile Instagram, WhatsApp, Line, Tiktok, Telegram, Spotify, iCloud, dan tangkapan layar MacBook. Ada pula jasa screen recorder dengan batas maksimal 30 detik, jasa post story di Instagram dan Twitter seharga Rp5.000 dan jasa unggah feed IG aestetik, sampai repost story untuk meningkatkan interaksi media sosial (engagement).
"Paling banyak itu minta screenshot profil Instagram dan lockscreen, ada juga screen recorder Youtube," kata Intan.
Saking banyaknya pemain dalam usaha ini, Intan pun menurunkan harga jasanya karena ada banyak penjual lainnya yang memberi harga Rp500, seiklasnya, bahkan gratis. "Awalnya dari yang paling murah Rp5.000 sampai 10.000, tapi mulai sekarang turun harga, dari Rp2.000 sampai Rp7.000."
Sedangkan Nan menjual jasanya dengan harga yang lebih murah yaitu kisaran Rp200-600 untuk membuat tangkapan layar dan Rp1.000-2.000 untuk screen record.
Beli gengsi
Di media sosial sendiri, munculnya fenomena ini mendapat pro-kontra. Ada yang serius menanggapi dan menjadi pelanggan, dan ada juga yang mencibir dan mengatakan 'gede gengsi.'
"Awalnya juga saya tidak percaya ada jasa kayak gini dan kok bisa ada orang yang ingin 'terlihat iPhone' dengan beli jasa. Tapi setelah dipikir lagi mungkin memang bagi sebagian orang iPhone itu menarik tapi mereka belum mampu untuk punya atau belum ingin punya. Jadi ya beli jasanya dulu saja," kata Intan kepada DW Indonesia.
Seperti Intan, Nan juga sempat merasa aneh dengan jenis bisnis ini. Ia mengakui bahkan seri iPhone juga punya pengaruh pada jumlah pelanggan. Nan memakai iPhone Xr, sedangkan Intan memakai iPhone 11.
"Iya sih, pas awal dapat orderan pertama merasa aneh banget kok bisa ada orang order screenshot doang, tapi ternyata banyak yang order, makin aneh deh," ucap Nan yang mengaku sebagian besar pelanggannya adalah anak-anak sekolah.
Bukan cuma Intan dan Nan yang sempat bingung dengan tren ini. Pengamat teknologi dan keamanan data internet Alfons Tanujaya mengungkapkan bahwa fenomena jasa screenshot iPhone ini terjadi lantaran gengsi dan ingin terlihat keren.
Alfons mengungkapkan bahwa harga ponsel pintar tersebut punya harga yang lebih mahal dibanding lainnya sehingga dianggap lebih keren.
"Ini fenomena menarik, tetapi ini memang sesuai dengan perkembangan dunia digital saat ini yang lebih mementingkan semua yang lebih serba packaging dan tidak mementingkan isi," ucapnya kepada DW Indonesia.
"Lebih penting gengsi. Kayaknya anak zaman now itu prioritasnya. Dibentuk oleh sosial media yang semua serba instan. Ini krisis identitas ya," katanya.
Bisa pilih, login atau tidak
Buat beberapa orang, bisnis jasa tangkapan iPhone ini terkesan 'menakutkan.' Pasalnya mereka harus memberikan username dan kata kunci atau password kepada penjual jasa.
Namun, Intan dan Nan mengatakan bahwa mereka menawarkan dua opsi, yakni login dan tanpa login. Login berarti pelanggan akan memberikan username dan kata kunci kepada penjual, sedangkan tanpa login berarti mereka tak perlu memberikan kata kunci.
"Kalau sosial media misalnya twitter kita perlu username dan password untuk login, setelah itu kita log out dan pelanggan bakal ganti password-nya," ucap Intan yang menyebut kebanyakan pelanggan lebih pilih untuk membeli tangkapan layar yang bisa diakses tanpa harus masuk ke akun pribadi.
Keduanya setuju bahwa permintaan tangkapan layar tanpa masuk ke akun adalah cara yang lebih nyaman buat mereka saat bekerja.
Ancaman keamanan data
Terlepas dari semua itu, Alfons menyoroti ancaman keamanan data yang mengintai dari membeli jasa ini. Di tengah banyaknya kebocoran data dan hacking, menjaga keamanan data pribadi sangatlah penting.
"Secara security hal ini sangat berisiko karena memberikan kredensial akun kepada orang lain sangat berpotensi disalahgunakan," kata Alfons kepada DW Indonesia. "Atau ketika dipinjamkan kredensialnya lalu digunakan untuk menginstal aplikasi tertentu yang nantinya akan memberi efek negatif pada pemilik akun. Misalnya postingan diam-diam dan tak disadari pemilik akun."
Menanggapi ancaman keamanan data, Intan dan Nan mengklaim meminta pelanggan untuk ganti password setelah proses 'jual-beli' ini selesai. "Dari awal pun kami sudah bilang kalau data mereka bakal aman, dan kami tidak memaksa mereka untuk order jasa ini. Kembali ke pilihan pelanggan itu sendiri, mereka yang buktikan sendiri," ujar Intan.
Lantas, setelah ganti kata kunci apakah berarti data akun sosial media pasti aman? Sebagai pakar keamanan data, Alfons menyarankan untuk melakukan cek sesudah dan sebelum kredensial akun sosial media 'dipinjamkan.' Cek apakah ada penambahan atau pengurangan teman atau grup, komentar, pesan dan lainnya. "Kalau sudah aman, baru ganti password dan aktifkan TFA (two factor authentication)," ujar Alfons mengingatkan. (ae)