Jerman-Vietnam Bangun Relasi, Hindari Pertaruhan Cina?
16 November 2022Kanselir Jerman Olaf Scholz mengakhiri kunjungannya selama dua hari di Jerman, Senin (14/11) dengan pesan yang meyakinkan terhadap ekonomi negara yang berkembang pesat.
Scholz mengatakan, Jerman ingin meningkatkan perdagangan dan investasi sambil membantu Vietnam menjadi penerima manfaat di saat perusahaan-perusahaan barat ingin melakukan diversifikasi dari Cina.
Menurut Bank Dunia, Vietnam merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, dengan PDB (Produk Domestik Bruto) Vietnam diperkirakan meningkat sebesar 7,5% tahun ini dan 6,7% pada tahun 2023.
Scholz didampingi oleh 12 anggota delegasi bisnis saat bertemu dengan Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh dan Ketua Partai Komunis yang sudah lama berkuasa, Nguyen Phu Trong.
Kunjungan yang dimulai pada Minggu (13/11) itu menjadikan Scholz sebagai pemimpin Eropa pertama yang mengunjungi Vietnam sejak dimulainya pandemi Covid-19. Scholz kemudian melanjutkan perjalanannya ke Singapura sebelum tiba di Indonesia untuk berpartisipasi dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) G20.
Jerman mitra dagang terbesar Eropa
Jerman merupakan mitra dagang terbesar Vietnam di antara negara-negara Uni Eropa (UE), sedikit di depan Belanda. Perdagangan bilateral bernilai € 7,5 miliar ($ 7,8 juta atau Rp 121,35 triliun) tahun lalu, dan perdagangan dalam tujuh bulan pertama tahun ini sekitar € 7 miliar (Rp 113,28 triliun), naik 18,5% dari tahun ke tahun, menurut data pemerintah Vietnam. Perjanjian perdagangan bebas Uni Eropa dengan Vietnam mulai berlaku pada tahun 2020.
"Sebagai mitra dagang terbesar di UE, Jerman memainkan peran penting dalam masa depan ekonomi Vietnam selanjutnya. Peran ini kemungkinan akan meningkat di masa depan, karena kedua belah pihak sangat tertarik untuk memperdalam hubungan lebih lanjut," kata Daniel Müller, manajer Asosiasi Bisnis Asia-Pasifik Jerman untuk regional ASEAN.
Kesepakatan kerja sama tentang energi dan pelatihan kejuruan ditandatangani selama kunjungan Scholz ke Hanoi dan pengamat berpendapat, Jerman akan memainkan peran yang lebih penting dalam sektor energi dan pendidikan Vietnam.
Ini kemungkinan akan disertai dengan transfer teknologi dan pengetahuan yang cukup besar, penting untuk pembangunan Vietnam, demikian ungkap Müller kepada DW.
Selama konferensi pers, Scholz mengusulkan bahwa Jerman juga dapat membantu mengembangkan sistem metro Hanoi, sebuah proyek yang telah terhenti selama beberapa tahun.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan pada Juni lalu oleh Kamar Dagang Jerman di Luar Negeri, lebih dari 90% perusahaan Jerman yang sudah beroperasi di Vietnam ingin melanjutkan investasi mereka di negara itu, dan dua pertiga mengharapkan peluang bisnis akan meningkat selama 12 bulan ke depan.
Perdana Menteri Chinh dilaporkan meminta Scholz untuk mendesak parlemen Jerman untuk menyelesaikan ratifikasi Perjanjian Perlindungan Investasi Uni Eropa-Vietnam.
Dia juga meminta Uni Eropa untuk menghapus "kartu kuning" pada sektor makanan laut Vietnam, yang telah sangat mengurangi ekspor ke Uni Eropa atas tuduhan penangkapan ikan ilegal dan tidak memiliki aturan.
"Melihat upaya perusahaan-perusahaan Jerman saat ini untuk meningkatkan keterlibatan mereka di Vietnam dan sebaliknya, upaya oleh perusahaan-perusahaan Vietnam untuk menjadi lebih aktif di Jerman, tren pertumbuhan dalam hubungan perdagangan ini kemungkinan akan terus berlanjut," kata Müller.
Jerman tidak "memisahkan diri” dari Cina
Scholz mendapatkan banyak kritik, termasuk dari mitra koalisinya sendiri, karena mengunjungi Beijing pekan lalu untuk bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping, dan menjadi pemimpin Eropa pertama yang melakukannya sejak sebelum pandemi.
Banyak komentator mengatakan Jerman berisiko menjadi terlalu bergantung pada Cina untuk hubungan bisnis, sama seperti Jerman bergantung pada Rusia untuk pasokan energi.
Scholz menekankan bahwa kunjungan empat harinya ke Asia Tenggara menunjukkan bahwa Berlin menerima adanya kebutuhan untuk mendiversifikasi hubungan perdagangan, meskipun dia bukan pendukung "pemisahan" dari Cina.
"Kami menentang pemisahan Cina dalam ekonomi dunia karena kami sangat yakin bahwa globalisasi telah membawa banyak kemajuan," kata Scholz pada hari Senin. "Tetapi kita harus jelas bahwa globalisasi juga berarti tidak hanya melihat ke satu negara."
Sebagian besar kemajuan ekonomi Vietnam selama lima tahun terakhir terjadi seiring dengan pemisahan Barat dari Cina, di tengah meningkatnya ketegangan negara adidaya karena perusahaan berusaha menghindari tarif dan sanksi terhadap Beijing.
"Jika Jerman ingin memanfaatkan pasar lain, seperti AS, dan ingin mengakses rantai pasokan regional, Vietnam adalah tempat yang menarik untuk mendiversifikasi investasi," kata Trinh Nguyen, seorang ekonom senior di wilayah Asia dari perusahaan Prancis dan bank investasi Natixis.
"Kunjungan Scholz cukup tepat waktu karena Jerman juga perlu mendiversifikasi tidak hanya rantai pasokan, tetapi juga memperluas akses pasar ke ekonomi yang berkembang pesat," katanya kepada DW.
Mendampingi Vietnam terkait Laut Cina Selatan
Selain masalah ekonomi, Scholz menyetujui perjanjian kerja sama keamanan baru dengan Vietnam, yang selama beberapa dekade telah terlibat dalam perselisihan dengan Beijing atas wilayah yang mereka berdua klaim di Laut Cina Selatan.
"Tidak seperti kolaborasi ekonomi, kerja sama pertahanan dan keamanan Jerman-Vietnam sebagian besar akan tetap simbolis," ungkap Alfred Gerstl, pakar hubungan internasional Indo-Pasifik dari Universitas Wina.
Namun, Gerstl mengharapkan lebih banyak kunjungan pelabuhan ke Vietnam oleh angkatan laut Jerman; fregat (kapal pengawal) Jerman pertama berlabuh di Vietnam Januari lalu. Strategi Indo-Pasifik Berlin, yang dirilis pada tahun 2020, mempromosikan "tatanan berbasis aturan dan kebebasan navigasi" di Laut Cina Selatan, yang telah diterima oleh beberapa angkatan laut Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
"Dalam hal ini, ada tumpang tindih kepentingan yang kuat antara kedua mitra strategis," kata Gerstl kepada DW. "Para ahli Jerman juga dapat memberikan pelatihan bagi tentara Vietnam di bidang pemeliharaan perdamaian atau keamanan siber."
Perjalanan Scholz menandai kunjungan pertama ke Vietnam oleh kanselir Jerman setelah lebih dari satu dekade. Perjalanan itu juga menegaskan kembali hubungan diplomatik bilateral yang memburuk setelah agen keamanan Vietnam di Berlin diduga menculik seorang fungsionaris Partai Komunis yang dicari karena korupsi pada tahun 2017.
Sebagai tanggapan, pemerintah Jerman mengusir dua diplomat Vietnam dan mencap penculikan itu sebagai "skandal pelanggaran" terhadap kedaulatan Jerman. Hubungan politik tetap dingin selama tahun-tahun terakhir masa jabatan mantan Kanselir Angela Merkel. Tidak jelas apakah peristiwa itu dibahas selama kunjungan Scholz.
Tetapi Scholz tidak mengabaikan masalah sensitif lainnya, dia mendesak para pemimpin Vietnam terkait catatan hak asasi manusia mereka. Vietnam adalah salah satu negara paling represif di Asia Tenggara, dengan perkiraan 207 aktivis politik saat ini dipenjara dan 350 berisiko, demikian menurut 88 Project, sebuah LSM yang mengumpulkan data semacam itu di Vietnam.
Vietnam yang pernah menjadi salah satu importir terbesar peralatan militer buatan Rusia secara konsisten abstain pada pemungutan suara Majelis Umum PBB yang mengutuk invasi Moskow ke Ukraina, tetapi Scholz mendesak Hanoi untuk memperjelas posisinya.
"Ini adalah pertanyaan tentang perang agresi Rusia yang merupakan pelanggaran hukum internasional dengan preseden berbahaya. Negara-negara kecil tidak bisa lagi aman dari perilaku tetangga mereka yang lebih besar dan lebih kuat," kata Scholz setelah pertemuannya dengan Perdana Menteri Vietnam.
yas/gtp